بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 7 Agustus 2025.
Pernahkah kamu memperhatikan satu pola menarik dalam Al-Qur’an? Mengapa Allah SWT sering kali memulai sumpah (qasam) dengan menyebut para malaikat, terutama saat membicarakan tentang Hari Akhir? Pertanyaan ini muncul dalam benak saya saat sedang menulis tadabbur surat An-Nazi’at.
TADABBUR QURAN: AN NAZI'AT 1 - 5
Pola ini ternyata juga muncul dalam surat Al-Mursalat yang saya tadabburi beberapa hari sebelumnya. Dari situ, saya mulai menyadari bahwa qasam bukan sekadar hiasan retoris, tapi memiliki peran penting dalam menyampaikan pesan ilahi.
Sebelum menyusun catatan digital tentang tadabbur ini, saya sempat membaca sebuah buku berjudul Studi Al-Qur’an yang diterbitkan oleh UIN Sunan Ampel Surabaya. Buku ini mengulas berbagai gaya bahasa khas yang digunakan dalam Al-Qur’an, termasuk tiga di antaranya yang sangat menonjol: qasam (sumpah), qasas (kisah), dan amtsal (perumpamaan). Ketiganya bukan hanya memperkaya keindahan sastra Qur’ani, tetapi juga berfungsi sebagai metode penyampaian pesan yang menggugah dan menggerakkan hati.
Sebelum menyusun catatan digital tentang tadabbur ini, saya sempat membaca sebuah buku berjudul Studi Al-Qur’an yang diterbitkan oleh UIN Sunan Ampel Surabaya. Buku ini mengulas berbagai gaya bahasa khas yang digunakan dalam Al-Qur’an, termasuk tiga di antaranya yang sangat menonjol: qasam (sumpah), qasas (kisah), dan amtsal (perumpamaan). Ketiganya bukan hanya memperkaya keindahan sastra Qur’ani, tetapi juga berfungsi sebagai metode penyampaian pesan yang menggugah dan menggerakkan hati.
Fungsi Qasam Dalam Al Quran
Secara khusus, qasam memiliki tujuan untuk menegaskan dan menguatkan sebuah informasi. Menurut Az-Zarkasyi, qasam merupakan bentuk pernyataan yang digunakan untuk menguatkan isi berita yang disampaikan (Studi Al-Qur’an, 2016: 372).Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam karyanya At-Tibyān fī Aqsām al-Qur'ān juga menjelaskan bahwa sumpah dalam Al-Qur’an digunakan sebagai bentuk penegasan atas kebenaran pesan yang disampaikan. Jadi, ketika Allah bersumpah, itu bukan karena kebenaran-Nya diragukan, tetapi untuk mengetuk kesadaran manusia agar bersungguh-sungguh mendengar dan mempercayai isi pesan tersebut.
Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa Allah SWT adalah Zat Yang Maha Sempurna, Maha Benar, dan tentu saja tidak mungkin berbohong (Studi Al-Qur’an, 2016: 373). Namun menariknya, dalam Al-Qur’an Allah tetap menggunakan bentuk sumpah. Ini menunjukkan bahwa sumpah yang Allah gunakan sangat berbeda dengan sumpah yang dilontarkan oleh manusia.
Sebagai Muslim, kita meyakini bahwa Allah SWT adalah Zat Yang Maha Sempurna, Maha Benar, dan tentu saja tidak mungkin berbohong (Studi Al-Qur’an, 2016: 373). Namun menariknya, dalam Al-Qur’an Allah tetap menggunakan bentuk sumpah. Ini menunjukkan bahwa sumpah yang Allah gunakan sangat berbeda dengan sumpah yang dilontarkan oleh manusia.
