TADABBUR QURAN: AN NAJM 1 - 18

TADABBUR QURAN: AN NAJM 1 - 18

Hai pencari cahaya! ✨🌝 

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 5 Agustus 2025.


Setelah kemarin saya membahas tentang Surah At-Takwir, yang memuat gambaran megah tentang Malaikat Jibril ‘alaihis salam—sebagai utusan yang kuat dan terpercaya yang menyampaikan firman Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ—saya merasa ada yang menggantung dalam benak saya. 

TADABBUR QURAN: AN NAJM 1 - 18

Kisahnya begitu besar, tetapi jarang saya renungkan secara khusus. Padahal perannya sangat sentral dalam sejarah kenabian dan wahyu. Maka hari ini, ketika saya membuka QS. An-Najm ayat 5–18, saya merasa ini adalah momen untuk menautkan dua fragmen itu menjadi satu rangkaian utuh tentang wahyu dan pembawanya.

“Di tengah krisis makna dan perhatian terhadap Al-Qur’an hari ini, memahami siapa pembawa wahyu bisa membangkitkan kembali kesadaran kita terhadap keagungan misi kenabian.”  

Ayat-ayat ini seperti membuka kembali jendela sejarah yang tidak hanya sakral, tetapi juga menyentuh sisi kemanusiaan saya—betapa sebuah kebenaran yang diturunkan dari langit, tidak datang dengan ringan. Ada getaran langit, ada perjumpaan agung, dan ada keteguhan luar biasa dari sang Nabi yang melihat langsung utusan langit dalam bentuk aslinya. Inilah catatan tentang pertemuan Rasulullah ﷺ dengan Malaikat Jibril ‘alaihis salam, yang bukan sekadar makhluk cahaya, tapi penghubung antara alam langit dan bumi.
 

Pertemuan Rasulullah SAW dengan Jibril As

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
yang diajarkan kepadanya oleh (malaikat) yang sangat kuat (Jibril)"
An-Najm [53]:5

Dalam QS. An-Najm ayat 5–18, Allah SWT menjelaskan bahwa yang mengajarkan wahyu kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah makhluk yang sangat kuat, yaitu Malaikat Jibril. Sebagaimana juga ditegaskan dalam QS. At-Takwir: 19–21, Jibril adalah utusan mulia yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah, ditaati di alam malaikat, dan terpercaya. Dalam ayat-ayat ini, Allah menyebutkan bahwa Nabi ﷺ telah melihat Jibril dalam rupa aslinya sebanyak dua kali, yang pertama saat wahyu pertama turun, dan yang kedua pada malam Isra’ Mi’raj.

Pada pertemuan pertama, Rasulullah ﷺ melihat Jibril di ufuk yang tinggi, dalam bentuk aslinya dengan 600 sayap, dan dari setiap sayapnya berjatuhan permata dan yaqut yang tidak diketahui oleh siapa pun selain Allah. Bentuk ini menegaskan betapa megah dan agungnya makhluk ini. Ketika itu, Jibril mendekat kepada Nabi ﷺ hingga berjarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. Lalu beliau menyampaikan wahyu yang telah diamanahkan Allah kepadanya.
 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
(Nabi Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratulmuntaha dilingkupi oleh sesuatu yang melingkupinya.
An-Najm [53]:16

Pada peristiwa Isra’ Mi’raj, pertemuan kedua terjadi di Sidratul Muntaha, tempat tertinggi di langit ketujuh. Di sanalah tempat berhentinya segala yang naik dari bumi dan yang turun dari atas, dan di dekatnya terdapat Surga Ma’wa. Nabi ﷺ melihat Jibril dalam bentuk aslinya, dan penglihatannya tidak menyimpang dan tidak melampaui. 

Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan bahwa penglihatan Nabi sangat terjaga, tidak menengok ke kanan-kiri dan tidak melampaui batas yang diizinkan oleh Allah. Ini mencerminkan ketaatan dan kehormatan seorang hamba dalam menerima penyingkapan agung dari Tuhannya.

