TADABBUR QURAN: AL ASR 1 - 3

TADABBUR QURAN: AL ASR 1 - 3

Hai pencari cahaya! ✨🌝 

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 8 Agustus 2025.


Saat saya membuka mushaf pagi ini, sejujurnya saya merasa buntu. Tidak tahu harus mulai dari mana. Saya hanya ingin menemukan ayat yang benar-benar "berbicara" kepada saya. Maka saya berdoa pelan dalam hati, "Ya Allah, pilihkan ayat yang sedang saya butuhkan, agar saya bisa belajar lebih dalam lagi." 

Lalu jari saya berhenti pada surat yang sangat pendek, tapi sangat padat makna: QS. Al-‘Asr. Di ayat ketiganya, Allah menyebutkan empat kriteria orang yang tidak merugi, dan salah satunya adalah saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

TADABBUR QURAN: AL ASR 1 - 3 

Saya terdiam cukup lama di frasa ini. Tiba-tiba saya merasa seperti melihat potret diri saya yang dulu. Diri yang sangat defensif dan keras kepala ketika diberi nasihat. Terutama nasihat yang berkaitan dengan nilai-nilai agama atau spiritual. Saya dulu berpikir bahwa saya sudah benar, dan cara saya menjalani hidup tidak perlu dikritisi oleh orang lain. Tapi ternyata justru sikap itu yang membuat saya banyak kehilangan hikmah, kehilangan arah, bahkan kehilangan kesempatan untuk lebih dekat dengan Allah SWT.
 

Nasihat Keliru

Ada satu fase dalam hidup saya ketika saya sangat rentan terhadap nasihat dari orang lain. Mungkin karena saat itu saya sedang bingung dan merasa tidak punya pegangan yang kuat. Tapi anehnya, justru nasihat yang saya terima datang dari orang-orang yang tidak benar-benar mengarahkan saya pada kebaikan yang sejati. Salah satunya adalah ketika saya diminta untuk menemui "orang pintar" karena dianggap aneh karena belum menikah di usia yang "seharusnya."

Saya masih ingat jelas rasa tidak nyamannya hati saya saat mendengar saran itu. Waktu itu, pengetahuan agama saya sangat tipis. Tapi entah mengapa, hati saya langsung menolak keras. Bahkan saya sampai menjawab dengan sinis, “Mau minta jodoh kok pinjam mulut orang lain.” Sekarang kalau saya ingat lagi, saya bersyukur Allah menanamkan penolakan di hati saya, meski secara ilmu saya saat itu belum paham mana yang musyrik, mana yang tauhid.

Pengalaman itu membuka mata saya bahwa tidak semua nasihat itu bisa dan harus diikuti. Ada nasihat yang justru menjauhkan kita dari Allah, walau disampaikan dengan niat baik. Maka penting sekali untuk belajar membedakan antara nasihat yang membawa pada takwa dan nasihat yang membungkus kesesatan dengan kebaikan semu.
 

Alarm Hati yang Dijaga Allah

Sejak kecil saya tidak tumbuh dalam lingkungan yang sangat religius. Keluarga saya cenderung campur aduk antara kepercayaan adat, Islam yang turun-temurun, dan budaya lokal. Bahkan praktik-praktik yang berkaitan dengan dukun atau "orang pintar" itu dianggap biasa saja. Tidak pernah ada yang mempertanyakan apakah hal itu sejalan dengan tauhid atau justru menyalahi ajaran Islam.

Namun, dalam kekacauan spiritual itu, saya menyadari ada satu hal yang Allah titipkan kepada saya: sensitivitas hati terhadap sesuatu yang tidak benar. Meskipun saya belum tahu dalil atau ilmunya, tapi hati saya selalu memberontak saat diajak melakukan sesuatu yang tidak Allah ridai. Sekarang saya sadar, itu adalah bentuk kasih sayang Allah—menjaga saya meskipun saya sendiri belum sepenuhnya paham kenapa harus dijaga.

Dari situlah saya belajar bahwa nasihat terbaik sebenarnya datang dari Allah melalui ilham yang bersih dalam hati. Tapi hati itu hanya bisa jernih kalau tidak tertutup oleh hawa nafsu dan kesombongan. Maka penting untuk menjaga koneksi dengan Allah, agar hati kita bisa membedakan mana suara yang dari-Nya, dan mana yang sekadar suara manusia yang penuh asumsi dan tekanan sosial.
 

