بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 3 Agustus 2025.
Pernahkah kamu membayangkan seperti apa rasanya jika seluruh cahaya di dunia padam—bukan hanya matahari yang digulung, tapi juga cahaya dalam diri yang selama ini kamu andalkan untuk mengenali benar dan salah?
QS. At-Takwir bukan sekadar gambaran kiamat yang menakutkan, tapi juga tamparan halus bagi jiwa yang selama ini berjalan di antara bayang-bayang tanpa pernah menoleh pada cahaya sejatinya. Mungkin, ayat-ayat ini tak sedang menceritakan akhir dunia orang lain—melainkan awal kesadaran dalam dirimu sendiri.
TADABBUR QURAN: AT TAKWIR 1 - 29
Saat pertama kali membaca QS. At-Takwir, yang paling menohok hati adalah ayat ke-14: “’alimat nafsum mā aḥḍarat”—“setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah diperbuatnya.” Kalimat ini seperti membuka kembali seluruh catatan hidup yang pernah saya lalui. Ia bukan sekadar ancaman, tapi juga pengingat: bahwa di balik setiap pilihan, ada pertanggungjawaban.
Karena rasa penasaran itulah saya kemudian membaca keseluruhan surat ini. Dan dari situ, saya menemukan bahwa QS. At-Takwir tak hanya menggambarkan kedahsyatan hari kiamat, tetapi juga keagungan wahyu Allah yang dibawa oleh Jibril kepada Rasulullah ﷺ.
Surat ini penuh dengan sumpah-sumpah agung dari Allah SWT. Mulai dari fenomena alam saat kiamat hingga pernyataan tegas bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang hakiki, dibawa oleh malaikat mulia. Saya tertegun. Bagaimana mungkin hati ini masih keras, padahal sudah sedemikian jelas Allah menyatakan kebenaran Al-Qur’an?
Maka tadabbur kali ini menjadi pengingat bahwa kesadaran spiritual itu adalah karunia. Ia datang kepada mereka yang benar-benar dikehendaki-Nya—dan proses untuk sampai pada kesadaran itu, bisa sangat panjang dan tidak selalu mulus.
Namun untuk benar-benar memahami kedalaman makna surat ini, saya merasa perlu kembali menelusuri konteks turunnya ayat-ayat tersebut. Karena seringkali, latar belakang sejarah dan kondisi sosial saat wahyu diturunkan justru membuka tabir pesan ilahi yang tersembunyi di balik susunan kata. Maka saya mulai menggali lebih jauh: bagaimana suasana ketika surat ini diturunkan, kepada siapa ia ditujukan, dan apa pesan utamanya bagi kita hari ini?
Namun untuk benar-benar memahami kedalaman makna surat ini, saya merasa perlu kembali menelusuri konteks turunnya ayat-ayat tersebut. Karena seringkali, latar belakang sejarah dan kondisi sosial saat wahyu diturunkan justru membuka tabir pesan ilahi yang tersembunyi di balik susunan kata. Maka saya mulai menggali lebih jauh: bagaimana suasana ketika surat ini diturunkan, kepada siapa ia ditujukan, dan apa pesan utamanya bagi kita hari ini?
Konteks Sejarah dan Ketegasan Wahyu Ilahi
QS. At-Takwir termasuk surat Makkiyah, diturunkan pada fase awal kenabian Rasulullah ﷺ ketika beliau masih menghadapi banyak penolakan dan cercaan dari kaum Quraisy. Mereka menuduh Nabi sebagai penyair, dukun, bahkan orang gila. Maka turunnya surat ini bukan sekadar peringatan tentang dahsyatnya Hari Kiamat, tetapi juga sebagai pembelaan Allah terhadap Rasulullah, sekaligus penegasan bahwa wahyu yang dibawa adalah murni dari Allah SWT, bukan dari setan maupun khayalan pribadi.Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya.At-Takwīr [81]:14
Ayat 14 menjadi titik balik kesadaran spiritual saya: "‘Alimat nafsum mā aḥḍarat"—setiap jiwa akan menyadari apa yang telah diperbuat. Menurut Tafsir Tahlili pada saat itu manusia akan menyesali perbuatannya, terutama mereka yang tertipu oleh bujukan setan.