Dalam tradisi masyarakat Arab pada masa turunnya Al-Qur’an, sumpah sering dipakai dalam pidato atau syair sebagai bentuk penekanan atas apa yang mereka katakan. Maka penggunaan sumpah dalam Al-Qur’an juga relevan secara budaya, sekaligus berfungsi untuk menyentuh dan menggugah jiwa para pendengarnya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Al-Hasan, disebutkan bahwa
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Al-Hasan, disebutkan bahwa
“Sesungguhnya Allah bersumpah dengan apa saja yang Dia kehendaki dari makhluk-makhluk-Nya, dan tidak boleh seseorang bersumpah kecuali dengan menyebut nama Allah.” Hal ini ditegaskan pula oleh hadis riwayat At-Tirmidzi dan Umar bin Khattab ra. yang mengatakan, “Barang siapa bersumpah atas nama selain Allah, maka dia telah berbuat syirik atau kufur.” Hadis ini dinilai hasan oleh At-Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh Al-Hakim. (Studi Al-Qur’an, 2016: 374)
Karena itu, sumpah dalam Islam tidak boleh dilakukan sembarangan, apalagi menggunakan selain nama Allah. Sumpah adalah bentuk kesaksian dan penguat kebenaran, bukan sekadar kata-kata emosional atau retorika kosong. Dan ketika Allah sendiri bersumpah dengan makhluk ciptaan-Nya seperti para malaikat, itu adalah isyarat bahwa pesan yang menyusul setelahnya mengandung kebenaran besar yang wajib direnungi.
Mengapa Malaikat Sebagai Obyek Sumpah Ilahi?
Mengapa Allah memilih malaikat sebagai objek sumpah, terutama saat hendak menyampaikan tentang akhir dunia?Karena malaikat adalah simbol kekuasaan Allah yang tidak terlihat, namun terus bekerja dengan ketelitian dan kepatuhan mutlak. Mereka menjadi saksi sekaligus pelaksana perintah-perintah besar, termasuk perintah tentang kehidupan dan kematian. Jika malaikat yang selalu taat itu saja gentar menanti hari yang dijanjikan, bagaimana mungkin manusia justru merasa aman dan tak peduli?
Sumpah dalam Al-Qur’an bukan ditujukan untuk meyakinkan Allah sendiri—karena Dia Maha Mengetahui dan tidak butuh penguatan. Sumpah hadir sebagai penegas kebenaran, sebagai alarm bagi hati manusia yang sering tertidur. Dalam surat An-Nazi’at, sumpah ini menjadi pembuka bagi pernyataan serius bahwa Hari Kiamat pasti akan terjadi.
Allah memilih malaikat sebagai subjek sumpah-Nya untuk menunjukkan betapa penting dan gentingnya pesan yang hendak disampaikan. Hal yang sama juga dapat ditemukan dalam surat-surat lain seperti Al-Mursalat dan As-Saffat, di mana Allah bersumpah di awal surat, sebagai cara untuk menegaskan kebenaran tentang kehidupan setelah mati kepada kaum yang menolak kebangkitan.
Sumpah yang melibatkan malaikat juga memberi isyarat bahwa tugas-tugas mereka tidak pernah sembarangan. Mereka adalah makhluk yang menyaksikan realitas spiritual dan fisik, bekerja tanpa cela dalam sistem yang telah Allah tetapkan.
Sumpah yang melibatkan malaikat juga memberi isyarat bahwa tugas-tugas mereka tidak pernah sembarangan. Mereka adalah makhluk yang menyaksikan realitas spiritual dan fisik, bekerja tanpa cela dalam sistem yang telah Allah tetapkan.
Ketika Allah bersumpah dengan makhluk seperti malaikat, itu bukan sekadar bentuk retorika agung, tetapi peringatan bahwa segala sesuatu berjalan sesuai ketetapan-Nya, termasuk kematian, kebangkitan, dan pembalasan. Maka, sumpah ini tidak hanya menggetarkan jiwa, tetapi juga mengajak manusia merenungi keseriusan peringatan yang dibawa oleh wahyu.
Malaikat Adalah Tangan Kekuasaan Allah SWT
Makna yang terkandung dalam kata “an-nāzi‘āt” menggambarkan malaikat yang mencabut nyawa orang-orang kafir dengan keras dan menyakitkan, sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Kemenag dan Tafsir Tahlili. Hal ini dikuatkan dengan hadis shahih dari Rasulullah ﷺ yang menggambarkan kondisi seseorang yang kafir saat menjelang ajal.“Sesungguhnya hamba yang kafir, ketika berada di ambang perpisahan dari dunia dan bersiap menuju akhirat, maka turunlah kepadanya malaikat-malaikat dari langit yang kasar, keras, dan berwajah hitam. Mereka membawa pakaian yang tebal dan kasar (dalam riwayat lain: terbuat dari api neraka). Para malaikat itu duduk sejauh mata memandang di dekatnya. Kemudian datanglah malaikat maut dan duduk di sisi kepalanya, lalu berkata: ‘Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju murka dan kemarahan Allah!’ Maka ruh tersebut bertebaran dalam jasadnya, dan dicabut dengan paksa seperti besi bertaring yang dicabut dari wol yang basah, hingga memutus urat dan otot-ototnya.” (HR. Ahmad No. 18534, sanad shahih)
Makna kata (غَرْقًا) menurut penjelasan ulama tafsir Asy-Syaukani rahimahullah menggambarkan sesuatu yang dilakukan dengan kekuatan penuh. Beliau memberikan ilustrasi seperti seseorang yang menarik tali busur panah hingga batas maksimal kekuatannya.