Menjadi Pendengar yang Tidak Taqlid

Ketika saya mengingat masa lalu, saya menyadari satu hal yang menyedihkan: saya sering menolak nasihat bukan karena nasihat itu salah, tapi karena saya tidak suka cara penyampaiannya. Saya merasa dipaksa. Saya merasa dinilai. Saya merasa dihakimi. Tapi kini saya sadar, kadang saya juga perlu belajar menjadi pendengar yang tidak terlalu defensif. Karena bisa jadi, di balik penyampaian yang kurang bijak, ada hikmah besar yang sedang Allah titipkan.

Namun tentu saja, saya tetap harus memilah. Nasihat yang membawa kita lebih dekat pada Allah adalah nasihat yang layak kita simak dan renungkan, meski datang dari orang yang tidak sempurna. Sedangkan nasihat yang justru menjauhkan kita dari syariat dan nilai-nilai kebenaran, sebaiknya kita tinggalkan dengan tenang.

Surat Al-‘Asr mengajarkan bahwa nasihat yang bermanfaat adalah yang berkaitan dengan dua hal: kebenaran dan kesabaran. Artinya, ada nilai objektif yang dijaga (yaitu kebenaran menurut Allah), dan ada pendekatan hati yang lembut (yaitu kesabaran dalam menyampaikan dan menerima). Keduanya harus hadir agar nasihat menjadi jalan keselamatan, bukan luka batin.
 

Manajemen Waktu & Hikmah Kebijaksanaan

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.
Al-‘Aṣr [103]:1 – 3

Ketika Allah SWT bersumpah dengan waktu (wal-‘ashr), saya merasa ada pesan yang sangat serius dan mendalam yang sedang ditujukan kepada kita semua. Bukan hanya tentang waktu sebagai detik, jam, atau hari, tapi tentang semua pengalaman, proses, dan pilihan yang kita buat di dalamnya. Setiap kejadian, baik atau buruk, besar atau kecil, semua terjadi dalam ruang yang disebut waktu. 

Dan kita, sebagai manusia, ditantang untuk tidak menyia-nyiakan nikmat terbesar itu. Karena pada akhirnya, bukan hanya apa yang kita kerjakan yang akan Allah nilai, tetapi juga bagaimana kita memanfaatkan waktu untuk mendekat kepada-Nya.

Berdasarkan Tafsir Tahlili, makna ayat 1 tentang “masa” adalah Allah bersumpah atas waktu, karena di dalamnya termuat kejadian-kejadian yang mencerminkan kebesaran dan kekuasaan-Nya, mulai dari silih bergantinya siang dan malam hingga dinamika hidup manusia seperti suka-duka, kaya-miskin, senggang dan sibuk. 

Semua itu bukan sekadar rangkaian kejadian acak, melainkan bukti nyata bahwa ada Zat Yang Mahakuasa yang menciptakan dan mengatur alam semesta. Waktu bukan penyebab terjadinya musibah atau keberuntungan, sebagaimana keyakinan sebagian orang kafir yang menisbatkan semua peristiwa pada "kemauan waktu". 

Sesungguhnya, waktu adalah makhluk Allah yang menjadi wadah dari segala peristiwa, sedangkan hikmah di balik setiap kejadian merupakan bagian dari ilmu dan kehendak Allah yang tak terbatas.

Saya jadi merenungi bahwa selama ini saya pernah merasa "sibuk", tapi sebenarnya saya hanya dipenuhi oleh hal-hal yang tidak substansial. Salah satunya adalah ketika dulu saya menghabiskan waktu untuk membicarakan orang lain, ikut arus ghibah yang dikemas dalam bungkus "curhat" atau "kasih tahu aja biar kamu hati-hati." 

Padahal, sejatinya saya sedang membuang waktu yang sangat mahal untuk sesuatu yang tidak bernilai di hadapan Allah. Bahkan bisa jadi justru memperparah kerugian diri saya sendiri. Kesibukan itu tidak membawa saya pada kebaikan atau kedekatan pada Allah. Ia hanya membuat saya merasa seolah aktif, padahal sebenarnya kosong.

Dari surat Al-‘Ashr ini saya belajar bahwa waktu yang berkualitas bukan tentang berapa banyak hal yang kita lakukan, tapi seberapa bermakna aktivitas itu dalam memperbaiki diri dan orang lain. Nasihat yang benar bukanlah tentang menyebar aib orang lain dengan dalih peduli, tetapi tentang menanamkan nilai yang membuat seseorang kembali kepada Allah dengan sadar. 

Maka, sekarang saya lebih berhati-hati: tidak semua obrolan harus saya ikuti, tidak semua kesibukan pantas saya pertahankan. Jika ingin menjadi manusia yang tidak merugi, saya harus mulai dari menata waktu—dan memilih nasihat yang membawa saya lebih dekat kepada iman, amal saleh, kebenaran, dan kesabaran.

