بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 6 Agustus 2025.
Mumpung masih membahas tentang peran Malaikat Jibril ‘alaihis salam dalam menyampaikan wahyu kepada Rasulullah ﷺ, saya merasa penting untuk memperluas pandangan ini ke peran beliau dalam dakwah para Rasul sebelumnya.
TADABBUR QURAN: AL BAQARAH 87
Salah satunya adalah Nabi Isa ‘alaihis salam, yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 87:“Dan Kami telah berikan kepada Isa putra Maryam bukti-bukti yang nyata, dan Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus.”
Ayat ini menegaskan bahwa Jibril tidak hanya berperan dalam menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad ﷺ, tetapi juga menjadi pendamping spiritual dan penguat dakwah Nabi Isa AS. Dalam tafsir para ulama, kehadiran Ruhul Qudus yang dimaksud dalam ayat ini adalah Jibril, yang memberikan dukungan kekuatan ruhani bagi Nabi Isa ketika menghadapi perlawanan dari kaumnya.
Artinya, peran Jibril sangat sentral dalam perjuangan para Rasul, bukan sekadar penyampai wahyu, tetapi juga sebagai pendamping perjuangan para utusan Allah di tengah umat yang menolak kebenaran.
Kisah Malaikat Dalam Dakwah Para Rasul
Selain dikenal sebagai penyampai wahyu kepada Nabi Muhammad ﷺ, Malaikat Jibril ‘alaihis salam juga memainkan peran penting dalam perjalanan dakwah para Nabi sebelumnya. Dalam Al-Qur’an, peran ini memang tidak selalu dijelaskan secara eksplisit, namun banyak ulama tafsir menyimpulkan kehadiran Jibril AS dalam berbagai momen penting.Salah satu contohnya adalah dalam kisah Nabi Ibrahim AS ketika kedatangan tamu misterius yang kemudian diketahui sebagai para malaikat—salah satunya diyakini adalah Jibril. Mereka datang dalam wujud manusia, membawa kabar gembira tentang kelahiran Ishaq, sekaligus menyampaikan peringatan akan azab bagi kaum Luth.
Peristiwa ini menggambarkan bahwa kehadiran Jibril tidak hanya terbatas pada pewahyuan, tetapi juga membawa misi ilahi lainnya yang berkaitan dengan rahmat dan peringatan dari Allah.
Jibril AS dalam Kisah Nabi Ibrahim AS: Malaikat Pembawa Kabar Gembira dan Azab
Dalam QS. Hud ayat 69–76 dan QS. Az-Zariyat ayat 24–30, disebutkan bahwa para malaikat datang menemui Nabi Ibrahim AS dengan wujud manusia. Mereka tidak hanya membawa kabar gembira akan kelahiran Ishaq dari istri beliau, Sarah, tetapi juga membawa kabar azab untuk kaum Nabi Luth. Tafsir Ibnu Katsir menyebutkan bahwa di antara para malaikat itu adalah Jibril, Mikail, dan Israfil. Malaikat Jibril memiliki peran sebagai pemimpin rombongan yang membawa dua misi: rahmat dan peringatan.Momen ini sangat menggugah karena memperlihatkan sisi kelembutan dan kasih sayang Jibril saat menyampaikan kabar gembira, serta sisi ketegasannya dalam perintah menghancurkan kaum yang melampaui batas. Ia bukan hanya malaikat pembawa wahyu, tapi juga pembawa kabar dari langit—baik yang menyenangkan maupun yang mengguncang bumi.
Dari kisah ini kita belajar bahwa kehadiran Jibril bukan semata untuk Nabi Muhammad ﷺ saja, melainkan sudah menjadi bagian dari sejarah spiritual umat manusia sejak Nabi Ibrahim AS.
Jibril AS dan Nabi Luth AS: Malaikat Pelindung dan Penghancur Kaum Durhaka
Dalam kisah Nabi Luth AS (QS. Al-Hijr ayat 61–74), Jibril juga disebut oleh para mufassir sebagai salah satu dari malaikat yang datang dalam wujud manusia tampan dan kemudian memberikan peringatan kepada Nabi Luth bahwa azab Allah akan menimpa kaumnya.Ketika kaum Luth mengepung rumah Nabi dan berniat buruk terhadap para tamu (malaikat), Jibril-lah yang menggagalkan rencana tersebut. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Jibril mengibaskan sayapnya dan menghancurkan mereka, membalikkan kota tersebut dan menjatuhkan batu-batu dari langit.