Maksudnya, para malaikat mencabut nyawa orang-orang kafir dengan sangat kuat, dari seluruh penjuru tubuh, seolah-olah dicabut hingga ke ujung-ujungnya—bukan sekadar ditarik biasa, tapi benar-benar dicabut dengan tenaga penuh yang menyakitkan.
Gambaran ini menunjukkan betapa kerasnya proses pencabutan nyawa yang dialami oleh orang kafir. Hal ini juga ditegaskan dalam Al-Qur’an, ketika Allah ﷻ menyampaikan bagaimana para malaikat mencabut nyawa mereka. Dalam Surah Al-Anfal ayat 50, Allah berfirman:
Gambaran ini menunjukkan betapa kerasnya proses pencabutan nyawa yang dialami oleh orang kafir. Hal ini juga ditegaskan dalam Al-Qur’an, ketika Allah ﷻ menyampaikan bagaimana para malaikat mencabut nyawa mereka. Dalam Surah Al-Anfal ayat 50, Allah berfirman:
"Dan sekiranya kamu (bisa) melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang-orang kafir, (saat itu) mereka memukul wajah dan punggung mereka, (sambil berkata), 'Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar!'” (QS. Al-Anfal: 50)
Ayat ini menggambarkan dengan jelas betapa mengerikannya keadaan orang-orang kafir ketika malaikat maut datang. Proses pencabutan nyawa bukan hanya menyakitkan, tapi juga disertai dengan pukulan sebagai bentuk azab awal sebelum azab yang lebih besar di akhirat.
Sebaliknya, pada ayat berikutnya, “an-nāsyiṭāt” menggambarkan malaikat yang mencabut nyawa orang-orang beriman dengan lembut dan penuh kedamaian.
“Kemudian datanglah malaikat Maut ‘alaihis salam. Dia duduk di samping kepalanya, dan mengatakan, ‘Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan Allah dan ridha-Nya.’ Keluarlah ruh itu dari jasad, sebagaimana tetesan air keluar dari mulut ceret.” (HR Ahmad no. 18543 dan Abu Daud no. 4753. Al-Albani menyatakan hadis ini hadis yang shahih)
Demikianlah ruh orang-orang yang beriman tatkala dicabut oleh malaikat, penuh dengan kelembutan, penuh dengan rahmat dan kasih sayang. Berbeda dengan nyawa orang-orang kafir yang dicabut dengan cara kasar.
Dua sisi ini menunjukkan bahwa kematian bisa menjadi pintu kasih atau murka, tergantung pada siapa yang menjemput dan bagaimana kita hidup. Dalam sistem alam semesta, malaikat berperan sebagai eksekutor ketetapan Allah, dari urusan ruh, perintah langit, hingga tugas di bumi. Mereka bukan hanya makhluk suci, tetapi pelaksana langsung dari hukum-hukum Tuhan yang tak pernah lalai.
Kehadiran malaikat dalam sistem kosmis bukan hanya sekadar pelengkap narasi spiritual. Mereka adalah pasukan langit yang bekerja dalam diam, tanpa pamrih, tanpa henti. Tidak ada satupun perintah dari Allah SWT yang mereka tunda, apalagi abaikan.
Dalam tugas-tugasnya, mereka bergerak dengan kecepatan dan kepatuhan mutlak. Dari mencatat amal manusia, menjaga jiwa saat tidur, hingga meniup sangkakala kelak, semuanya dijalankan tanpa cela. Ketika Allah bersumpah dengan mereka, sejatinya Allah sedang mengajak manusia untuk memperhatikan bahwa alam ini berjalan dengan tatanan yang terjaga, dan malaikat adalah penjaga harmoni tersebut.
Jika kita renungkan lebih dalam, maka peran malaikat dalam mencabut nyawa adalah refleksi dari akhir satu perjalanan dan awal perjalanan lainnya. Kematian bukan sekadar putusnya napas, tetapi momen peralihan ruh dari dunia yang tampak menuju alam yang tak kasat mata. Dan di ambang batas itu, ada para malaikat yang menjemput sesuai dengan kadar iman seseorang.
