TADABBUR QURAN: ASY-SYU'ARA'

TADABBUR QURAN: ASY-SYU'ARA'

Hai pencari cahaya! ✨🌝

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 4 Juli 2025,

Pagi ini, saat Lumira membuka media sosial, sebuah unggahan dari Yaqueen Institute sangat menarik bagiku. Postingan itu mengingatkan bahwa tanggal 10 Muharram 1447 H — hari Asyura — bertepatan dengan 5 Juli 2025, tepat di hari Lumira menulis dan membagikan catatan ini. 

Tanpa disangka, pengingat itu menjadi pemicu yang mendorong Lumira membuka dan membaca Surat Asy-Syu'ara di pagi yang hening ini.  Melalui surat ini, Lumira menemukan benang merah perjuangan para Nabi yang menghadapi umatnya demi menegakkan tauhid.

TADABBUR QURAN: ASY-SYU'ARA'

Hari Asyura, yang jatuh pada tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriah, bukan hanya menjadi momen penting dalam sejarah Islam, tetapi juga memiliki gema spiritual dan budaya yang berbeda-beda di tengah umat Muslim maupun masyarakat tradisional seperti di Jawa.

Makna Ashura Dalam Berbagai Tradisi

Di balik satu tanggal yang sama, terdapat keragaman cara dalam menyikapinya—ada yang menghayatinya sebagai hari puasa penuh pahala, ada pula yang menjadikannya sebagai hari duka dan perenungan, bahkan sebagian menjadikannya momen untuk laku spiritual dan penyucian diri.

Perbedaan ini menandakan bahwa Ashura bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi juga ruang kontemplatif yang diisi dengan makna yang berlapis sesuai dengan sudut pandang dan latar budaya masing-masing.

Tradisi Jawa

Dalam tradisi masyarakat Jawa, bulan Sura (penyebutan lokal untuk bulan Muharram dalam kalender Hijriah) memiliki makna yang sangat khusus dan berbeda dibandingkan pemahaman agama Islam secara tekstual. 

Sura tidak hanya dilihat sebagai bulan keagamaan, tetapi juga sebagai bulan spiritual dan sakral, yang sering kali dikaitkan dengan laku batin, perenungan, dan ketenangan. Perspektif ini lahir dari perpaduan antara ajaran Islam dan filosofi Kejawen—sistem kepercayaan lokal yang sarat makna simbolik.

Masyarakat Jawa umumnya tidak merayakan malam 1 Sura (malam Tahun Baru Islam) dengan pesta atau keramaian. Sebaliknya, banyak yang memilih melakukan ritual hening seperti tirakat, kungkum (berendam di air), lelaku tapa bisu (puasa bicara), atau zikir dan doa malam. Semua ini dilakukan untuk membersihkan diri secara lahir dan batin. 

Bahkan, sebagian kalangan menghindari pernikahan dan pesta di bulan Sura karena diyakini sebagai bulan yang “wingit” (keramat). Nilai-nilai ini bukan karena Sura dianggap bulan sial, melainkan karena dihormati sebagai momen untuk menata diri dan memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan alam semesta.

Menariknya, beberapa elemen budaya seperti kirab pusaka keraton, larungan di laut selatan, dan upacara adat Suran juga menjadi bagian dari peringatan bulan Sura, terutama di daerah seperti Solo, Yogyakarta, dan Ponorogo. 

Semua ini menunjukkan bahwa dalam pandangan orang Jawa, bulan Sura adalah waktu untuk menyambung kembali tali spiritual—baik kepada Sang Pencipta, kepada leluhur, maupun kepada diri sendiri. Meskipun maknanya tidak selalu identik dengan puasa Ashura dalam Islam, intinya sama: sebuah ajakan untuk mendekat kepada Ilahi, melalui jalan yang penuh kesungguhan dan perenungan.

Belakangan ini, banyak umat Muslim di Indonesia memanfaatkan bulan Muharram, khususnya momen bulan Muharram atau hari Asyura, sebagai waktu yang penuh berkah untuk menyantuni anak yatim piatu. Sebuah amalan yang meskipun tidak secara khusus diwajibkan dalam syariat pada hari tersebut, tetap mencerminkan semangat kepedulian sosial dan nilai kasih sayang yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam.