Makna Berdasarkan Tafsir  

Dalam Tafsir as-Sa’di, Allah bersumpah dengan waktu—siang dan malam—sebagai wadah bagi amal manusia, untuk menegaskan bahwa seluruh manusia berada dalam kerugian kecuali mereka yang memenuhi empat syarat: iman, amal shalih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran. Iman di sini mencakup pengetahuan, karena keimanan tanpa ilmu tidak sempurna.
 
Amal shalih mencakup seluruh bentuk kebaikan, baik terhadap Allah maupun sesama, yang bersifat wajib maupun sunnah. Saling menasihati dalam kebenaran berarti mendorong sesama dalam iman dan amal, sedangkan nasihat dalam kesabaran mencakup ketabahan dalam ketaatan, menjauhi maksiat, dan menerima takdir Allah dengan lapang dada. 

Dua sifat pertama menyempurnakan diri sendiri, sedangkan dua terakhir menyempurnakan hubungan sosial; keempatnya adalah jalan untuk selamat dari kerugian.

Sementara itu, Tafsir Ibnu Katsir menegaskan bahwa "al-‘ashr" merujuk pada waktu secara umum, tempat manusia berbuat baik maupun buruk. Pendapat paling kuat menyatakan bahwa makna “al-‘ashr” mencakup keseluruhan waktu kehidupan manusia, meskipun ada riwayat bahwa ia merujuk pada waktu sore. 

Allah bersumpah dengan waktu untuk menunjukkan bahwa mayoritas manusia merugi, kecuali mereka yang memiliki iman yang kokoh di hati, amal shalih yang dilakukan anggota tubuh, serta komitmen untuk menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. 

Nasihat ini meliputi ajakan kepada ketaatan dan peneguhan hati saat menghadapi ujian, termasuk penolakan dan gangguan dari orang-orang yang enggan menerima amar ma’ruf nahi munkar. Tafsir ini menggarisbawahi bahwa keberuntungan hanya bisa diraih dengan perbaikan diri dan kontribusi positif terhadap sesama, di atas dasar iman yang benar.
 

Nasihat yang Mengakar pada Tauhid

Setelah melewati banyak pengalaman spiritual, saya akhirnya mengerti bahwa nasihat terbaik adalah yang membuat saya semakin mengenal dan mencintai Allah. Bukan yang membuat saya panik, merasa tertinggal, atau tergoda mencari solusi instan seperti “doa cepat jadi” dari para tokoh spiritual tertentu. Sebab nasihat seperti itu kadang menjebak kita dalam ilusi bahwa kita bisa mengatur takdir tanpa usaha dan tanpa mendekat kepada-Nya.

Saya jadi sadar bahwa mengikuti sunnah Nabi SAW dan ajaran Al-Qur’an adalah bentuk nasihat terbesar yang Allah berikan. Ia bukan sekadar kata-kata, tapi petunjuk hidup. Maka saat seseorang menasihati saya dengan membawa dalil atau merujuk pada cara Rasulullah hidup, saya kini lebih membuka hati. Karena saya tahu, nasihat seperti itu mengakar pada tauhid.

Melalui tadabbur ini, saya belajar untuk tidak hanya menjadi pendengar nasihat, tapi juga pemberi nasihat yang berhati-hati. Tidak semua orang siap dinasihati, dan tidak semua nasihat cocok untuk disampaikan kepada semua orang. Tapi jika kita berniat tulus karena Allah dan menyampaikannya dengan sabar, insya Allah akan ada hati yang tergerak, sebagaimana dulu hati saya juga digerakkan oleh Allah dari nasihat yang sederhana.

Menulis dan membuat catatan digital—seperti yang sedang saya lakukan dalam catatan tadabbur ini—adalah salah satu bentuk ikhtiar saya untuk memberikan nasihat tanpa bermaksud menggurui. Saya menyadari bahwa tidak semua orang nyaman dinasihati secara langsung. 

Maka dengan membagikannya dalam bentuk tulisan, saya berharap siapa pun yang membacanya bisa merenungkan secara mandiri. Saya hanya ingin membantu sesama agar bisa berpikir lebih jernih, lebih sehat, dan tidak mudah terjebak pada jalan pintas yang semu.

Proses adalah pondasi penting dalam membentuk manusia yang matang secara spiritual dan mental. Saya percaya bahwa membangun cahaya ilmu tidak bisa instan, melainkan melalui perjalanan panjang yang sering kali tidak terlihat hasilnya secara langsung. 