Jika kita renungkan lebih dalam, maka peran malaikat dalam mencabut nyawa adalah refleksi dari akhir satu perjalanan dan awal perjalanan lainnya. Kematian bukan sekadar putusnya napas, tetapi momen peralihan ruh dari dunia yang tampak menuju alam yang tak kasat mata. Dan di ambang batas itu, ada para malaikat yang menjemput sesuai dengan kadar iman seseorang.
Sumpah Allah dengan malaikat dalam ayat-ayat ini menjadi pengingat kuat bahwa segala yang hidup pasti akan mati, dan segala yang mati akan dibangkitkan kembali. Maka, hidup yang kita jalani hari ini bukanlah akhir dari segalanya—melainkan bagian dari rangkaian panjang kehendak Tuhan yang sedang berlangsung.
Kemuliaan Para Malaikat Dalam Mengemban Tugas
Malaikat adalah makhluk mulia yang diciptakan oleh Allah dari cahaya. Mereka tidak memiliki hawa nafsu seperti manusia dan tidak pernah membangkang terhadap perintah Rabb-nya. Seluruh hidup mereka adalah pengabdian total dalam menjalankan tugas-tugas yang dititahkan Allah ﷻ—tanpa lelah, tanpa lalai, dan tanpa tunda.Mereka adalah penjaga wahyu, pencatat amal, peniup sangkakala, pencabut nyawa, dan pengatur urusan langit dan bumi. Kemuliaan mereka tidak terletak pada bentuk fisik yang luar biasa, tetapi pada ketaatan mutlak yang menjadi ciri khas mereka.
Dalam Al-Qur’an, kemuliaan para malaikat tergambar melalui berbagai peran mereka yang agung dan dahsyat. Allah menyebut mereka sebagai makhluk yang kuat, cepat, dan tidak pernah mendahului firman-Nya. Mereka menjadi saksi atas wahyu yang diturunkan, pembawa azab bagi kaum yang ingkar, sekaligus penyemangat bagi para Nabi dan orang beriman.
Dalam Al-Qur’an, kemuliaan para malaikat tergambar melalui berbagai peran mereka yang agung dan dahsyat. Allah menyebut mereka sebagai makhluk yang kuat, cepat, dan tidak pernah mendahului firman-Nya. Mereka menjadi saksi atas wahyu yang diturunkan, pembawa azab bagi kaum yang ingkar, sekaligus penyemangat bagi para Nabi dan orang beriman.
Meskipun hidup dalam alam yang tidak kasatmata, pengaruh mereka nyata dalam setiap perjalanan takdir manusia. Mengenal tugas malaikat bukan sekadar menambah wawasan, tapi juga memperdalam keyakinan bahwa alam ini dijalankan dengan sistem ilahi yang sempurna.
Berdasarkan catatan yang saya ambil dari kajian tadabbur Ustadz Firanda, ada beberapa poin yang menggambarkan kemulian Malaikat dalam menjalankan tugasnya.
Berdasarkan catatan yang saya ambil dari kajian tadabbur Ustadz Firanda, ada beberapa poin yang menggambarkan kemulian Malaikat dalam menjalankan tugasnya.
Kecepatan Gerak Malaikat dan Keunggulan Dalam Kisah Nabi Sulaiman
Allah ﷻ bersumpah dalam QS. An-Nazi’at ayat 3 dan 4: “Demi (malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat) yang mendahului dengan kencang”.
Kedua ayat ini menekankan kecepatan luar biasa para malaikat dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Kata “as-sābiḥāti sabḥā” (ayat 4) menggambarkan pergerakan cepat dan serentak, seperti makhluk yang berenang atau meluncur cepat menuju targetnya tanpa ragu.
Para malaikat menjalankan perintah Allah dengan kecepatan tinggi, penuh kesungguhan, dan tanpa penundaan sedikit pun—mewakili efisiensi dan kepatuhan total dalam struktur kosmik yang Allah tetapkan.
Kecepatan ini bahkan melampaui makhluk lain seperti jin. Meskipun jin memiliki kemampuan bergerak cepat dan bisa mencuri dengar berita langit, mereka tetap tidak mampu menandingi kecepatan malaikat. Ketika mereka mencoba melakukannya, mereka segera dihantam oleh bintang-bintang atau api yang dilemparkan oleh malaikat penjaga langit.