Peran ini menunjukkan sisi pelindung dan penghukum dari Malaikat Jibril. Ia bukan hanya pembawa kabar gembira dan wahyu, tapi juga pelaksana keadilan ilahi. Ini mengingatkan kita bahwa meskipun malaikat-malaikat hadir dengan wajah lembut untuk para nabi dan orang saleh, mereka juga bisa menjadi eksekutor azab bagi kaum yang menolak kebenaran dan melampaui batas. Dalam hal ini, Jibril menjadi representasi dari keadilan Allah yang tidak pandang bulu.
Peran ini menunjukkan sisi pelindung dan penghukum dari Malaikat Jibril. Ia bukan hanya pembawa kabar gembira dan wahyu, tapi juga pelaksana keadilan ilahi. Ini mengingatkan kita bahwa meskipun malaikat-malaikat hadir dengan wajah lembut untuk para nabi dan orang saleh, mereka juga bisa menjadi eksekutor azab bagi kaum yang menolak kebenaran dan melampaui batas. Dalam hal ini, Jibril menjadi representasi dari keadilan Allah yang tidak pandang bulu.
Jibril AS dalam Kisah Maryam dan Kelahiran Nabi Isa AS: Malaikat Peniup Ruh
Dalam QS. Maryam ayat 16–21 dan QS. At-Tahrim ayat 12, Jibril AS hadir dalam bentuk laki-laki yang sempurna untuk menyampaikan kabar luar biasa kepada Maryam: bahwa ia akan mengandung seorang anak suci tanpa disentuh oleh laki-laki.Dalam ayat tersebut, disebutkan bahwa yang meniupkan ruh ke dalam rahim Maryam adalah Ruh al-Qudus, yaitu Jibril. Ia datang sebagai utusan Allah untuk mengabarkan dan mengeksekusi sebuah mukjizat besar: kelahiran Nabi Isa AS dari seorang perawan.
Narasi ini menunjukkan dimensi yang sangat agung dari tugas Jibril. Ia tidak hanya menyampaikan wahyu, tapi juga menjadi perantara dalam peristiwa-peristiwa penciptaan luar biasa atas izin Allah. Tiupan ruh oleh Jibril adalah momen transendental yang menunjukkan bagaimana alam langit dan dunia saling terhubung dalam kelahiran para nabi.
Narasi ini menunjukkan dimensi yang sangat agung dari tugas Jibril. Ia tidak hanya menyampaikan wahyu, tapi juga menjadi perantara dalam peristiwa-peristiwa penciptaan luar biasa atas izin Allah. Tiupan ruh oleh Jibril adalah momen transendental yang menunjukkan bagaimana alam langit dan dunia saling terhubung dalam kelahiran para nabi.
Ini juga menjadi salah satu bukti bahwa Malaikat Jibril memiliki otoritas yang luar biasa dalam urusan kehidupan, bukan hanya dalam penyampaian wahyu, tetapi dalam misi-misi ilahi yang bersentuhan langsung dengan takdir umat manusia. Dengan memahami semua ini, kita semakin sadar bahwa Jibril adalah sosok yang sangat dekat dengan dinamika pewahyuan, bahkan dalam lintas zaman kenabian.
Jibril AS sebagai Ruh al-Amin dan Ruh al-Qudus dalam Misi Kenabian Nabi Muhammad ﷺ
Nama Jibril disebut secara eksplisit dalam QS. At-Takwir ayat 19–21 sebagai “Malaikat yang mulia, yang mempunyai kekuatan, berkedudukan tinggi di sisi Allah, ditaati di alam langit, dan terpercaya.” Ayat ini memberikan gambaran langsung tentang keagungan Jibril AS sebagai makhluk langit yang memiliki posisi istimewa. Di ayat lain, seperti QS. An-Nahl ayat 102 dan QS. Al-Baqarah ayat 97, ia disebut sebagai Ruh al-Qudus—penyampai wahyu ke dalam hati Rasulullah ﷺ atas izin Allah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:Katakanlah (Nabi Muhammad), “Siapa yang menjadi musuh Jibril?” Padahal, dialah yang telah menurunkan (Al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan izin Allah sebagai pembenaran terhadap apa (kitab-kitab) yang terdahulu, dan petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman.”Al-Baqarah [2]:97
Ia juga datang dalam bentuk manusia untuk mengajarkan iman, Islam, dan ihsan, sebagaimana tergambar dalam hadits Jibril. Setiap kali membawa wahyu, Jibril juga menghadirkan atmosfer spiritual yang menyentuh dan menggetarkan jiwa Nabi.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa beliau melihat dan mendengar hal-hal yang tidak bisa ditangkap oleh indera manusia biasa. Hal ini menunjukkan bahwa dunia malaikat bukanlah mitos, melainkan bagian dari realitas gaib yang benar-benar nyata.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa beliau melihat dan mendengar hal-hal yang tidak bisa ditangkap oleh indera manusia biasa. Hal ini menunjukkan bahwa dunia malaikat bukanlah mitos, melainkan bagian dari realitas gaib yang benar-benar nyata.