Amal mereka tidak diterima karena tidak disertai keikhlasan. Ini mengajarkan saya satu hal penting: amal baik tidak akan berarti tanpa keimanan dan ketulusan. Maka pertanyaan besar pun muncul: selama ini saya berbuat karena Allah, atau karena ingin terlihat baik di mata manusia?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:(Al-Qur’an) itu tidak lain, kecuali peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antaramu yang hendak menempuh jalan yang lurus.At-Takwīr [81]:27 - 28
Allah lalu menyambungnya dengan ayat-ayat sumpah dalam QS. At-Takwir 15–28, yang puncaknya ada pada ayat 19: "Sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar firman (Allah) yang dibawa oleh utusan yang mulia." Ini bukan sekadar pernyataan, tapi konfirmasi atas kebenaran wahyu.
Tafsir Tahlili menekankan keistimewaan Jibril sebagai malaikat yang sangat kuat, terpercaya, dan tinggi kedudukannya. Wahyu itu dijaga, tidak mungkin keliru atau keliru disampaikan. Artinya, jika saya masih meragukan isi Al-Qur'an, berarti saya meragukan sumber yang paling suci—dan ini menyentak hati saya yang kadang masih memilih-milih ayat sesuai selera.
Jejak Ulama dan Kesaksian Wahyu
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:Aku bersumpah demi bintang-bintangAt-Takwīr [81]:15
Dalam penafsiran ayat 15 hingga 18 Surat At-Takwīr dari ringkasan Ibnu Katsir, sejumlah sahabat besar dan tabi'in seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, Mujahid, dan Qatadah menafsirkan sumpah Allah atas bintang, malam, dan fajar. Ali menyebut bintang yang dimaksud sebagai bintang yang tenggelam di siang hari dan muncul di malam hari. Penafsiran tentang malam yang “telah larut” juga menarik perhatian.
Ibnu Jarir berpandangan bahwa kata ‘as‘asa bisa berarti “datang” atau “pergi”, menjadikannya sebagai lafaz dengan dua makna yang berlawanan. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat, namun semuanya sepakat bahwa Allah bersumpah dengan fenomena langit untuk mengukuhkan kebenaran wahyu-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:“sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril)At-Takwīr [81]:19
Masuk pada ayat 19 hingga 23, dibahas keagungan wahyu Al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril, malaikat mulia yang kuat, berpengaruh di langit, dan dipercaya sepenuhnya dalam menyampaikan risalah. Qatadah menjelaskan bahwa Jibril adalah pemimpin di antara malaikat, bukan sembarang utusan.
Penegasan bahwa Nabi Muhammad benar-benar melihat Jibril dalam wujud aslinya terjadi di ufuk yang terang di Lembah Batha, menjadikan peristiwa ini sebagai penglihatan pertama Rasul terhadap malaikat Jibril. Hal ini menandakan bahwa Surat At-Takwīr diturunkan sebelum peristiwa Isra' dan Mi'raj, yang mana penglihatan kedua terhadap Jibril disebutkan dalam Surah An-Najm.
Ayat 24 hingga 29 menutup dengan bantahan atas tuduhan bahwa Nabi Muhammad menyembunyikan wahyu atau terpengaruh setan. Ia bukan orang yang pelit terhadap ilmu atau kerasukan, melainkan penyampai risalah dengan jujur.
Ayat 24 hingga 29 menutup dengan bantahan atas tuduhan bahwa Nabi Muhammad menyembunyikan wahyu atau terpengaruh setan. Ia bukan orang yang pelit terhadap ilmu atau kerasukan, melainkan penyampai risalah dengan jujur.
Al-Qur’an dijelaskan bukan berasal dari setan, melainkan dari Tuhan semesta alam sebagai peringatan bagi seluruh manusia. Qatadah menekankan bahwa siapa pun yang ingin berjalan di jalan lurus harus berpegang teguh pada Al-Qur’an. Namun, semua hidayah pada akhirnya hanya terjadi dengan izin dan kehendak Allah SWT.
Pembelaan Langit Terhadap Seorang Nabi
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:Temanmu (Nabi Muhammad) itu bukanlah orang gila.At-Takwīr [81]:22
Sebagai seorang muslim yang belajar Al-Qur’an bertahun-tahun kemudian, saya jadi merenung: bagaimana mungkin saya ragu terhadap Nabi yang begitu jujur dan teruji, sementara orang-orang sezamannya saja mengakui beliau sebagai “Al-Amīn”? Bahkan mereka yang tidak beriman pun tidak pernah menemukan cacat moral dalam diri beliau. Maka jika kita masih menolak kebenaran yang disampaikan Nabi, barangkali masalahnya bukan pada beliau, tetapi pada hati kita yang tertutup.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:(Al-Qur’an) itu bukanlah perkataan setan yang terkutuk.At-Takwīr [81]:25
Dan yang paling tegas adalah ayat 25: "Dan bukanlah (Al-Qur’an itu) perkataan setan yang terkutuk." Tuduhan bahwa Nabi menerima bisikan dari setan ditepis total oleh Allah. Dalam Tafsir Tahlili, ditegaskan bahwa tidak mungkin Al-Qur'an yang mengajarkan keadilan, kasih sayang, dan kebenaran itu berasal dari setan yang justru mengajak kepada kerusakan. Maka saya pun jadi mengerti: jika Al-Qur’an menyentuh hati kita, itu bukan karena pengaruh magis atau sugesti emosional, tapi karena fitrah jiwa yang memang mengenali kebenaran ilahi.