Kecepatan ini bahkan melampaui makhluk lain seperti jin. Meskipun jin memiliki kemampuan bergerak cepat dan bisa mencuri dengar berita langit, mereka tetap tidak mampu menandingi kecepatan malaikat. Ketika mereka mencoba melakukannya, mereka segera dihantam oleh bintang-bintang atau api yang dilemparkan oleh malaikat penjaga langit.
Ini menunjukkan bahwa malaikat memiliki posisi dan kekuatan yang lebih tinggi, bukan hanya karena kecepatannya, tetapi juga karena statusnya sebagai pelaksana perintah Allah yang tidak pernah melanggar.
Kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam juga mengisyaratkan keunggulan ini. Ketika beliau meminta agar singgasana Ratu Balqis didatangkan, jin Ifrit menawarkan untuk melakukannya dalam waktu singkat—sebelum Nabi berdiri dari tempat duduknya.
Kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam juga mengisyaratkan keunggulan ini. Ketika beliau meminta agar singgasana Ratu Balqis didatangkan, jin Ifrit menawarkan untuk melakukannya dalam waktu singkat—sebelum Nabi berdiri dari tempat duduknya.
Namun kemudian datang seseorang yang memiliki ilmu dari Allah dan berkata, “Aku akan mendatangkannya sebelum engkau mengedipkan mata” (QS. An-Naml: 40).
Beberapa mufasir menafsirkan bahwa orang tersebut berdoa kepada Allah, lalu Allah mengutus malaikat untuk melaksanakan perintah tersebut. Ini memperkuat bukti bahwa kecepatan malaikat dalam menjalankan tugas melampaui batas logika manusia dan kekuatan jin.
Dengan demikian, sumpah Allah dalam QS. An-Nazi’at ayat 3 dan 4 bukan hanya menekankan kecepatan fisik para malaikat, tetapi juga menggambarkan ketepatan, kekuatan, dan urgensi dari misi yang mereka emban.
Dengan demikian, sumpah Allah dalam QS. An-Nazi’at ayat 3 dan 4 bukan hanya menekankan kecepatan fisik para malaikat, tetapi juga menggambarkan ketepatan, kekuatan, dan urgensi dari misi yang mereka emban.
Ayat-ayat ini membuka kesadaran manusia bahwa setiap perintah Allah akan dilaksanakan dengan sempurna tanpa tertunda, dan bahwa kehidupan serta kematian, termasuk peristiwa besar seperti kebangkitan, berada dalam sistem ilahi yang terjaga dan dikendalikan oleh malaikat-malaikat yang tidak pernah lelah dalam berkhidmat.
Wujud Asli Malaikat dan Keghaiban Mereka
Allah ﷻ kembali bersumpah dalam ayat berikutnya: “dan para malaikat yang mendahului dengan kencang” (QS An-Nazi’at: 4), menguatkan bahwa malaikat bergerak sangat cepat dalam melaksanakan tugas-tugas mereka.Dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa para malaikat memiliki sayap, ada yang dua, tiga, atau empat (QS Fathir: 1), dan Allah menambahkan ciptaan-Nya sesuai kehendak-Nya. Nabi Muhammad ﷺ pernah melihat malaikat Jibril dalam wujud aslinya dua kali, dan digambarkan memiliki 600 sayap yang jika dibentangkan akan menutupi cakrawala.
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan Allah, yang para malaikat tersebut ada yang memiliki sayap masing-masing (ada yang) dua, tiga, empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(QS. Fathir : 1)
Umumnya, malaikat menjelma dalam bentuk manusia ketika turun ke bumi, seperti Jibril yang sering menjelma menyerupai Dihyah Al-Kalbi. Keberadaan malaikat benar-benar ghaib, bahkan lebih ghaib dari jin. Jika jin terkadang bisa dirasakan atau dilihat dalam penjelmaan tertentu, malaikat tidak demikian. Mereka hadir dan bekerja atas perintah Allah tanpa pernah terlihat atau dirasakan oleh manusia secara langsung.
Tugas Malaikat dan Larangan Meminta Kepada Mereka
Allah ﷻ berfirman:“Demi para malaikat yang mengatur urusan-urusan”(QS An-Nazi’at: 5).