Nabi ﷺ pun menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah yang luar biasa di malam itu. Tidak hanya Jibril, beliau juga melihat surga, neraka, dan berbagai hal ghaib yang menjadi bukti kekuasaan Allah. Ini menjadi mukjizat besar yang menguatkan kenabiannya dan menjelaskan kepada umat bahwa segala yang beliau bawa adalah kebenaran mutlak dari Tuhan Semesta Alam.
 

Realitas spiritual

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi)."
An-Najm [53]:9

Apa yang dilihat oleh Nabi Muhammad ﷺ bukanlah hal biasa. Dalam QS. An-Najm: 9–10 dijelaskan bahwa Jibril mendekat hingga jaraknya seperti dua ujung busur panah, lalu menyampaikan wahyu. Ini bukan hanya menunjukkan kedekatan fisik, tetapi juga kedekatan amanah dan ruhani antara Rasulullah ﷺ dengan Malaikat Jibril. Momen itu menjadi peristiwa sakral, di mana langit dan bumi seakan menyatu dalam cahaya wahyu.
 
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Lalu, dia (Jibril) menyampaikan wahyu kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad) apa yang Dia wahyukan."
An-Najm [53]:10

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan bahwa pertemuan itu terjadi di ufuk tertinggi—tempat datangnya cahaya subuh menurut sebagian mufassir. Bayangkan betapa agungnya pemandangan itu: sosok bercahaya dengan enam ratus sayap mengisi ufuk. Ini bukan metafora, tapi realitas spiritual yang hanya dianugerahkan kepada seorang nabi pilihan. Pengalaman itu menjadi validasi kenabian beliau, sekaligus pelajaran bagi umat bahwa wahyu bukan karangan manusia.

Peristiwa ini juga menjadi pilar keimanan bagi kita, bahwa segala yang tertulis dalam Al-Qur’an tidak berdiri sendiri. Ada saksi agung di baliknya—yaitu Nabi Muhammad ﷺ sendiri—yang menyaksikan malaikat pembawa wahyu, dengan mata kepalanya, dalam bentuk aslinya. Dan karena itulah wahyu ini tidak boleh diragukan.
 

Malaikat Jibril Dalam Wujud Manusia

Nama Jibril muncul di banyak ayat Al-Qur’an, termasuk dalam QS. Al-Baqarah: 97–98, QS. An-Nahl: 102, dan QS. Maryam: 17–19. Dalam ayat-ayat itu, Jibril disebut sebagai pembawa wahyu, pemberi kabar gembira, dan penyampai pesan kepada para nabi dan hamba pilihan. Perannya begitu strategis, bukan hanya dalam Islam tetapi juga dalam agama-agama sebelumnya. Ia pula yang membawa kabar tentang kelahiran Nabi Isa ‘alaihis salam kepada Maryam.

Dalam kajian online di episode 12 tentang Angels In Their Presences yang disampaikan oleh Dr. Omar Soelaiman, Yaquuen Institute mengisahkan bahwa Malaikat Jibril `alayhis salam adalah utusan agung yang membawa wahyu dari langit, tetapi dalam beberapa peristiwa, ia datang kepada Nabi Muhammad ﷺ dalam bentuk manusia.

Yang menarik, ketika ia hadir dalam wujud manusia di tengah kaum Arab, ia memilih rupa Dihyah al-Kalbi, salah satu sahabat Nabi yang dikenal sebagai laki-laki paling tampan di kalangan Arab. Bukan hanya penampilannya yang mengagumkan, Dihyah juga dikenal karena akhlaknya yang baik dan tugas-tugas diplomatik penting yang diembankan langsung oleh Rasulullah ﷺ. Bentuk manusia yang dipilih Jibril pun tidak sembarangan—ia mencerminkan kehormatan, ketenangan, dan kecantikan ciptaan Allah dalam rupa yang paling menarik perhatian, tetapi tetap terjaga dari fitnah.

Kehadiran Jibril `alayhis salam dalam bentuk Dihyah mengajarkan kita bahwa pesan ilahi tidak hanya turun melalui kata-kata, tetapi juga melalui cara penyampaian yang menyentuh jiwa dan menumbuhkan adab. 