Gambaran tentang langit yang dipenuhi malaikat bersujud, serta temuan ilmiah tentang bunyi-bunyi kosmik yang menyerupai lantunan dzikir, menjadi penguat bahwa alam semesta dipenuhi makhluk yang tunduk kepada Allah.
Selama 23 tahun masa kenabian, Jibril senantiasa hadir dalam berbagai fase dakwah. Ia menyertai Rasulullah ﷺ dalam saat-saat sulit, ketika beliau dihina, dikucilkan, bahkan dilempari batu. Ketika wahyu sempat terhenti dan hati Nabi dirundung duka, Jibril datang membawa QS. Ad-Dhuha yang menenangkan: “Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak membencimu.”
Selama 23 tahun masa kenabian, Jibril senantiasa hadir dalam berbagai fase dakwah. Ia menyertai Rasulullah ﷺ dalam saat-saat sulit, ketika beliau dihina, dikucilkan, bahkan dilempari batu. Ketika wahyu sempat terhenti dan hati Nabi dirundung duka, Jibril datang membawa QS. Ad-Dhuha yang menenangkan: “Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak membencimu.”
Hubungan mereka mencerminkan ikatan ruhani yang erat—bukan sekadar pengantar dan penerima pesan, tetapi juga persahabatan spiritual yang menguatkan di medan perjuangan.
Dalam Isra’ Mi’raj, Jibril mendampingi Rasulullah ﷺ hingga ke Sidratul Muntaha—batas akhir yang tak bisa dilampaui makhluk mana pun. Saat Jibril berkata, “Jika aku melangkah lebih jauh, aku akan terbakar,” Nabi ﷺ melanjutkan perjalanannya sendiri untuk berjumpa dengan Allah. Momen ini menegaskan keistimewaan Nabi Muhammad ﷺ sekaligus memperlihatkan peran sentral Jibril dalam mengantar beliau sejauh yang diizinkan.
Tak hanya dalam konteks spiritual, Jibril juga hadir dalam peristiwa strategis, seperti Perang Badar. Ia memimpin ribuan malaikat untuk memperkuat pasukan Muslim. Dalam situasi genting, Jibril memberi petunjuk kepada Nabi tentang strategi perang dan cara menghadapi makar kaum Quraisy. Di sini, ia tampil sebagai bagian dari pasukan langit yang mendukung tegaknya risalah tauhid.
Ketika wahyu terakhir turun, Rasulullah ﷺ menyadari bahwa masa kenabiannya telah mendekati akhir. Jibril datang untuk terakhir kalinya dan memberitahukan bahwa tugasnya telah selesai. Nabi pun menangis, bukan hanya karena perpisahan dengan misi kenabian, tetapi juga karena akan berpisah dengan sahabat surgawinya.
Dalam Isra’ Mi’raj, Jibril mendampingi Rasulullah ﷺ hingga ke Sidratul Muntaha—batas akhir yang tak bisa dilampaui makhluk mana pun. Saat Jibril berkata, “Jika aku melangkah lebih jauh, aku akan terbakar,” Nabi ﷺ melanjutkan perjalanannya sendiri untuk berjumpa dengan Allah. Momen ini menegaskan keistimewaan Nabi Muhammad ﷺ sekaligus memperlihatkan peran sentral Jibril dalam mengantar beliau sejauh yang diizinkan.
Tak hanya dalam konteks spiritual, Jibril juga hadir dalam peristiwa strategis, seperti Perang Badar. Ia memimpin ribuan malaikat untuk memperkuat pasukan Muslim. Dalam situasi genting, Jibril memberi petunjuk kepada Nabi tentang strategi perang dan cara menghadapi makar kaum Quraisy. Di sini, ia tampil sebagai bagian dari pasukan langit yang mendukung tegaknya risalah tauhid.