Para malaikat memiliki tugas-tugas spesifik dalam menjalankan perintah Allah, seperti malaikat pencabut nyawa, malaikat penjaga neraka dan surga, malaikat pembawa wahyu, malaikat penjaga hujan dan gunung, serta malaikat yang hanya bersujud di langit. Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa langit dipenuhi malaikat hingga tidak ada ruang sejengkal pun kecuali ada malaikat yang bersujud (HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah). Nabi berkata :
“Sesungguhnya aku melihat apa yang kalian tidak lihat, dan aku mendengar apa yang kalian tidak mendengarnya. Langit terasa berat dan pantas bagi langit untuk terasa berat. Tidak ada satu tempat seukuran empat jari kecuali ada malaikat yang sujud di atasnya”(HR Ahmad no 21516, At-Tirmidzi no 2312 dan Ibnu Maajah no 4190 dengan sanad yang hasan)
Namun meskipun mereka bertugas mengatur alam semesta, tidak boleh bagi manusia meminta kepada para malaikat untuk menurunkan hujan, menahan letusan gunung, atau memperpanjang umur. Mereka hanyalah makhluk yang taat kepada Allah dan menjalankan perintah-Nya.
Maka, meminta kepada malaikat termasuk perbuatan syirik, sebagaimana halnya meminta kepada penghuni kubur yang tidak berdaya. Segala permintaan dan doa hanya pantas ditujukan kepada Allah, satu-satunya Zat yang memiliki kendali penuh atas segala sesuatu.
Peringatan Hari Akhir
Menariknya, ayat-ayat awal ini bukan hanya bicara tentang kematian, tetapi menghubungkannya langsung dengan kebangkitan di Hari Akhir. Dimulai dari pencabutan nyawa, lalu pergerakan cepat malaikat, hingga pengaturan urusan-urusan yang diperintahkan kepada mereka, semua mengarah pada puncaknya: hari ketika alam semesta berguncang.Kematian bukan akhir, tetapi awal dari perjalanan menuju kebangkitan. Malaikat yang mencabut nyawa hari ini, adalah juga yang akan meniup sangkakala dan membangunkan manusia dari kuburnya kelak. Sumpah ini menyatukan dua fase eksistensi: yang tampak dan yang gaib. Dan di antara keduanya, para malaikat menjadi jembatan yang tak pernah berhenti menjalankan tugas ilahiah.
Beberapa ulama seperti Ahmad Musthafa al-Maraghi memang pernah menafsirkan ayat-ayat ini sebagai sumpah kepada bintang-bintang. Namun kebanyakan mufassir menegaskan bahwa yang dimaksud adalah para malaikat, melihat konteks dan kelanjutan ayat-ayatnya. Bintang memang memesona, tapi tidak berperan langsung dalam urusan ruh dan akhirat.
Beberapa ulama seperti Ahmad Musthafa al-Maraghi memang pernah menafsirkan ayat-ayat ini sebagai sumpah kepada bintang-bintang. Namun kebanyakan mufassir menegaskan bahwa yang dimaksud adalah para malaikat, melihat konteks dan kelanjutan ayat-ayatnya. Bintang memang memesona, tapi tidak berperan langsung dalam urusan ruh dan akhirat.
Sementara malaikat terlibat langsung—dari pencabutan nyawa, pengawalan ruh, hingga penyaksian penghisaban. Oleh sebab itu, Allah bersumpah dengan malaikat sebagai bentuk penegasan terhadap ketertiban kosmis dan kepatuhan mutlak. Sebuah kontras yang tajam terhadap kelalaian manusia yang justru sering menunda taubat.
Pada akhirnya, apa yang Allah ingin kita rasakan dari sumpah ini? Bukan semata ketakutan, tapi kesadaran. Bahwa hidup kita ini tidak bebas dari pantauan. Bahwa waktu yang kita habiskan setiap hari bukan milik kita sepenuhnya.
Pada akhirnya, apa yang Allah ingin kita rasakan dari sumpah ini? Bukan semata ketakutan, tapi kesadaran. Bahwa hidup kita ini tidak bebas dari pantauan. Bahwa waktu yang kita habiskan setiap hari bukan milik kita sepenuhnya.
Sumpah ini adalah panggilan untuk kembali: ketika malaikat saja bersiap dan patuh tanpa jeda, bagaimana dengan kita yang sering lengah dan lamban dalam menanggapi seruan ilahi? Sumpah ini bukan sekadar kata-kata puitis dari langit, melainkan peringatan bahwa kita tengah berjalan menuju perjumpaan besar. Dan mungkin, waktu kita lebih sedikit dari yang kita kira.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