Hai pencari cahaya! ✨🌝
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 27 Agustus 2025.
Al-Qur’an adalah cahaya yang Allah turunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia. Ayat-ayatnya jelas, gamblang, dan tidak membutuhkan bukti tambahan untuk menunjukkan kebenarannya. Namun, meski demikian, masih banyak hati yang memilih menolak, bahkan menutup diri dari cahaya itu. Ayat ke-99 dari surah Al-Baqarah adalah peringatan keras tentang kondisi ini.
TADABBUR QURAN: AL BAQARAH 99
Sejujurnya, perjalanan menjadi seorang mukmin adalah perjuangan yang panjang. Hawa nafsu, godaan dunia, dan kebiasaan buruk yang sudah mengakar sering kali membuat kita sulit tunduk pada peringatan Al-Qur’an.
Walau kita membacanya berulang kali, memahami maknanya, masih saja terasa berat untuk meninggalkan apa yang dilarang di dalamnya. Di sinilah kita diuji, apakah benar-benar mau menerima kebenaran atau justru memilih berpaling darinya.
Ayat-Ayat yang Jelas, Namun Ditolak
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:وَلَقَدْ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ اٰيٰتٍۢ بَيِّنٰتٍۚ وَمَا يَكْفُرُ بِهَآ اِلَّا الْفٰسِقُوْنَSungguh, Kami benar-benar telah menurunkan ayat-ayat yang jelas kepadamu (Nabi Muhammad), dan tidaklah ada yang mengingkarinya selain orang-orang fasik.Al-Baqarah [2]:99
Menurut Tafsir Ringkas Kemenag, ayat ini turun sebagai bantahan terhadap kaum Yahudi yang menolak kebenaran Al-Qur’an, meskipun bukti-bukti kerasulannya nyata. Allah telah menurunkan ayat-ayat melalui Jibril kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan kandungan yang terang benderang. Namun, orang-orang Yahudi menolak karena hati mereka sudah tertutup. Sikap ini yang membuat mereka dicap sebagai fasik.
Dalam Tafsir Tahlili dijelaskan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu sudah cukup sebagai bukti kebenaran. Ia diibaratkan cahaya yang menyinari segala sesuatu, yang tidak memerlukan bukti tambahan untuk memperkuat sinarnya. Tetapi orang-orang Yahudi, yang sudah melihat tanda-tanda kenabian, justru memilih berpaling karena hasad dan kesombongan. Mereka tidak rela Nabi terakhir berasal dari bangsa Arab, bukan dari Bani Israil.
Kisah ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap kebenaran bukan semata karena tidak tahu, melainkan karena kesombongan hati. Orang-orang Yahudi, khususnya para ulama mereka, sebenarnya mengetahui sifat dan ciri Rasulullah ﷺ dari Taurat. Namun, dengki dan congkak membuat mereka menolak. Maka, sifat fasik itu bukan hanya milik mereka, tetapi juga siapa saja yang menolak kebenaran meski sudah jelas di hadapannya.
Menukar Iman dengan Kebinasaan
Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia telah menurunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ ayat-ayat yang jelas sebagai tanda kenabian. Menurut Tafsir Ibnu Katsir, tanda-tanda itu termasuk pengetahuan tentang rahasia kaum Yahudi, sejarah Bani Israil, serta perubahan yang mereka lakukan terhadap hukum-hukum Taurat.
Semua itu dijelaskan dalam Al-Qur’an tanpa Nabi ﷺ belajar dari manusia mana pun, melainkan wahyu murni dari Allah. Seharusnya, siapa pun yang berakal jujur akan membenarkan kebenaran ini. Namun, kaum Yahudi justru menolaknya karena hasad dan kesombongan, padahal dalam kitab mereka telah tertulis kabar gembira tentang kedatangan Rasulullah ﷺ (QS. Al-A’raf: 157).
Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa penolakan orang Yahudi terhadap Al-Qur’an membuat mereka melempar kitab Allah ke belakang punggung mereka, seakan-akan tidak mengetahuinya. Sebagai gantinya, mereka condong mempelajari ilmu sihir, bahkan mengikuti apa yang dibisikkan setan-setan pada masa Nabi Sulaiman. Padahal, Allah telah menjelaskan bahwa sihir adalah bagian dari kekufuran dan tidak mendatangkan manfaat, melainkan kerusakan seperti memisahkan suami istri. Meski demikian, sihir itu tidak akan memberi mudharat kecuali dengan izin Allah.
Dengan memilih sihir dan meninggalkan iman kepada Rasulullah ﷺ, mereka sebenarnya telah menukar kebaikan akhirat dengan kebinasaan dunia. Mereka tahu bahwa tukang sihir tidak akan mendapat bagian di akhirat, namun tetap saja terjerumus. Karena itu Allah mencela mereka dengan firman-Nya, “Sungguh buruklah apa yang mereka jual diri mereka dengannya.” Seandainya mereka beriman dan bertakwa, niscaya pahala dari Allah jauh lebih baik daripada kesesatan yang mereka ikuti.
Fasik: Ketika Hati Menutup Diri dari Cahaya
Fasik dalam ayat ini bukan sekadar pelanggaran biasa, tetapi penolakan yang disengaja terhadap kebenaran. Mereka yang fasik mengetahui kebenaran, namun enggan menerimanya. Mereka tidak sekadar tersesat, melainkan dengan sadar memilih jalan yang gelap.