Ketika wahyu terakhir turun, Rasulullah ﷺ menyadari bahwa masa kenabiannya telah mendekati akhir. Jibril datang untuk terakhir kalinya dan memberitahukan bahwa tugasnya telah selesai. Nabi pun menangis, bukan hanya karena perpisahan dengan misi kenabian, tetapi juga karena akan berpisah dengan sahabat surgawinya.
Hubungan mereka telah melampaui fungsi kenabian—menjadi jalinan cinta karena Allah, antara Rasul terakhir dan malaikat utama yang setia mendampingi dalam menyelamatkan umat manusia.
Karakter Agung Malaikat Jibril dalam Al-Qur’an
Malaikat Jibril digambarkan sebagai makhluk yang amat kuat, memiliki 600 sayap, tubuhnya menutupi ufuk, dan sayapnya berjatuhan batu mulia. Bahkan hanya ujung satu sayap beliau bisa menghancurkan suatu kaum. Ini memberi gambaran bahwa malaikat bukan makhluk lemah seperti gambaran budaya populer, melainkan makhluk agung, infallible (tanpa dosa), dan menjalankan perintah Allah tanpa membangkang. Malaikat juga memiliki karakter: ada yang suka dan tidak suka pada hal tertentu, bukan seperti robot.Dalam Al-Qur’an, Malaikat Jibril AS digambarkan sebagai sosok yang memiliki kedudukan sangat tinggi di sisi Allah SWT. Ia adalah makhluk yang penuh kepercayaan, pembawa wahyu dari langit kepada para Nabi dan Rasul. Allah menyebut Jibril dengan gelar "al-ruh al-amin"—ruh yang terpercaya—sebagai bentuk penegasan atas kemuliaannya dalam mengemban risalah ilahi.
Sifat amanah ini menunjukkan bahwa wahyu yang disampaikannya tidak mengalami pengurangan, penambahan, maupun penyimpangan sedikit pun. Maka tak heran jika peran Jibril begitu sentral dalam menyampaikan risalah yang murni dan terjaga kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Tak hanya di bumi, kedudukan Jibril juga tinggi di antara para malaikat di langit. Dalam QS. At-Takwir ayat 20, Allah menggambarkan Jibril sebagai sosok yang memiliki kekuatan (dzū mirrah), dan berkedudukan tinggi (‘inda dzīl ‘arsy makīn), serta ditaati dan dipercaya oleh para malaikat.
Tak hanya di bumi, kedudukan Jibril juga tinggi di antara para malaikat di langit. Dalam QS. At-Takwir ayat 20, Allah menggambarkan Jibril sebagai sosok yang memiliki kekuatan (dzū mirrah), dan berkedudukan tinggi (‘inda dzīl ‘arsy makīn), serta ditaati dan dipercaya oleh para malaikat.
Ini menunjukkan bahwa Jibril bukan hanya sekadar pembawa pesan, tetapi juga pemimpin agung di kalangan makhluk langit. Keteguhannya dalam menjalankan amanah Allah membuatnya disegani dan menjadi teladan bagi para malaikat lainnya.
Bukan hanya tentang kepercayaan dan kedudukan, tetapi juga tentang bagaimana Allah memosisikan Jibril dalam relasi dengan umat manusia. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 97, Allah menegaskan bahwa siapa pun yang menjadi musuh Jibril, maka sesungguhnya ia juga menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, para rasul-Nya, dan Jibril serta Mikail.
Bukan hanya tentang kepercayaan dan kedudukan, tetapi juga tentang bagaimana Allah memosisikan Jibril dalam relasi dengan umat manusia. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 97, Allah menegaskan bahwa siapa pun yang menjadi musuh Jibril, maka sesungguhnya ia juga menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, para rasul-Nya, dan Jibril serta Mikail.
Ayat ini menjadi penegasan akan posisi Jibril yang begitu dimuliakan, dan bahwa permusuhan terhadapnya sejatinya adalah bentuk penolakan terhadap wahyu dan hidayah Allah. Ini menunjukkan betapa pentingnya posisi Jibril dalam struktur pewahyuan dan keimanan.
Dengan karakteristik yang demikian agung, Jibril bukan hanya sosok yang menjalankan tugas secara mekanis, melainkan makhluk Allah yang teguh, terhormat, dan menjadi bagian dari sistem penjagaan wahyu yang sempurna.
Dengan karakteristik yang demikian agung, Jibril bukan hanya sosok yang menjalankan tugas secara mekanis, melainkan makhluk Allah yang teguh, terhormat, dan menjadi bagian dari sistem penjagaan wahyu yang sempurna.