Kesadaran Tidak Datang Seketika
Saya tidak langsung jatuh cinta pada Al-Qur'an. Perjalanannya lambat dan berliku. Awalnya saya hanya membaca terjemahan karena tidak bisa membaca huruf Arab. Tapi justru dari terjemahan itulah saya mulai memahami sedikit demi sedikit makna ayat-Nya.Saya membaca seperti membaca buku biasa, namun setiap kalimatnya menyisakan getaran yang tidak biasa di hati. Dari situlah awal saya mengenal Allah, bukan hanya sebagai nama, tetapi sebagai Rabb yang dekat dan Maha Mengetahui.
Perjalanan saya tidak instan. Butuh hampir satu dekade sejak tahun 2016 sampai akhirnya di tahun 2025 ini saya merasa lebih berani untuk belajar mentadabburi ayat demi ayat. Bukan berarti saya sudah sepenuhnya paham, tetapi setidaknya saya mulai menjadikan Al-Qur’an sebagai kompas dalam menjalani hidup. Bukan lagi sekadar kitab suci yang diletakkan di rak, tetapi sebagai teman dalam proses perubahan diri.
Refleksi ini membuat saya paham satu hal: bahwa Allah Maha Sabar terhadap hamba-Nya. Dia memberikan waktu, ruang, dan kejadian-kejadian dalam hidup sebagai jalan agar saya kembali. Dan ketika saya mengingat proses ini, saya menjadi lebih lembut dalam menilai orang lain.
Perjalanan saya tidak instan. Butuh hampir satu dekade sejak tahun 2016 sampai akhirnya di tahun 2025 ini saya merasa lebih berani untuk belajar mentadabburi ayat demi ayat. Bukan berarti saya sudah sepenuhnya paham, tetapi setidaknya saya mulai menjadikan Al-Qur’an sebagai kompas dalam menjalani hidup. Bukan lagi sekadar kitab suci yang diletakkan di rak, tetapi sebagai teman dalam proses perubahan diri.
Refleksi ini membuat saya paham satu hal: bahwa Allah Maha Sabar terhadap hamba-Nya. Dia memberikan waktu, ruang, dan kejadian-kejadian dalam hidup sebagai jalan agar saya kembali. Dan ketika saya mengingat proses ini, saya menjadi lebih lembut dalam menilai orang lain.
Karena jika saya saja butuh waktu sepuluh tahun untuk benar-benar mencintai Al-Qur’an, maka saya tidak berhak memaksa orang lain untuk segera berubah. Semua ada waktunya—dan semua berada di bawah kehendak-Nya.
Al-Qur’an Itu Agung, Tidak Semua Bisa Memahaminya
QS. At-Takwir ayat 15–26 penuh dengan sumpah-sumpah Allah untuk menyampaikan satu hal penting: bahwa Al-Qur’an itu bukan buatan manusia. Ia adalah Kalamullah, diturunkan kepada Rasulullah ﷺ melalui Jibril, malaikat yang kuat, mulia, dan terpercaya. Di sinilah letak keagungannya. Al-Qur’an bukan sembarang teks. Ia adalah petunjuk dari langit, dan hanya mereka yang ikhlas dan berada di jalan luruslah yang bisa menjemput maknanya.Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ ࣖ"Kamu tidak dapat berkehendak, kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam."At-Takwīr [81]:29
Ayat ini juga menjadi pengingat penting bagi saya pribadi, terutama ketika merasa kecewa terhadap orang-orang yang tampaknya tidak tertarik membaca atau memahami Al-Qur’an. Saya pernah merasa sedih saat menyaksikan orang-orang terdekat menolak mendengarkan ayat suci, bahkan tidak ingin disentuh hatinya. Tapi QS. At-Takwir ayat 28 - 29 menenangkan saya: “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” Pada akhirnya, hidayah adalah milik Allah semata.
Saya pun belajar untuk mengikhlaskan. Tugas kita hanya mengajak dan memberi contoh. Sisanya adalah urusan Allah. Ini menjadi latihan iman sekaligus kesabaran, terutama ketika kita merasa gagal menyentuh hati orang lain.