Tradisi Sunni

Dalam tradisi Islam Sunni, hari Ashura diperingati sebagai momen bersejarah ketika Nabi Musa ‘alaihis salam dan Bani Israil diselamatkan oleh Allah dari kejaran Firaun melalui mukjizat pembelahan Laut Merah. Sebagai bentuk rasa syukur atas peristiwa itu, Nabi Muhammad ﷺ menganjurkan umat Islam untuk berpuasa pada hari ke-10 bulan Muharram ini. 

Puasa Ashura termasuk ibadah sunah yang sangat dianjurkan, sebagaimana sabda beliau bahwa puasa pada hari Asyura dapat menghapus dosa setahun yang lalu (HR. Muslim). Untuk membedakan dari kebiasaan puasa kaum Yahudi, beliau juga menganjurkan agar umat Islam menambahkan puasa pada hari ke-9 atau ke-11 Muharram.

Tradisi Syiah

Sementara itu, dalam tradisi Syiah, Ashura dikenang sebagai hari duka yang sangat mendalam karena bertepatan dengan syahidnya cucu Nabi Muhammad ﷺ, Imam Husain bin Ali, di padang Karbala pada tahun 61 Hijriah. Peristiwa tragis ini menjadi titik penting dalam sejarah Islam karena mencerminkan perlawanan terhadap kekuasaan yang zalim dan tidak adil. 

Bagi komunitas Syiah, Ashura menjadi simbol pengorbanan, keberanian, dan pembelaan terhadap kebenaran, sehingga setiap tahunnya mereka memperingatinya dengan doa, majlis, puisi ratapan, serta prosesi berkabung sebagai wujud cinta dan penghormatan kepada keluarga Nabi.

Selain dalam tradisi Islam Sunni, Syiah, dan budaya Jawa, peringatan Ashura juga dijalankan dengan cara beragam di berbagai belahan dunia. Di India, Pakistan, dan Iran, khususnya di kalangan Syiah, Ashura diperingati dengan majlis duka, pawai tazia, dan ta'ziyah sebagai bentuk penghormatan kepada Imam Husain. 

Sementara di Turki, masyarakat merayakannya dengan membagikan puding aşure sebagai simbol kebersamaan dan rasa syukur. Di Indonesia, tradisi Tabuik di Sumatera Barat menjadi warisan budaya yang terinspirasi dari kisah Karbala. 

Sedangkan di beberapa negara Afrika dan Asia Tenggara, Ashura diramaikan dengan puasa, zikir, dan pengajian, menunjukkan bahwa hari ke-10 Muharram ini memiliki makna yang luas dan beragam, sesuai dengan corak budaya dan keyakinan masing-masing komunitas Muslim.

Namun terlepas dari semua ragam tradisi tersebut, saya bertanya pada diri sendiri: apa makna Ashura bagi saya secara pribadi?

Apa Makna Ashura Bagi Lumira?

Dari 227 ayat yang terkandung dalam surat ini, Lumira mulai menyadari bahwa Asy-Syu'ara bukan sekadar kumpulan kisah para Nabi, tapi sebuah rangkaian risalah tentang perjuangan tauhid yang tak lekang oleh waktu

Masing-masing Rasul membawa satu pesan utama: ajakan kepada umatnya untuk hanya menyembah Allah. Namun, yang menarik dan menyentuh hati Lumira adalah kenyataan bahwa perjuangan mereka sering kali menghadapi rintangan besar—bukan hanya dari masyarakat luas, tapi juga dari orang-orang terdekat.

Nabi Ibrahim diuji lewat penolakan dari ayah kandungnya sendiri, sementara Nabi Musa harus menghadapi kekuasaan dan tekanan dari keluarga angkatnya, Firaun. Dari situ, Lumira merenung: setiap kita punya medan ujian dan lahan dakwah masing-masing. Kita memang bukan Nabi, tapi Allah menempatkan kita dalam lingkup hidup yang penuh makna, untuk memainkan peran yang telah ditakdirkan.