Setiap kali namanya disebut dalam konteks Al-Qur’an, ia selalu terkait dengan kekuatan, keteguhan, dan kemuliaan spiritual. Sosoknya menjadi simbol bahwa wahyu yang sampai kepada manusia adalah sesuatu yang terjaga, datang dari sumber yang luhur, dan disampaikan oleh utusan yang tidak diragukan integritasnya.
Nama & Julukan Malaikat Jibril
Keistimewaan Malaikat Jibril juga tergambar dari berbagai penyebutan namanya dalam Al-Qur’an yang menunjukkan karakteristik dan fungsinya. Selain disebut dengan namanya secara langsung, Jibril juga dikenal dengan beberapa gelar seperti Ruhul Qudus (Roh Suci), Ruhul Amin (Roh yang Amanah), Ruhana dan Ar-Ruh (Sang Ruh).Secara etimologi nama "Jibril" bisa bermakna "Hamba Allah" atau berasal dari akar kata jabar (kekuatan), sesuai dengan deskripsi dalam Al-Qur’an sebagai "dzū quwwah" (yang memiliki kekuatan besar). Allah menyebut Jibril sebagai "Rūhul-Amīn", "Rūhul-Qudus", dan "Rūhunā", menandakan kemurnian, kemuliaan, dan kedekatannya dengan Allah. Jibril juga satu-satunya malaikat yang disebutkan dalam shalawat oleh Nabi ﷺ, menunjukkan status spiritualnya yang tinggi.
Dalam QS. An-Nahl:102 misalnya, disebutkan bahwa Jibril adalah yang menurunkan wahyu ke dalam hati Rasulullah dengan izin Allah, membawa kebenaran sebagai petunjuk dan kabar gembira. Sementara dalam QS. Asy-Syu’ara:193-194, Jibril disebut sebagai Ruhul Amin yang menurunkan Al-Qur’an ke dalam hati Rasulullah.
Penyebutan-penyebutan ini menunjukkan betapa agung dan mulianya posisi Jibril dalam proses komunikasi langit dan bumi. Tidak hanya membawa kalimat-kalimat ilahiyah, tapi ia juga menjadi penjaga amanah paling suci dalam sejarah peradaban manusia. Ia juga Malaikat yang secara langsung diberikan kewenangan untuk berbicara langsung dengan Allah SWT seperti Nabi Musa AS.
Menariknya lagi, dalam QS. Maryam ayat 17, Allah menyebut Jibril hanya dengan istilah “Ruh” ketika dikisahkan bahwa ia datang kepada Maryam dalam rupa seorang laki-laki sempurna. Peristiwa ini menunjukkan betapa fleksibel dan kompleksnya tugas Jibril. Ia bukan sekadar makhluk yang menyampaikan wahyu secara tekstual, tapi juga hadir dalam peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah kenabian.
Bahkan dalam QS. Al-Qadar dan QS. Al-Ma’arij, disebutkan bahwa Ruh (yang dipahami banyak ulama sebagai Jibril) turun pada malam Lailatul Qadar bersama para malaikat membawa takdir-takdir yang telah ditetapkan. Ini menunjukkan bahwa peran Jibril mencakup dimensi spiritual yang sangat luas: dari penguatan pribadi para Nabi, pengantar wahyu, penyaksi kesungguhan umat manusia, hingga menjadi bagian dari peristiwa-peristiwa qadar ilahi. Semua ini memperlihatkan bahwa Jibril bukan hanya ‘kurir’ wahyu, melainkan sosok sentral dalam dinamika dakwah dan spiritualitas para Nabi sepanjang zaman.
Dalam sebuah riwayat yang terkenal, ketika Nabi Muhammad ﷺ mengalami perjumpaan pertamanya dengan Malaikat Jibril di Gua Hira, beliau merasa sangat takut dan kebingungan. Khadijah, istri beliau, kemudian membawa beliau menemui Waraqah bin Nawfal, seorang pendeta Nasrani yang masih memegang ajaran tauhid. Setelah mendengar penuturan Nabi, Waraqah mengatakan bahwa yang datang kepada beliau adalah Nāmūs al-Akbar, yaitu “Pembawa Rahasia Besar” yang juga datang kepada Nabi Musa AS.
