بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 22 Agustus 2025.
Hasad adalah salah satu penyakit hati yang paling halus namun sangat berbahaya. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 90, Allah menggambarkan bagaimana Bani Israil terjerumus dalam kekufuran karena kedengkian mereka terhadap karunia yang Allah turunkan kepada Rasul pilihan-Nya.
Mereka tidak bisa menerima bahwa nikmat itu diberikan kepada orang lain, hingga akhirnya mereka menanggung kemurkaan demi kemurkaan dari Allah. Ayat ini menjadi cermin bahwa hasad bukan hanya persoalan perasaan pribadi, melainkan juga bisa menjerumuskan seseorang pada penolakan kebenaran.
TADABBUR QURAN: AL BAQARAH 90
Saya teringat ketika mendengarkan kajian Ustadz Ammi Nur Baits yang menjelaskan definisi hasad. Menurut beliau, hasad adalah keinginan agar nikmat yang ada pada orang lain hilang, entah beralih kepadanya atau tidak.Dari sini saya mulai merenung: apakah dalam keseharian saya juga menumbuhkan benih-benih hasad tanpa sadar? Terutama ketika menghadapi orang yang pernah mendzalimi saya, terkadang muncul rasa lega jika mereka mendapat balasan setimpal. Meski kelihatannya wajar, tetapi bila terus dipelihara, perasaan ini bisa bertransformasi menjadi hasad yang merusak hati.
Kedengkian Bani Israil dan Akibat Kekafirannya
Berdasarkan Tafsir Tahlili ayat ini mencela keras perbuatan Bani Israil yang menjual dirinya dengan menolak kebenaran. Mereka mengetahui bahwa wahyu yang diturunkan Allah melalui para nabi dan rasul adalah benar, namun mereka mengingkarinya.Penyebab utamanya bukan karena kebodohan, melainkan karena kedengkian. Mereka tidak rela Allah memberikan karunia kenabian kepada hamba yang Dia kehendaki, dalam hal ini Nabi Muhammad ﷺ. Hasad ini membuat mereka menutup hati dari kebenaran, sehingga kehilangan kesempatan meraih kebahagiaan abadi.
Dalam sejarah, Bani Israil sejak lama menanti kedatangan seorang nabi yang dijanjikan. Namun mereka berharap nabi itu muncul dari keturunan Ishak, bukan dari keturunan Ismail. Maka ketika Allah memilih Nabi Muhammad ﷺ dari bangsa Arab, kedengkian mereka memuncak.
Dalam sejarah, Bani Israil sejak lama menanti kedatangan seorang nabi yang dijanjikan. Namun mereka berharap nabi itu muncul dari keturunan Ishak, bukan dari keturunan Ismail. Maka ketika Allah memilih Nabi Muhammad ﷺ dari bangsa Arab, kedengkian mereka memuncak.
Sebelumnya, mereka juga membangkang kepada Nabi Musa dan menolak ajaran Nabi Isa. Penolakan demi penolakan ini menunjukkan bahwa sifat hasad telah mengakar dalam hati mereka, hingga menjadi penghalang besar bagi mereka untuk tunduk pada kebenaran.
Akibat dari sikap tersebut, Allah menimpakan kemurkaan demi kemurkaan kepada mereka. Murka ini bertingkat-tingkat, mulai dari pembangkangan terhadap Nabi Musa, penolakan terhadap Nabi Isa, hingga pengingkaran terhadap kerasulan Nabi Muhammad ﷺ.
Akibat dari sikap tersebut, Allah menimpakan kemurkaan demi kemurkaan kepada mereka. Murka ini bertingkat-tingkat, mulai dari pembangkangan terhadap Nabi Musa, penolakan terhadap Nabi Isa, hingga pengingkaran terhadap kerasulan Nabi Muhammad ﷺ.
Balasan di dunia adalah kehinaan, keterbelengguan, dan kenistaan, sementara di akhirat mereka diancam dengan azab yang kekal di neraka Jahanam. Inilah konsekuensi berat dari kedengkian yang dibiarkan tumbuh hingga menutup hati dari cahaya hidayah.
Hasad: Akar dari Penolakan Kebenaran
Bani Israil menolak risalah Nabi Muhammad ﷺ karena dengki. Mereka tidak rela bahwa Allah memilih seorang rasul dari bangsa Arab, bukan dari kalangan mereka. Inilah bentuk nyata dari hasad yang memalingkan seseorang dari kebenaran. Alih-alih tunduk kepada wahyu Allah, mereka membiarkan rasa dengki menguasai hati hingga akhirnya mereka justru menjual diri mereka pada kekufuran.Refleksi ini membuat saya berpikir, ternyata hasad bisa membuat seseorang kehilangan akal sehatnya. Ketika hati dipenuhi iri, maka kebenaran pun bisa tampak seperti keburukan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin tidak sampai menolak wahyu, tetapi bisa saja kita menolak kebaikan hanya karena datang dari orang yang tidak kita sukai.
Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa perbuatan itu sangat buruk. Hasad bukan hanya melukai diri sendiri, tetapi juga memutuskan hubungan dengan cahaya hidayah. Jika tidak dikendalikan, hasad bisa menjadi penghalang terbesar dalam menerima kebenaran dan menghalangi kita dari rahmat Allah.
Apakah Aku Hasad?