Itulah mengapa saya menolak untuk bergantung pada cara-cara cepat, seperti mencari “doa instan” dari tokoh spiritual hanya karena sedang terdesak. Alih-alih solusi cepat, saya ingin menapaki jalan ilmu dengan sabar dan menyebarkan semangat itu melalui tulisan-tulisan kecil yang saya buat.
 

Cahaya Ilmu adalah Nasihat Bermakna

Banyak orang datang kepada orang pintar bukan untuk belajar, tapi untuk meminta solusi instan. Mereka berharap mendapatkan "jalan keluar cepat" tanpa mau berjalan dalam cahaya ilmu. Padahal, ilmu adalah bentuk nasihat paling bermakna. 

Ilmu tidak hanya menyembuhkan ketidaktahuan, tetapi juga menuntun manusia untuk memahami dirinya dan jalan hidupnya dengan lebih jernih. Ketika kita memilih belajar, kita sedang membentuk ketangguhan hati dan kejernihan pikiran dalam menghadapi kesulitan hidup.

Sering kali kita merasa buntu bukan karena tak ada solusi, tapi karena pikiran kita terlalu penuh dengan hal-hal yang tak perlu: gosip, berita viral, konflik yang tak menyentuh hidup kita secara langsung, atau ilmu yang tidak membawa manfaat. Informasi-informasi ini mengaburkan cahaya yang seharusnya menuntun kita. Saat pikiran dipenuhi hal-hal remeh, ruang bagi nasihat dan hikmah jadi sempit. Akibatnya, kita mudah stres, cemas, dan merasa hidup ini kabur tanpa arah.

Ibnu Sina pernah menyampaikan bahwa ada tiga obat untuk gangguan mental: logika, ilmu, dan filsafat. Artinya, belajar berpikir dengan tertib dan benar adalah jalan menuju penyembuhan jiwa. Ilmu bukan sekadar hafalan atau koleksi data, tapi petunjuk bagi akal. 

Dalam kerangka ini, nasihat yang mengakar pada ilmu sejati adalah bentuk pertolongan yang paling mendalam: ia tak menyelesaikan masalah secara instan, tetapi menumbuhkan kemampuan menyelesaikan masalah seumur hidup.

Maka, ketika Allah menyebut pentingnya tawaṣau bil-ḥaqq dalam QS. Al-‘Ashr, itu juga bisa dimaknai sebagai dorongan untuk saling memberi cahaya ilmu yang benar dan membimbing sesama dengan pemahaman yang lurus. Nasihat yang bernilai bukan sekadar "jangan begini" atau "lakukan itu", melainkan ajakan untuk menghidupkan akal, membersihkan pikiran, dan berjalan bersama dalam terang pengetahuan.
 

Refleksi Diri

Dalam banyak momen hidup, saya menyadari bahwa waktu sering kali terbuang bukan karena saya tak punya tujuan, tetapi karena saya terlalu sibuk mengejar hal-hal yang tak benar-benar saya butuhkan. Seolah-olah saya menukar jam-jam berhargaku dengan informasi kosong, perbincangan sia-sia, dan ekspektasi orang lain yang tak pernah habis. 

Tadabbur terhadap QS Al-‘Ashr membuat saya bertanya ulang, untuk apa saya diberi umur? Apakah saya benar-benar menggunakan waktuku dalam iman, amal, dan nasihat seperti yang disebutkan Allah dalam ayat-Nya?

Saya juga pernah berharap ada seseorang yang datang dan memberi jawaban instan atas kebingungan dan keresahan saya. Namun makin saya dalami ayat ini, makin saya mengerti bahwa solusi tidak lahir dari lari ke manusia, tapi dari mencari cahaya ilmu dan mendidik diri. 

Nasihat yang berakar pada tauhid, yang tidak memanjakan hawa nafsu, justru sering kali terasa “tidak nyaman” — tapi di sanalah letak penyembuhannya. Ilmu membuat kita jernih melihat, dan nasihat membuat kita tetap waras di tengah dunia yang kabur nilai.

Kini saya mulai percaya bahwa belajar itu adalah bentuk ibadah, dan mendalami logika serta cara berpikir adalah bentuk menjaga kesehatan mental. Seperti kata Ibnu Sina, logika dan ilmu bisa menjadi penawar bagi jiwa yang sakit — bukan karena mereka menawarkan pelarian, tapi karena mereka mengajarkan kejelasan. Dan QS Al-‘Ashr mengingatkan saya, bahwa tidak ada keselamatan tanpa usaha sadar untuk mengelola waktu, memperkuat iman, dan membuka hati terhadap nasihat yang bermakna.

Posting Komentar

0 Komentar