Menariknya lagi, dalam QS. Maryam ayat 17, Allah menyebut Jibril hanya dengan istilah “Ruh” ketika dikisahkan bahwa ia datang kepada Maryam dalam rupa seorang laki-laki sempurna. Peristiwa ini menunjukkan betapa fleksibel dan kompleksnya tugas Jibril. Ia bukan sekadar makhluk yang menyampaikan wahyu secara tekstual, tapi juga hadir dalam peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah kenabian.
Bahkan dalam QS. Al-Qadar dan QS. Al-Ma’arij, disebutkan bahwa Ruh (yang dipahami banyak ulama sebagai Jibril) turun pada malam Lailatul Qadar bersama para malaikat membawa takdir-takdir yang telah ditetapkan. Ini menunjukkan bahwa peran Jibril mencakup dimensi spiritual yang sangat luas: dari penguatan pribadi para Nabi, pengantar wahyu, penyaksi kesungguhan umat manusia, hingga menjadi bagian dari peristiwa-peristiwa qadar ilahi. Semua ini memperlihatkan bahwa Jibril bukan hanya ‘kurir’ wahyu, melainkan sosok sentral dalam dinamika dakwah dan spiritualitas para Nabi sepanjang zaman.
Dalam sebuah riwayat yang terkenal, ketika Nabi Muhammad ﷺ mengalami perjumpaan pertamanya dengan Malaikat Jibril di Gua Hira, beliau merasa sangat takut dan kebingungan. Khadijah, istri beliau, kemudian membawa beliau menemui Waraqah bin Nawfal, seorang pendeta Nasrani yang masih memegang ajaran tauhid. Setelah mendengar penuturan Nabi, Waraqah mengatakan bahwa yang datang kepada beliau adalah Nāmūs al-Akbar, yaitu “Pembawa Rahasia Besar” yang juga datang kepada Nabi Musa AS.
Julukan Nāmūs [Martin Lings, 2018, hal.61] ini berasal dari bahasa Yunani melalui bahasa Suryani, yang berarti “hukum” atau “aturan”—sepadan dengan wahyu atau syariat. Meski nama Nāmūs tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an, makna dan perannya identik dengan apa yang dilakukan oleh Malaikat Jibril, yaitu menyampaikan hukum dan wahyu dari Allah SWT kepada para Rasul. Sebutan ini menjadi penegas bahwa Jibril adalah pembawa risalah ilahi dari zaman ke zaman, termasuk kepada Nabi Musa dan Muhammad ﷺ.
Gabriel Dalam Tradisi Yahudi dan Kristen
Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, nama Gabriel dikenal sebagai malaikat agung yang memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan dari Tuhan kepada para nabi dan tokoh penting. Dalam kitab Daniel (Perjanjian Lama), Gabriel adalah malaikat yang menafsirkan penglihatan-penglihatan Nabi Daniel.Sementara dalam Perjanjian Baru, ia disebut sebagai pembawa kabar kelahiran Nabi Yahya (Yohanes Pembaptis) kepada Zakaria dan kelahiran Nabi Isa (Yesus) kepada Maryam (Maria). Nama “Gabriel” sendiri berasal dari bahasa Ibrani Gavri’el, yang berarti “Tuhan adalah kekuatanku”. Figur Gabriel ini bukan hanya digambarkan sebagai utusan, tetapi juga sebagai pelindung dan malaikat agung yang memiliki otoritas spiritual besar.
Di luar tradisi Abrahamik, beberapa kepercayaan dan literatur esoterik juga mengenal figur serupa dengan nama berbeda, meski terkadang dicampur dengan unsur metafisik atau mitologis. Dalam literatur Gnostik dan okultisme, misalnya, Gabriel dianggap sebagai malaikat penjaga wahyu atau bahkan entitas kosmis yang berperan dalam menyampaikan pengetahuan spiritual.
Di luar tradisi Abrahamik, beberapa kepercayaan dan literatur esoterik juga mengenal figur serupa dengan nama berbeda, meski terkadang dicampur dengan unsur metafisik atau mitologis. Dalam literatur Gnostik dan okultisme, misalnya, Gabriel dianggap sebagai malaikat penjaga wahyu atau bahkan entitas kosmis yang berperan dalam menyampaikan pengetahuan spiritual.
Di dunia Barat, nama Gabriel sering diasosiasikan dengan pengharapan dan kelahiran baru karena perannya dalam kisah kelahiran Yesus. Meskipun terdapat perbedaan pemahaman berdasarkan tradisi dan konteks kepercayaan, karakteristiknya sebagai pembawa pesan ilahi tetap menjadi benang merah yang menghubungkan berbagai pemahaman tersebut.