Ketika memikirkan orang yang mendzalimi kita, sering muncul keinginan agar ia mendapatkan ganjaran setimpal. Dalam batas tertentu, itu adalah naluri manusiawi. Namun, yang berbahaya adalah ketika keinginan itu berkembang menjadi doa buruk atau rasa lega melihat kesusahan mereka. Inilah titik rawan hasad mulai tumbuh tanpa disadari.Allah berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 32: "
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagian yang lain."
Ayat ini mengajarkan bahwa setiap anugerah adalah kehendak Allah, bukan hasil pilihan manusia. Maka, merasa tidak rela atas pemberian Allah berarti sama dengan meragukan keadilan-Nya.
Dari sini saya belajar untuk terus mengintip hati. Apakah perasaan yang muncul sekadar harapan keadilan, atau sudah bergeser menjadi hasad yang berbahaya? Introspeksi semacam ini membantu menjaga agar hati tetap bersih dari penyakit yang bisa menggerogoti iman.
Dari sini saya belajar untuk terus mengintip hati. Apakah perasaan yang muncul sekadar harapan keadilan, atau sudah bergeser menjadi hasad yang berbahaya? Introspeksi semacam ini membantu menjaga agar hati tetap bersih dari penyakit yang bisa menggerogoti iman.
Mengubah Doa, Mengubah Hati
Alih-alih menunggu balasan untuk orang yang mendzalimi kita, Islam mengajarkan untuk mendoakan kebaikan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Doakanlah saudaramu dengan doa yang baik, maka malaikat akan berkata: Amin, dan bagimu juga seperti itu.” (HR. Muslim). Artinya, ketika kita mendoakan orang lain, sebenarnya kita sedang mendoakan diri kita sendiri.Mengubah doa dari keburukan menjadi kebaikan memang tidak mudah. Tetapi dengan latihan, hati akan lebih lapang. Misalnya, daripada berkata dalam hati, “Semoga dia mendapat balasan,” kita bisa menggantinya dengan, “Ya Allah, beri dia hidayah dan beri aku kesabaran.” Doa semacam ini bukan hanya menenangkan jiwa, tetapi juga menjauhkan kita dari jebakan hasad.
QS. Al-Furqan ayat 63 menggambarkan hamba Allah yang sejati: mereka berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila disakiti oleh orang jahil, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. Ayat ini mengajarkan bahwa respon terbaik terhadap keburukan adalah menebar doa dan kata yang baik, bukan menyimpan hasad dalam hati.
Obat Hasad: Ridha kepada Takdir Allah
Solusi utama dari penyakit hasad adalah ridha kepada takdir Allah. Apa pun yang Allah berikan kepada seseorang adalah bagian dari hikmah dan kehendak-Nya. Dengan ridha, hati menjadi tenang dan tidak sibuk membandingkan diri dengan orang lain.Allah mengingatkan dalam QS. Al-Hadid ayat 23: “(
Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”
Ayat ini mengajarkan keseimbangan: tidak berlebihan dalam kesedihan atau kegembiraan, karena semua sudah diatur Allah.
Ketika ridha hadir dalam hati, maka hasad tidak punya ruang untuk tumbuh. Kita akan lebih sibuk memperbaiki diri, bukan iri pada orang lain. Ridha menjadikan hati lapang dan menumbuhkan rasa syukur atas apa pun yang Allah titipkan kepada kita.
Benang Merah ke Kehidupan Kita
Kisah Bani Israil dalam ayat ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi juga peringatan bagi kita semua. Hasad membuat mereka buta terhadap kebenaran, meskipun sudah jelas di depan mata. Mereka lebih memilih mempertahankan ego dan kedengkian, sehingga menolak anugerah Allah. Hal yang sama bisa terjadi pada kita jika membiarkan hati dikuasai iri dan dengki terhadap karunia orang lain.Dalam kehidupan sehari-hari, hasad sering muncul dalam bentuk sederhana: rasa tidak suka ketika orang lain sukses, lega saat orang yang menyakiti kita mendapat kesulitan, atau keinginan agar nikmat orang lain hilang. Perasaan ini tampak sepele, tetapi jika dipelihara, ia akan menutup pintu kebaikan dalam hati. Kita bisa terjerumus pada sikap yang mirip dengan Bani Israil, yakni menolak kebenaran hanya karena tidak senang siapa yang membawanya.
Oleh karena itu, tadabbur atas ayat ini mengingatkan kita untuk membersihkan hati dari hasad dengan cara ridha kepada takdir Allah, memperbanyak doa kebaikan untuk orang lain, dan mengarahkan energi untuk memperbaiki diri. Dengan begitu, kita tidak jatuh pada kesalahan yang sama seperti Bani Israil, dan sebaliknya bisa menjadi hamba yang bersyukur atas setiap ketetapan Allah.
Dari tadabbur ini saya belajar bahwa hasad bukanlah masalah sepele. Ia bisa menjadi pintu yang menyeret seseorang pada penolakan kebenaran, sebagaimana terjadi pada Bani Israil. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, hasad bisa menyelinap melalui rasa lega atas kesusahan orang lain, terutama yang pernah mendzalimi kita.
Namun, Allah juga memberikan obatnya. Dengan doa yang baik, introspeksi hati, dan ridha kepada takdir Allah, kita bisa melawan hasad. Ayat-ayat Al-Qur’an menjadi penuntun agar hati tetap bersih, sehingga kita bisa berjalan dengan lapang tanpa terikat oleh penyakit dengki. Pada akhirnya, mengikhlaskan segala sesuatu kepada Allah adalah jalan terbaik untuk meraih ketenangan jiwa.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