بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 4 Agustus 2025,
Ada momen dalam hidup ketika janji manusia terasa terlalu rapuh untuk digantungkan harapan. Di tengah ketidakpastian dunia, satu-satunya janji yang terasa kokoh adalah janji Allah. Ketika saya membaca QS. Al-Mursalat ayat 7, saya seperti disadarkan kembali: apa yang Allah firmankan bukan sekadar peringatan biasa. Ini adalah kebenaran mutlak yang akan terjadi, entah kita bersiap atau tidak.
TADABBUR QURAN: AL MURSALAT 7
Di ayat-ayat sebelumnya, Allah bersumpah dengan ciptaan-Nya—dengan angin, awan, dan para malaikat—untuk menunjukkan betapa seriusnya peringatan ini. Dalam Tafsir Tahlili Kemenag dijelaskan bahwa janji ini merujuk pada hari kebangkitan, kiamat, surga dan neraka, serta pengumpulan seluruh manusia di Padang Mahsyar.
Semua akan dihidupkan kembali, dan setiap kebenaran yang dahulu diingkari akan nyata di hadapan mata. Maka tak heran jika surat ini mengguncang hati siapa pun yang membacanya dengan iman dan renungan.
Janji yang Tidak Pernah Dusta
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:اِنَّمَا تُوْعَدُوْنَ لَوَاقِعٌۗsesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti terjadi.Al-Mursalāt [77]:7
Ayat ke-7 ini seolah menjadi klimaks dari sumpah-sumpah sebelumnya: bahwa semua yang dijanjikan—entah itu kebangkitan, surga, neraka, atau pertolongan—adalah kenyataan yang akan terjadi. Di tengah dunia yang sarat ketidakadilan, janji akan keadilan Allah di akhirat menjadi sumber kekuatan bagi orang-orang yang masih memilih hidup jujur dan lurus. Tak ada satu pun firman Allah yang akan meleset dari kenyataan.
Saya merenung, bahwa kebahagiaan yang Allah janjikan untuk orang-orang sabar, serta hukuman untuk yang berbuat zalim, adalah dua sisi janji yang sama-sama pasti. Kita hanya tinggal memilih di sisi mana kita akan berdiri. Ini bukan tentang optimisme semu, tapi tentang membangun hidup berdasarkan kepercayaan pada kebenaran yang telah ditetapkan oleh Allah.
Ayat ini memang sering dikaitkan dengan janji-janji besar di akhirat, seperti surga dan neraka, kebangkitan, serta pembalasan amal. Namun jika direnungkan lebih dalam, maknanya juga sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari. Apa pun yang Allah firmankan—baik dalam bentuk perintah, larangan, ataupun kabar gembira dan peringatan—pasti akan terjadi.
Jika Allah menjanjikan bahwa pertolongan-Nya dekat bagi orang yang bersabar, maka janji itu bukan hanya berlaku di akhirat, melainkan juga dalam setiap fase hidup kita.
Ketika Allah berfirman bahwa rezeki telah dijamin, bahwa hati menjadi tenang dengan mengingat-Nya, atau bahwa siapa yang bertakwa akan diberi jalan keluar—semua itu bukan sekadar harapan, melainkan realitas yang akan diwujudkan dalam waktu yang paling tepat. Ayat ini, dengan kesederhanaannya, justru mengandung jaminan luar biasa: tidak ada satu pun sabda Allah yang bersifat ilusi.
Fenomena Dunia yang Membenarkan Wahyu
Beberapa tahun terakhir, saya lebih banyak diam dan memperhatikan. Saya mengamati bagaimana peristiwa demi peristiwa di dunia ini tampaknya mengonfirmasi kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya saja ayat yang menyebut bahwa manusia tidak dizalimi kecuali oleh dirinya sendiri—saya menyaksikannya dalam kehidupan sosial, politik, hingga pergaulan sehari-hari. Kerusakan kerap lahir dari ketamakan manusia sendiri.Dalam konteks ini, QS. Al-Mursalat ayat 7 terasa semakin hidup. Karena janji Allah tidak hanya menyangkut akhirat, tapi juga realitas dunia yang kita jalani. Semua yang difirmankan-Nya mulai dari sifat manusia, dinamika sosial, hingga sebab-sebab kehancuran moral telah terlihat nyata. Bahkan, banyak peringatan yang dulu terdengar abstrak kini menjadi peristiwa yang bisa kita saksikan dengan mata kepala sendiri. Misalnya saja:
1. Kerusakan lingkungan yang masif dan merata
Dulu kita mungkin membaca ayat-ayat tentang kerusakan di daratan dan lautan karena ulah manusia (QS. Ar-Rum: 41) sebagai sesuatu yang abstrak. Namun hari ini, kita bisa menyaksikan secara nyata: polusi udara ekstrem, pencemaran laut, deforestasi besar-besaran, dan perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem, kekeringan, banjir bandang, hingga kelangkaan pangan.