Bahkan Umm Salamah dan Aisyah RA pernah terkecoh, mengira yang sedang berbicara dengan Nabi ﷺ adalah Dihyah, padahal itu adalah malaikat Jibril. Ini menunjukkan bahwa kedekatan Rasulullah ﷺ dengan malaikat Jibril adalah hubungan spiritual yang dalam, bahkan bisa disaksikan secara lahiriah oleh orang-orang terdekat beliau. 

Dan ketika kita tahu bahwa sosok Jibril memilih hadir dalam bentuk manusia terbaik yang dikenal masyarakat saat itu, kita belajar bahwa penyampai wahyu pun harus dihiasi dengan keindahan akhlak dan tampilan yang memuliakan isi pesan itu sendiri.
 

Malaikat yang Ditaati dan Dipercaya

Salah satu hal menarik adalah bahwa dalam QS. At-Takwir: 19–21, Jibril disebut bukan hanya sebagai makhluk kuat, tetapi juga ditaati dan dipercaya di alam malaikat. Ini adalah bentuk penghormatan universal dari langit terhadap dirinya. Kepercayaan ini bukan hanya karena posisinya, tetapi juga karena kesempurnaan dalam melaksanakan perintah Allah, tanpa cela dan tanpa khianat.

Jibril adalah perantara antara langit dan bumi yang paling sempurna. Ia tidak berbicara dari dirinya sendiri, dan tidak menyampaikan wahyu dengan penambahan atau pengurangan sedikit pun. Ia hadir dengan kekuatan akal, kekuatan jasmani, dan keindahan bentuk, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai tafsir.

Sifatnya ini memberi pelajaran bahwa kepercayaan dan kekuatan adalah dua kualitas yang harus berjalan beriringan. Dalam hidup kita, menjadi kuat tidak cukup tanpa bisa dipercaya. Sebaliknya, kepercayaan akan kosong jika tidak disertai kekuatan untuk menjaga amanah. Jibril menjadi teladan bagaimana amanah, disiplin, dan keteguhan hati adalah jalan untuk menyampaikan cahaya kebenaran ke seluruh penjuru dunia.
 

Dialog Malaikat Jibril AS Dalam Majelis Ilmu Rasulullah

Dalam sejarah Islam, ada satu peristiwa yang menjadi titik penting dalam pengajaran dasar-dasar agama kepada umat: ketika Malaikat Jibril AS hadir di tengah-tengah majelis Nabi Muhammad ﷺ dalam rupa seorang lelaki misterius. Ia datang dengan pakaian putih bersih dan rambut hitam pekat, tanpa bekas safar sedikit pun—padahal tak ada seorang pun dari para sahabat yang mengenalnya. 

Penampilannya begitu anggun, bahkan beraroma harum seperti kasturi. Ia duduk sangat dekat di hadapan Rasulullah ﷺ, lututnya menyentuh lutut beliau, dan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang justru memperlihatkan bahwa ia datang bukan untuk belajar, tetapi untuk mengajarkan.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Jibril AS mencakup inti ajaran Islam: tentang Islam, Iman, dan Ihsan. Ia bertanya dengan sangat tenang, dan setiap kali Rasulullah ﷺ menjawab, ia mengafirmasinya dengan ucapan, “Engkau benar.” 

Para sahabat merasa heran—bagaimana mungkin seseorang bertanya, lalu langsung membenarkan jawabannya sendiri? Tapi justru itulah misi Jibril AS hari itu: bukan sekadar bertanya untuk tahu, melainkan agar umat yang hadir memahami dan mengingat ajaran tersebut. 

Bahkan ketika ia bertanya tentang kapan Hari Kiamat, Nabi ﷺ menjawab dengan rendah hati bahwa yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya, menunjukkan bahwa bahkan malaikat sekalipun tak memiliki pengetahuan tentang waktu kiamat.

Setelah menyampaikan tanda-tanda kiamat, Jibril AS berdiri dan pergi. Para sahabat mencari sosoknya ke segala arah, tetapi ia lenyap begitu saja. Saat itulah Rasulullah ﷺ memberitahu mereka, “Tahukah kalian siapa orang tadi? Itu adalah Jibril. Ia datang untuk mengajarkan agama kalian.” 