Kesimpulannya, meskipun nama dan gelar Jibril bisa berbeda-beda dalam tradisi dan bahasa, perannya sebagai pembawa wahyu dan petunjuk ilahi tetap konsisten. Dalam Islam, ia adalah malaikat yang membawa Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad ﷺ; dalam Yudaisme dan Kekristenan, ia tetap figur sentral yang menyampaikan pesan Tuhan kepada para nabi dan orang-orang pilihan.
Kesimpulannya, meskipun nama dan gelar Jibril bisa berbeda-beda dalam tradisi dan bahasa, perannya sebagai pembawa wahyu dan petunjuk ilahi tetap konsisten. Dalam Islam, ia adalah malaikat yang membawa Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad ﷺ; dalam Yudaisme dan Kekristenan, ia tetap figur sentral yang menyampaikan pesan Tuhan kepada para nabi dan orang-orang pilihan.
Kisah Malaikat Jibril AS Menangis
Tidak semua air mata lahir dari kesedihan duniawi. Ada tangisan yang mengalir karena rasa takut kepada Allah—bukan karena siksa-Nya, melainkan karena makna kehancuran spiritual yang mungkin menimpa siapa pun, bahkan makhluk yang paling taat sekalipun. Inilah yang dialami oleh Malaikat Jibril dan Mikail ketika mereka menyaksikan kejatuhan Iblis.Dahulu, Iblis dikenal sebagai Azazil, ahli ibadah di langit yang namanya harum di hadapan para malaikat. Namun karena setitik kesombongan, ia menolak sujud kepada Adam dan menjadi makhluk yang dilaknat hingga hari kiamat.
Tatkala perintah Allah turun untuk mengusir Iblis dari rahmat-Nya, Malaikat Jibril dan Mikail menangis sangat keras. Allah bertanya, “Apa yang membuat kalian menangis seperti itu?” Keduanya menjawab, “Kami tidak merasa aman dari tipu daya-Mu, ya Rabb.”ii Mereka tahu bahwa tidak ada jaminan bagi siapa pun untuk selamat, kecuali dengan rahmat dan penjagaan Allah. Ini adalah bentuk rasa takut yang bukan lahir dari ketidakyakinan, tapi justru dari kesadaran penuh akan Maha Kuasanya Allah dalam membolak-balikkan hati makhluk-Nya.
Menariknya, meski Jibril adalah pembawa wahyu dan Mikail adalah pengatur rezeki, mereka tetap tidak merasa cukup aman. Mereka tidak mengandalkan kedekatan dengan Allah sebagai jaminan keselamatan.
Tatkala perintah Allah turun untuk mengusir Iblis dari rahmat-Nya, Malaikat Jibril dan Mikail menangis sangat keras. Allah bertanya, “Apa yang membuat kalian menangis seperti itu?” Keduanya menjawab, “Kami tidak merasa aman dari tipu daya-Mu, ya Rabb.”ii Mereka tahu bahwa tidak ada jaminan bagi siapa pun untuk selamat, kecuali dengan rahmat dan penjagaan Allah. Ini adalah bentuk rasa takut yang bukan lahir dari ketidakyakinan, tapi justru dari kesadaran penuh akan Maha Kuasanya Allah dalam membolak-balikkan hati makhluk-Nya.
Menariknya, meski Jibril adalah pembawa wahyu dan Mikail adalah pengatur rezeki, mereka tetap tidak merasa cukup aman. Mereka tidak mengandalkan kedekatan dengan Allah sebagai jaminan keselamatan.
Justru mereka menjadi contoh bahwa semakin tinggi maqam seorang hamba, semakin besar rasa takut dan kehati-hatiannya. Bahkan dikatakan bahwa Mikail tidak pernah tertawa lagi sejak neraka diciptakan—begitu dalam rasa takut dan harapnya kepada Allah. Ini adalah bentuk khauf dan rajā’ (takut dan harap) yang seimbang dan murni.
Dari kisah ini, kita diajak merenung. Jika para malaikat yang suci saja menangis karena takut terjatuh, bagaimana dengan kita yang sering lalai, sombong, dan merasa sudah cukup dengan ibadah yang sedikit?
Dari kisah ini, kita diajak merenung. Jika para malaikat yang suci saja menangis karena takut terjatuh, bagaimana dengan kita yang sering lalai, sombong, dan merasa sudah cukup dengan ibadah yang sedikit?