2. Fenomena kebohongan yang dianggap kebenaran
Dalam Al-Qur'an banyak disebutkan bagaimana manusia menolak kebenaran dan mengikuti hawa nafsu serta bisikan setan. Dulu mungkin terasa sebagai cerita orang-orang terdahulu, namun hari ini kita melihat banyak contoh bagaimana hoaks, fitnah, dan narasi yang menyesatkan tersebar luas, bahkan dijadikan pegangan hidup sebagian orang. Kebenaran menjadi relatif, dan opini pribadi lebih dipercaya ketimbang wahyu.
3. Tanda-tanda moral yang runtuh
Nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi dalam Islam kini tergeser oleh budaya hedonisme dan permisivisme. Banyak ayat tentang kaum-kaum terdahulu yang dibinasakan karena menyimpang dari fitrah kemanusiaan, kini tercermin nyata dalam krisis moral modern: normalisasi zina, penyalahgunaan kekuasaan, eksploitasi, dan ketidakadilan yang merajalela di berbagai belahan dunia.
Dari sini, saya makin percaya bahwa jika janji-janji duniawi dalam Al-Qur’an bisa terbukti, maka janji akhirat tentu jauh lebih bisa dipercaya. Dunia ini hanyalah bayangan dari kebenaran yang lebih besar. Maka, siapa yang masih meragukan hari kebangkitan, sebaiknya mulai membaca ulang sejarah dan realitas dengan pandangan Al-Qur’an.
Dari sini, saya makin percaya bahwa jika janji-janji duniawi dalam Al-Qur’an bisa terbukti, maka janji akhirat tentu jauh lebih bisa dipercaya. Dunia ini hanyalah bayangan dari kebenaran yang lebih besar. Maka, siapa yang masih meragukan hari kebangkitan, sebaiknya mulai membaca ulang sejarah dan realitas dengan pandangan Al-Qur’an.
Sumpah Para Malaikat dan Keseriusan Peringatan
Satu hal yang menarik dari surat ini adalah bagaimana Allah bersumpah dengan malaikat di ayat-ayat awal, sebelum menyatakan bahwa janji-Nya pasti terjadi. Dalam Tafsir Tahlili disebutkan bahwa sumpah ini menjadi penguat atas pernyataan besar yang akan diungkap, yaitu tentang hari kebangkitan dan balasan akhirat.Para malaikat digambarkan sebagai makhluk yang dikirim untuk menyampaikan wahyu, menjalankan perintah Allah, dan mengatur urusan dunia. Maka ketika Allah bersumpah dengan keberadaan mereka, itu menunjukkan betapa krusialnya pesan yang akan datang. Ini bukan sekadar narasi teologis, tetapi sebuah peringatan dengan tingkat urgensi yang sangat tinggi.
Kesadaran ini membuat saya merenung: jika makhluk sehebat malaikat dijadikan saksi untuk menyampaikan peringatan ini, betapa besar konsekuensinya jika kita mengabaikannya. Betapa berat pula pertanggungjawaban bagi kita yang tahu, namun tetap memilih lalai. Surat ini bukan hanya menjelaskan peristiwa akhir zaman, tetapi juga menguji tingkat keimanan kita terhadap kebenaran yang gaib.