Peristiwa ini menjadi hadits paling penting dalam Islam, yang dikenal sebagai Hadits Jibril. Bukan hanya karena isinya merangkum fondasi Islam, tapi juga karena cara penyampaiannya menyentuh akal dan hati. Jibril AS diutus Allah bukan untuk membuat keajaiban fisik hari itu, tetapi untuk menanamkan kebenaran yang kekal dalam memori umat.
 

Kehadiran Jibril AS. & Mikail AS.

Pada hari Perang Badar, Allah ﷻ memuliakan kaum Muslimin dengan hadirnya ribuan malaikat yang turut serta dalam pertempuran. Namun, di antara sekian banyak keistimewaan itu, Rasulullah ﷺ mengungkapkan bahwa dua sahabat agung, Abu Bakar dan Ali mendapatkan pendampingan langsung dari dua malaikat utama: Jibril mendampingi salah satunya, dan Mikail bersama yang lainnya. 

Bahkan Israfil, malaikat agung yang akan meniup sangkakala di Hari Kiamat, hadir berdiri di antara barisan kaum Muslimin. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa Badar bukan sekadar peperangan biasa, melainkan momentum agung yang menjadi saksi kehadiran para penghuni langit dalam membela kebenaran di bumi.

Mikail AS dikenal sebagai malaikat yang diberi tugas atas hujan, angin, dan keberkahan alam. Peran ini menjadi nyata ketika sebelum Badar dimulai, Allah menurunkan hujan yang menyulitkan pasukan Quraisy, sementara kaum Muslimin sudah siap di medan. 

Demikian pula dalam Perang Khandaq, kemenangan diraih melalui badai yang mengguncang pasukan musuh—bukti keterlibatan Mikail AS dalam skenario Ilahi. Hubungan kedekatan spiritual ini juga digambarkan oleh Rasulullah ﷺ yang menyebut bahwa dua menterinya dari langit adalah Jibril dan Mikail, sebagaimana dua menteri beliau di bumi adalah Abu Bakar dan Umar.

Ketika Ali bin Abi Thalib, diutus membawa panji dalam sebuah pertempuran, cucunya, Al-Hasan, meriwayatkan bahwa ayahnya selalu didampingi oleh Jibril di kanan dan Mikail di kiri. Gambaran ini bukan sekadar metafora spiritual, tetapi menunjukkan bagaimana pertolongan Allah secara langsung menyertai langkah para pejuang yang ikhlas. 

Dalam peristiwa Khaibar, Rasulullah ﷺ bahkan menyatakan bahwa Ali adalah sosok yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan pantas menerima panji kemenangan. Ali tidak pernah kembali dari medan hingga Allah menurunkan kemenangan—bukan karena ambisi pribadi, tetapi demi menegakkan kebenaran. Inilah warisan keberanian yang disokong oleh langit, sebuah simbol kehormatan dan pertolongan Ilahi yang hanya diberikan kepada hamba-hamba pilihan.
 

Sidratul Muntaha

Ketika Rasulullah ﷺ diperjalankan hingga Sidratul Muntaha, tempat yang tidak bisa dilampaui oleh siapa pun, bahkan Jibril pun berhenti di sana. Di tempat ini, Allah memperlihatkan kepada Nabi sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya. Menurut Tafsir Al-Muyassar, tempat ini adalah titik pertemuan antara dunia dan alam keabadian, titik akhir perjalanan dari bumi ke langit.

Dalam hadits-hadits Isra’ Mi’raj, disebutkan bahwa di Sidratul Muntaha, segala sesuatu menjadi terang dan berkilau, ditutupi dengan penutup dari emas, dan hanya Allah yang mengetahui hakikatnya. Surga Ma’wa berada dekat tempat itu, dan di sanalah Jibril berhenti, sementara Nabi ﷺ terus melanjutkan perjalanan spiritualnya, hanya bersama Allah. Ini menandakan bahwa hubungan langsung antara Nabi dengan Allah terjadi tanpa perantara.