Jangan-jangan kita terlalu percaya diri dengan amal, sementara lupa bahwa istiqamah adalah anugerah yang harus terus diminta, bukan dianggap otomatis hadir. Jibril dan Mikail menangis bukan karena mereka berdosa, tapi karena mereka paham satu hal penting: tidak ada satu makhluk pun yang aman dari makr Allah kecuali dengan perlindungan-Nya.
Malaikat Jibril AS Masih Turun ke Bumi
Seringkali kita menganggap bahwa Malaikat Jibril hanyalah bagian dari kisah masa lalu, pengantar wahyu yang tugasnya telah selesai ketika risalah ditutup. Namun, dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ, disebutkan bahwa Jibril tidak pernah benar-benar "pergi" dari bumi.Ia masih turun, hadir dalam majelis-majelis ilmu, dan menyampaikan kepada Allah nama-nama mereka yang mengingat-Nya. Bahkan setiap kali kita bersalawat kepada Nabi, Allah dan para malaikat—termasuk Jibril—ikut bersalawat kepada kita, sebagai bentuk penghormatan dan cinta yang tak ternilai. Bayangkan, namamu disebut oleh Jibril di hadapan Allah. Itu bukan sekadar doa, itu kehormatan ilahiah.
Hubungan kita dengan Jibril bukanlah hubungan sejarah, melainkan hubungan yang hidup dan bisa dihidupkan setiap hari. Dalam malam-malam seperti Lailatul Qadr, disebutkan secara khusus bahwa Jibril berada di antara para malaikat yang turun ke bumi. Ia datang, menyaksikan, dan mencatat amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh hamba-hamba Allah.
Hubungan kita dengan Jibril bukanlah hubungan sejarah, melainkan hubungan yang hidup dan bisa dihidupkan setiap hari. Dalam malam-malam seperti Lailatul Qadr, disebutkan secara khusus bahwa Jibril berada di antara para malaikat yang turun ke bumi. Ia datang, menyaksikan, dan mencatat amal-amal kebaikan yang dilakukan oleh hamba-hamba Allah.
Mungkin tanpa kita sadari, saat kita berzikir, membaca Al-Qur’an, atau meneteskan air mata dalam doa, Jibril sedang menyampaikan nama kita kepada Rabbul ‘Alamin. Ini bukan ilusi harapan, melainkan janji yang telah disampaikan oleh Nabi ﷺ kepada umatnya.
Pertanyaannya kini bukan lagi “apakah mungkin Jibril mengenalku?” tapi “apa aku termasuk orang yang disebut olehnya di hadapan Allah?”. Jibril mencintai siapa yang dicintai oleh Allah, dan Allah mencintai hamba yang memperbanyak dzikir, menutup malam dengan kebaikan, dan menjaga keikhlasan.
Pertanyaannya kini bukan lagi “apakah mungkin Jibril mengenalku?” tapi “apa aku termasuk orang yang disebut olehnya di hadapan Allah?”. Jibril mencintai siapa yang dicintai oleh Allah, dan Allah mencintai hamba yang memperbanyak dzikir, menutup malam dengan kebaikan, dan menjaga keikhlasan.
Maka, tak ada alasan merasa terlalu kecil untuk dikenal oleh langit. Bahkan seseorang yang rendah di mata dunia bisa begitu tinggi di mata malaikat. Jadikan setiap amal sebagai peluang agar kelak, Jibril menyebut namamu di langit, dan penduduk langit mencintaimu karena itu.
Refleksi Diri
Menyelami peran Jibril ‘alaihis salam di berbagai kisah para Nabi membuat saya semakin memahami betapa seriusnya peran langit dalam membentuk peradaban manusia. Ia tidak hanya menjadi pengantar wahyu dalam bentuk teks, tetapi juga turut menyertai proses besar dalam sejarah: mulai dari kelahiran para Nabi, peringatan azab, hingga penguatan hati Rasulullah ﷺ dalam masa-masa tersulit.Jibril adalah cermin dari kemurnian misi langit—selalu tepat, kuat, dan lurus. Maka tak heran bila Allah memilihnya sebagai pengantar wahyu terakhir dalam bentuk Al-Qur’an yang menjadi petunjuk sepanjang masa. Kini, ketika wahyu itu telah sempurna, tugas Jibril dalam menyampaikannya telah selesai. Tinggal kita yang mesti bertanya: apakah kita sungguh-sungguh menjaga dan menghidupkan cahaya yang dulu ia sampaikan?
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