Al-Qur’an sudah berkali-kali memberi contoh bagaimana kaum sebelumnya binasa karena menolak kebenaran. Orang-orang Yahudi di masa Nabi Muhammad ﷺ pun mengulang pola yang sama. Mereka menyaksikan mukjizat, mendengar bacaan Al-Qur’an, bahkan melihat akhlak Nabi ﷺ secara langsung, tetapi tetap menutup diri. Penolakan ini tidak lahir dari ketidakpahaman, melainkan dari kedengkian dan kesombongan.
Di sisi lain, jika kita cerminkan ke dalam diri, sifat fasik bisa tumbuh dalam hati kita juga. Setiap kali kita memahami larangan Allah namun tetap melanggarnya, ada bagian dari diri kita yang menolak cahaya itu. Maka, ayat ini bukan hanya berbicara tentang kaum Yahudi, tetapi juga teguran bagi siapa saja yang mengabaikan firman Allah meski sudah jelas kebenarannya.
Perjuangan Mukmin Melawan Hawa Nafsu
Ayat ini membawa kita pada kenyataan bahwa perjalanan iman adalah pergulatan yang panjang. Tidak ada manusia yang sempurna dalam menundukkan hawa nafsunya. Bahkan seorang mukmin bisa tergelincir dalam sikap fasik ketika membiarkan nafsu menguasai hatinya.
Membaca Al-Qur’an bukan hanya tentang melafalkan ayat, tetapi juga melawan diri sendiri untuk menerima peringatan yang terkandung di dalamnya. Setiap kali kita jatuh ke dalam maksiat, lalu kembali membuka mushaf, sebenarnya Allah sedang menunjukkan jalan pulang.
Pertanyaannya: maukah kita mengakui kelemahan dan tunduk pada petunjuk itu, atau justru menutup diri sebagaimana kaum yang dicela dalam ayat ini?
Di dunia yang semakin absurd dan penuh distraksi, memohon perlindungan Allah adalah jalan utama. Tanpa pertolongan-Nya, kita mudah sekali terseret dalam gelapnya hawa nafsu. Tadabbur atas ayat ini mengingatkan kita bahwa hanya dengan merendahkan hati, mengakui kelemahan, dan bersandar pada Allah, kita bisa terhindar dari sikap fasik yang menolak cahaya kebenaran.
Tips Praktis Agar Tidak Menjadi Orang Fasik
Menjadi fasik bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba, melainkan hasil dari hati yang terus-menerus menolak kebenaran meski sudah jelas di hadapannya. QS. Al-Baqarah:99 mengingatkan kita bahwa sikap seperti ini bisa menimpa siapa saja, bukan hanya kaum Yahudi pada masa Nabi ﷺ.
Karena itu, penting bagi seorang mukmin untuk senantiasa menjaga diri agar tidak tergelincir ke jalan orang-orang fasik. Ada langkah-langkah sederhana yang bisa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari untuk merawat hati, melatih ketaatan, dan terus mendekat kepada Allah agar tetap istiqamah di atas jalan-Nya.
- Rajin Membaca dan Mentadabburi Al-Qur’an: Jangan hanya melafalkan, tetapi usahakan merenungi makna ayat dan menghubungkannya dengan kehidupan kita. Dengan begitu hati lebih mudah menerima kebenaran, bukan sekadar membaca sebagai rutinitas.
- Latih Diri untuk Taat pada Hal Kecil: Fasik sering berawal dari menyepelekan larangan atau perintah kecil. Biasakan disiplin dengan hal-hal sederhana, misalnya menjaga lisan, jujur dalam perkataan, menepati janji, dan konsisten dalam ibadah.
- Jaga Hati dari Hasad dan Sombong: Kaum Yahudi menolak Rasulullah ﷺ bukan karena tidak tahu, tapi karena dengki dan sombong. Maka, setiap kali rasa iri muncul, segera istighfar dan belajar ridha atas ketetapan Allah.
- Perkuat Doa dan Mohon Perlindungan Allah: Mintalah kepada Allah agar hati tidak berpaling dari kebenaran. Doa seperti “Ya Muqallibal Qulub, tsabbit qalbi ‘ala dinik” (Wahai Yang Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu) sangat dianjurkan.
- Pilih Lingkungan yang Mengingatkan pada Allah: Fasik mudah tumbuh jika kita berada dalam lingkungan yang melalaikan. Carilah teman atau komunitas yang saling menasihati dalam kebaikan, karena iman butuh dukungan sosial.
- Segera Bertaubat Bila Terjatuh: Kita manusia pasti salah. Namun, yang membedakan mukmin dengan fasik adalah sikap setelah salah. Mukmin segera bertaubat dan memperbaiki diri, sedangkan fasik menolak dan menutup diri.
QS. Al-Baqarah ayat 99 bukan sekadar peringatan bagi orang Yahudi di masa Rasulullah ﷺ, tetapi juga bagi setiap hati yang menolak untuk tunduk pada firman Allah. Fasik adalah pilihan, ketika seseorang lebih memilih gelap daripada cahaya.
Sebagai hamba yang lemah, kita pun berpotensi jatuh dalam sikap fasik jika lalai dan enggan menerima kebenaran. Maka, jalan terbaik adalah terus kembali pada Al-Qur’an, memohon perlindungan Allah, dan melawan hawa nafsu yang menutup hati. Sebab hanya dengan cahaya-Nya, jiwa dan raga kita bisa bertahan di dunia yang semakin gelap ini.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