Betapa luar biasanya peristiwa ini: bahkan malaikat seagung Jibril tidak bisa melampaui batas itu, tetapi Rasulullah ﷺ bisa. Ini bukan hanya menunjukkan kedudukan beliau di sisi Allah, tetapi juga menegaskan bahwa beliau adalah manusia yang ditugaskan membawa cahaya yang lebih dari sekadar firman—tetapi juga rahasia agung dari langit yang hanya dititipkan kepada kekasih-Nya.
 

Peringatan Jibril AS Setelah Rasulullah Tiada

Dalam kajian tentang Malaikat Jibril dari Dr. Omar mengatakan salah satu ayat yang paling menakutkan adalah Allah ﷻ menyebut kaum munafik berada di tingkat paling rendah dari neraka. Namun, siapakah yang dimaksud dalam ayat ini? 

Para ulama menjelaskan bahwa konteks ayat itu ditujukan pada orang-orang munafik ideologis—mereka yang berpura-pura menjadi Muslim padahal sejatinya tidak beriman, dengan tujuan merusak barisan kaum Muslimin. Namun begitu, para sahabat Nabi ﷺ yang merupakan generasi terbaik justru merasa takut dengan bentuk kemunafikan yang lebih ringan: ketidaksesuaian antara amal lahir dan batin, antara keimanan di hadapan Nabi ﷺ dan kondisi hati mereka saat sendiri.

Kewaspadaan ini menunjukkan betapa pentingnya kita meneliti kondisi iman dan ketulusan diri. Bahkan sebagian sahabat merasa cemas karena tidak bisa mempertahankan kekhusyukan yang sama antara saat bersama Rasulullah ﷺ dan ketika pulang ke rumah. Ini adalah bentuk kewaspadaan terhadap nifaq 'amali—kemunafikan dalam amal.

Sebuah hadits yang mengguncang hati menyebutkan bahwa akan ada sebagian umat Nabi ﷺ yang datang di hari kiamat dan dikenali oleh Rasulullah ﷺ, namun kemudian dipisahkan darinya. Ketika beliau bertanya kenapa, Malaikat Jibril pun memberinya peringatan: “Engkau tidak tahu apa yang mereka ubah setelahmu.” Maka Rasulullah ﷺ pun berkata, "Sungguh celaka orang yang mengubah ajaran sepeninggalku."

Di sinilah peran Jibril sebagai penyampai wahyu dan pemberi peringatan kembali muncul—tak hanya di dunia saat Al-Qur’an diturunkan, tetapi juga di Hari Kiamat, saat ia mengingatkan Rasulullah ﷺ bahwa sebagian dari umatnya telah mengganti warisan yang beliau bawa. Jibril menjadi saksi atas perubahan yang dilakukan oleh mereka yang tadinya mengaku pengikut Nabi ﷺ namun ternyata menyeleweng dari jalan lurus.

Tak kalah menggetarkan adalah keluhan Rasulullah ﷺ dalam QS. Al-Furqan: 30, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini sesuatu yang ditinggalkan.” Walaupun secara konteks ayat ini ditujukan kepada kaum kafir Quraisy yang menolak Al-Qur’an, para ulama menekankan bahwa umat Islam pun harus mawas diri terhadap bentuk-bentuk hajr al-Qur’an (meninggalkan Al-Qur’an): tidak membacanya, tidak memahaminya, tidak mengamalkannya, atau bahkan tidak merujuk padanya dalam keputusan hidup.

Betapa sering kita hanya mendekati Al-Qur’an di bulan Ramadhan, lalu melupakannya sebelas bulan berikutnya. Jika kita tidak merasa gentar dibayangi kemungkinan termasuk orang yang dikeluhkan oleh Nabi ﷺ karena menjauh dari Al-Qur’an, barangkali hati kita perlu dibangunkan. Dan bisa jadi, Jibril pula yang menjadi saksi atas tindakan kita terhadap kitab suci yang dahulu ia turunkan dari langit ke hati Rasulullah ﷺ.

Akhirnya, Nabi ﷺ pernah menyebutkan tiga golongan yang didoakan celaka oleh malaikat Jibril dan diaminkan oleh beliau: orang yang menjumpai Ramadhan tetapi tidak mendapatkan ampunan; orang yang mendengar nama Rasulullah ﷺ tetapi tidak bershalawat kepadanya; dan orang yang memiliki orang tua yang masih hidup namun tidak menjadikannya sebagai jalan ke surga. 