Waktu dan Kesadaran Diri
Apa yang membuat manusia mudah lalai terhadap janji Allah? Salah satunya adalah persepsi kita terhadap waktu. Kita merasa masih memiliki banyak kesempatan, masih bisa bertaubat nanti, masih bisa memperbaiki diri kelak. Padahal, waktu adalah misteri yang tidak pernah kita miliki sepenuhnya.QS. Al-Mursalat ayat 7 mengingatkan saya bahwa setiap detik yang berlalu membawa kita lebih dekat kepada hari yang dijanjikan. Bahkan jika kita tak melihatnya secara kasat mata, waktu terus menggiring kita ke arah yang telah ditentukan oleh takdir. Ini bukan tentang menakut-nakuti, tapi tentang menyadarkan diri agar tak tertidur di tengah perjalanan spiritual.
Kesadaran diri pun menjadi kunci. Mereka yang terus memperbaiki niat, membersihkan hati, dan menahan hawa nafsu, akan menjadi bagian dari golongan yang mendapat kabar gembira. Sementara yang menunda-nunda dan menutup mata terhadap kebenaran akan berhadapan dengan kenyataan yang selama ini mereka dustakan. Semua telah dijanjikan. Tinggal bagaimana kita memilih bersiap atau berpaling.
Siapa yang Dibawa Allah sebagai Saksi?
Ketika membuka QS. Al-Mursalat, kita langsung dihadapkan pada deretan sumpah yang tak biasa. Allah tidak langsung menyebutkan objek sumpahnya, melainkan memilih untuk menyebut "yang diutus", "yang terbang kencang", "yang menyebar", dan "yang membedakan".Dalam Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan adanya ragam penafsiran yang menunjukkan kekayaan pemahaman salaf tentang ayat ini. Abu Hurairah, misalnya, menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah para malaikat yang membawa perintah dan wahyu. Tapi Ibnu Mas'ud dan beberapa tabi'in seperti Mujahid dan Qatadah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah angin.
Ibnu Jarir ath-Thabari, dalam riwayat Ibnu Katsir, memilih sikap hati-hati. Ia tidak memastikan makna dengan mutlak, namun cenderung pada pendapat bahwa "al-mursalat" adalah angin yang bertiup sedikit demi sedikit.
Ibnu Jarir ath-Thabari, dalam riwayat Ibnu Katsir, memilih sikap hati-hati. Ia tidak memastikan makna dengan mutlak, namun cenderung pada pendapat bahwa "al-mursalat" adalah angin yang bertiup sedikit demi sedikit.
Ini didasarkan pada ayat-ayat lain seperti QS. Al-Hijr: 22 dan QS. Al-A’raf: 57, di mana angin disebut sebagai pembawa rahmat sebelum hujan. Penafsiran ini memperlihatkan bahwa baik malaikat maupun angin—keduanya merupakan pasukan Allah yang tunduk menjalankan tugasnya untuk membawa kabar gembira, peringatan, atau bahkan kehancuran. Hal yang menarik dari penafsiran ini adalah makna simbolis dan fisiknya.
Jika memang yang dimaksud adalah malaikat, maka Allah sedang menunjukkan bahwa pesan-pesan wahyu yang disampaikan kepada rasul adalah hal serius yang memisahkan antara hak dan batil. Namun jika yang dimaksud adalah angin, maka itu menjadi peringatan bahwa bahkan angin yang biasa kita rasakan pun adalah alat Allah yang digunakan untuk menggiring perintah-Nya, kadang untuk menyuburkan bumi, kadang untuk menghancurkan.
Dan semua itu menjadi pembuka menuju kalimat puncak di ayat ke-7: “Sungguh, apa yang dijanjikan kepada kalian itu pasti terjadi.”
Hari yang Tidak Mungkin Ditunda
Dalam lanjutan tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan makna dari janji yang pasti terjadi itu: kiamat, kebangkitan, dan hari keputusan. Para ulama tafsir sepakat bahwa ayat ke-7 adalah objek dari semua sumpah di ayat-ayat sebelumnya. Ini berarti semua sumpah dengan angin dan malaikat itu ditujukan untuk memperkuat satu pernyataan penting: hari perhitungan itu nyata, bukan sekadar mitos atau simbol. Tafsir Al-Muyassar bahkan menegaskan bahwa ini adalah hari yang tidak bisa tidak, yang pasti datang menjemput manusia, beserta segala amalnya.Di hari itu, kata Ibnu Katsir, para rasul dikumpulkan, seperti yang disebut dalam QS. Al-Maidah: 109—“Ingatlah hari ketika Allah mengumpulkan para rasul.” Semua akan hadir, saksi-saksi dihadirkan, dan bumi pun dipersiapkan untuk menjadi panggung pengadilan Ilahi (QS. Az-Zumar: 69).