Tapi ternyata, kegagalan itu bukan kegagalan kita. Karena dalam urusan iman, tak ada paksaan. Yang bisa kita lakukan hanyalah menjadi saksi bahwa Al-Qur’an telah kita sampaikan, selebihnya biarlah Allah yang bekerja di hati manusia.
Waktu & Kesadaran Diri
Semakin bertambah usia, saya makin sadar betapa mahalnya karunia bisa membaca dan memahami Al-Qur’an, walau hanya sepotong-sepotong. Karena tak sedikit orang yang menua, namun tidak makin dekat dengan Al-Qur’an. Banyak yang berkata, “mataku sudah buram,” “sulit baca Arabnya,” atau “tidak punya waktu.” Padahal semua itu hanyalah dalih. Yang sesungguhnya hilang adalah keinginan untuk mendekat pada wahyu-Nya.Saya tidak menulis ini dari posisi menghakimi, karena saya pun pernah berada di titik malas dan jauh dari Al-Qur’an. Tapi sekarang, saat Allah izinkan saya untuk pelan-pelan kembali, saya ingin mengajak diri sendiri dan siapa pun yang membaca ini untuk tidak menunggu tua untuk mencintai Al-Qur’an. Jangan menunggu waktu yang ‘longgar’ untuk menyentuh ayat-ayat-Nya. Karena belum tentu waktu itu akan datang.
QS. At-Takwir di bagian awal menggambarkan hari di mana manusia tak lagi punya kesempatan untuk memperbaiki diri—hari ketika bumi diguncang dan jiwa-jiwa dipertemukan kembali dengan tubuhnya. Saya membayangkan, betapa meruginya jika selama hidup di dunia saya tidak sempat mengenal Al-Qur’an. Dan betapa beruntungnya, meskipun lambat, Allah masih berikan kesempatan bagi saya untuk belajar, memahami, dan mencintai-Nya hari ini.
Refleksi Diri
Membaca dan mentadabburi QS. At-Takwir bukan hanya membawa saya kepada gambaran tentang hari kiamat yang menggetarkan, tetapi juga pada sebuah kesadaran yang lebih dalam—bahwa setiap amal, sekecil apa pun, akan dikembalikan kepada kita.Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan, tidak pula bisa menyalahkan siapa pun. Karena saat itu, seperti yang disebut dalam ayat 14, setiap jiwa akan tahu dan menghadapi sendiri apa yang telah ia lakukan selama hidup. Kesadaran ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk membangunkan.
Surat ini juga menjadi pembuktian agung bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, disampaikan dengan sangat mulia melalui Jibril kepada Rasulullah ﷺ yang dikenal kejujurannya. Allah membantah tuduhan yang dialamatkan pada Nabi dan menegaskan bahwa wahyu ini bersih dari unsur kebohongan, sihir, maupun bisikan setan. Maka, jika Al-Qur’an sedemikian mulia dan terjaga, sudah seharusnya saya memperlakukannya dengan sungguh-sungguh—bukan hanya dibaca, tetapi juga direnungkan dan diamalkan.
Akhirnya, saya belajar satu hal penting dari perjalanan tadabbur ini: bahwa hidayah datang kepada mereka yang benar-benar mencarinya dan dikehendaki oleh-Nya. Saya bersyukur karena Allah masih memberi saya waktu untuk kembali, meski pelan dan penuh jeda.
Surat ini juga menjadi pembuktian agung bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah, disampaikan dengan sangat mulia melalui Jibril kepada Rasulullah ﷺ yang dikenal kejujurannya. Allah membantah tuduhan yang dialamatkan pada Nabi dan menegaskan bahwa wahyu ini bersih dari unsur kebohongan, sihir, maupun bisikan setan. Maka, jika Al-Qur’an sedemikian mulia dan terjaga, sudah seharusnya saya memperlakukannya dengan sungguh-sungguh—bukan hanya dibaca, tetapi juga direnungkan dan diamalkan.
Akhirnya, saya belajar satu hal penting dari perjalanan tadabbur ini: bahwa hidayah datang kepada mereka yang benar-benar mencarinya dan dikehendaki oleh-Nya. Saya bersyukur karena Allah masih memberi saya waktu untuk kembali, meski pelan dan penuh jeda.
Dan semoga catatan ini menjadi pengingat, bahwa tidak ada kata terlambat untuk mulai menyentuh Al-Qur’an. Karena selama hayat masih dikandung badan, selalu ada harapan untuk menjadi jiwa yang sadar dan kembali kepada cahaya.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