Ketiga kelompok ini bukan karena kekufuran, tetapi karena kelalaian, ketidaksyukuran, dan kesombongan spiritual. Maka marilah kita menjaga diri agar tidak menjadi objek keluhan Rasulullah ﷺ di akhirat kelak—karena kita telah cukup sering diingatkan, baik oleh Al-Qur’an, Sunnah, maupun oleh malaikat yang ditugaskan menyampaikan peringatan dari langit: Jibril 'alayhis salaam.
 

Refleksi Diri

Setelah menelusuri peran dan kedudukan Malaikat Jibril 'alaihis salam dalam sejarah pewahyuan, saya merasa semakin kecil di hadapan misi agung yang pernah dibawa ke bumi. Betapa beratnya amanah yang dipikul oleh Rasulullah ﷺ, dan betapa suci dan terjaganya wahyu yang disampaikan oleh makhluk paling dipercaya di alam langit.

Namun kini, ketika wahyu itu telah selesai diturunkan dan Rasul telah wafat, saya bertanya pada diri sendiri: apakah saya masih hidup dengan kesadaran bahwa Al-Qur’an adalah titipan mulia yang dulu diturunkan dengan getaran langit dan kesaksian Jibril?

Saya merenung, mungkinkah saya termasuk dari mereka yang kelak dikenali oleh Rasul, namun ditolak karena telah mengubah ajaran atau meninggalkan Al-Qur’an dalam hidup saya? Bayangan itu sangat menakutkan. Terlebih ketika tahu bahwa Jibril 'alaihis salam sendiri yang memberi peringatan di Hari Kiamat kepada Nabi tentang umatnya yang menyimpang. 

Saya merasa tertampar: jika Malaikat Jibril dulu bersaksi menyampaikan kebenaran, maka bisa jadi kelak ia pun bersaksi atas kelalaian saya dalam menjaganya. Kesaksian itu bukan dalam bentuk suara lantang, tapi tercermin dari kehidupan saya sehari-hari: apakah saya hidup dengan Al-Qur’an, atau justru menjadikannya sekadar hiasan mushaf?

Belajar tentang peran malaikat dalam spiritualitas kita ternyata membawa ketenangan tersendiri. Selama ini, dalam kehidupan sehari-hari, kita lebih sering disuguhi narasi tentang tipu daya setan, was-was, dan godaan dunia—hingga lupa bahwa ada malaikat-malaikat Allah yang senantiasa hadir, mencatat, menjaga, dan membawa rahmat. 

Jibril ‘alaihis salam bukan hanya simbol pewahyuan, tapi juga pengingat bahwa kebenaran selalu datang dari langit dengan izin Allah, dan bahwa manusia tidak pernah benar-benar sendiri dalam menjaga keimanan.

Merenungi keberadaan malaikat dalam hidup kita membuka ruang harapan: bahwa selain ada musuh tak terlihat, ada juga sahabat tak terlihat yang selalu setia pada perintah Tuhannya. Mungkin kita hanya perlu lebih sering mengarahkan pandangan spiritual kita ke langit, bukan sekadar untuk meminta pertolongan, tapi untuk mengingat siapa saja yang dulu ikut menjaga cahaya yang kini kita genggam
.
Kini saya mengerti bahwa tadabbur bukan hanya tentang memahami makna ayat, tetapi juga menyadari betapa besar tanggung jawab kita terhadap warisan Rasulullah ﷺ. Jibril telah selesai dengan tugasnya, Rasul pun telah menyampaikan seluruh risalah. Tinggallah saya yang harus menjawab, apakah saya cukup bersungguh-sungguh menjaga apa yang telah mereka bawa? 

Semoga Allah menjaga saya dan kita semua dari menjadi bagian dari mereka yang dilupakan langit karena melupakan Al-Qur’an. Dan semoga tadabbur ini bukan sekadar tulisan yang diabadikan, tetapi menjadi ilmu yang tertanam dalam jiwa, lalu menyala menjadi cahaya yang menuntun langkah di dunia dan akhirat.

Posting Komentar

0 Komentar