Tidak ada alasan yang bisa dipakai lagi. Tidak ada ruang untuk menyangkal. Hari itu disebut sebagai Yaumul Fasl, hari pemisahan yang jelas antara hak dan batil, antara surga dan neraka, antara selamat dan celaka.
Apa yang membuat ini relevan untuk direnungi hari ini adalah kenyataan bahwa dunia modern penuh penundaan kesadaran. Kita tahu apa yang benar, tapi menundanya. Kita tahu hidup ini akan berakhir, tapi tetap merasa punya waktu panjang.
Apa yang membuat ini relevan untuk direnungi hari ini adalah kenyataan bahwa dunia modern penuh penundaan kesadaran. Kita tahu apa yang benar, tapi menundanya. Kita tahu hidup ini akan berakhir, tapi tetap merasa punya waktu panjang.
Tafsir Ibnu Katsir memaksa kita untuk menaruh kembali rasa takut yang sehat, bahwa waktu terus berjalan menuju hari yang tak bisa ditunda lagi. Saat itulah, janji Allah akan benar-benar hadir di hadapan kita—bukan sebagai teori, tapi sebagai kenyataan mutlak.
Refleksi Diri
Dengan membaca QS. Al-Mursalat ayat 7 dan deretan sumpah yang mengawalnya, kita tidak hanya diajak untuk mengingat tentang kedahsyatan hari kiamat, tetapi juga untuk merenungi kepekaan hati dalam menyambut peringatan. Ayat ini seperti mengetuk pintu kesadaran yang mungkin selama ini tertutup oleh kesibukan dunia.Ketika Allah bersumpah demi angin, demi malaikat, demi waktu, itu bukan sekadar bentuk penegasan, tapi juga isyarat bahwa seluruh alam semesta sejatinya bersaksi atas kebenaran yang sedang kita lalaikan. Kiamat bukan hanya fenomena kosmik, tetapi juga simbol dari "hari kebenaran" yang tak bisa dihindari.
Dalam hiruk-pikuk dunia yang sering membuat kita lupa arah, ayat ini datang sebagai pengingat bahwa setiap hembusan angin dan detak waktu adalah pengingat akan janji yang pasti. Kita mungkin bisa menunda tugas, menolak perubahan, bahkan menghindari kebenaran, tetapi kita tidak akan pernah bisa menunda datangnya waktu yang telah ditetapkan Allah.
Dalam hiruk-pikuk dunia yang sering membuat kita lupa arah, ayat ini datang sebagai pengingat bahwa setiap hembusan angin dan detak waktu adalah pengingat akan janji yang pasti. Kita mungkin bisa menunda tugas, menolak perubahan, bahkan menghindari kebenaran, tetapi kita tidak akan pernah bisa menunda datangnya waktu yang telah ditetapkan Allah.
Tafsir para ulama menunjukkan bahwa apa pun bentuknya, semua tunduk kepada perintah Allah, dan semuanya mengarah pada satu titik: hari pembalasan. Maka, pertanyaannya bukan lagi “kapan” hari itu datang, melainkan “sudah siapkah kita menyambutnya?”
Ayat ini bukan sekadar bacaan rutin saat subuh, melainkan alarm spiritual yang membangunkan jiwa dari tidur panjang kelalaian. Ia menyentuh sisi terdalam dari fitrah manusia: rasa takut, harap, dan tanggung jawab. Barangkali sudah waktunya kita berhenti hanya menghafal tanpa meresapi.
Sudah waktunya menjadikan ayat ini sebagai titik balik, bukan hanya dalam keyakinan, tapi juga dalam tindakan. Karena sesungguhnya, innamā tū‘adūna lawaqi‘—apa yang dijanjikan itu pasti terjadi, dan ia datang lebih cepat dari yang kita sangka.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