Bagi Lumira, peran itu mungkin hadir dalam bentuk tulisan—catatan kecil di ruang digital yang tak seberapa. Tapi justru lewat tulisan-tulisan itu, ia merasa sedang ikut serta menyuarakan pesan tauhid, menyebarkan kesadaran akan keesaan Tuhan dalam bentuk yang sederhana, namun mudah diakses oleh siapa saja. Tadabbur ini menjadi pengingat bahwa setiap peran—kecil ataupun besar—bisa menjadi bagian dari perjuangan agama ini, selama ia dilakukan dengan niat yang lurus dan penuh kesadaran.

Tauhid Sebagai Inti Dakwah Para Nabi

Setiap Nabi yang diutus Allah membawa misi yang sama: menyeru umat manusia untuk menyembah hanya kepada Allah. Ini adalah ajaran tauhid, yakni mengesakan Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Di dalam Surat Ash-Syu’ara, kita melihat pola berulang dari seruan para Nabi yang mengajak umatnya untuk bertakwa dan menaati Allah, seraya menolak segala bentuk penyembahan terhadap selain-Nya.

Ayat-ayat dalam surat ini secara konsisten menyampaikan seruan yang hampir sama: “Sesungguhnya aku ini adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” 
(QS. Ash-Shu’ara: 107–108, juga 125–126, 143–144, dst)

Pola ini menunjukkan bahwa ajaran pokok para rasul bukanlah ritual atau budaya, melainkan ajakan untuk kembali pada Tuhan yang Esa, tanpa sekutu, tanpa perantara.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita juga diuji dalam hal tauhid—apakah kita benar-benar bergantung pada Allah, ataukah kita diam-diam mengandalkan hal-hal lain sebagai “penolong” utama? Surat ini mengingatkan bahwa keyakinan murni kepada Allah adalah fondasi utama dari iman dan kunci keselamatan.

Nabi Musa: Seruan di Hadapan Tirani

Kisah Nabi Musa dalam surat ini menjadi pembuka dari rangkaian kisah para rasul. Musa diutus kepada Firaun, sosok yang sangat sombong dan bahkan mengaku sebagai tuhan. Musa menyampaikan pesan tauhid dengan tegas, namun juga dengan mu’jizat yang jelas, seperti tongkat yang berubah menjadi ular besar. Namun tetap saja, Firaun dan kaumnya memilih untuk mengingkari.

Penolakan Firaun bukan karena kurangnya bukti, melainkan karena kesombongan dan kepentingan kekuasaan. Inilah pelajaran besar dari kisah ini: kebenaran bisa ditolak bukan karena tidak masuk akal, tetapi karena hati yang congkak dan tidak mau tunduk kepada kebenaran. Kesombongan menjadi penghalang utama dalam menerima tauhid.

Saat ini, mungkin kita tidak menghadapi Firaun dalam bentuk nyata, tapi bisa saja kita dihadapkan pada situasi di mana ego, gengsi, atau rasa benar sendiri membuat kita menolak nasihat dan kebenaran. Belajar dari Nabi Musa A.S, keberanian menyampaikan kebenaran tauhid adalah amanah besar, walau di hadapan kekuasaan sekalipun.

Nabi Ibrahim: Melawan Tradisi Sesat Kaumnya

Nabi Ibrahim tampil sebagai sosok yang berani menggugat keyakinan sesat yang telah mengakar kuat dalam budaya kaumnya. Ia mempertanyakan penyembahan terhadap berhala-berhala yang tak mampu mendengar, melihat, apalagi menolong. 

Dengan logika yang sederhana namun tajam, ia mengajak kaumnya berpikir ulang tentang siapa yang sebenarnya layak disembah. Bahkan, ia menghancurkan berhala-berhala itu demi membangunkan kesadaran mereka.

Puncaknya ada dalam QS Ash-Shu’ara: 77–82, di mana Ibrahim menyampaikan tauhid dengan sangat indah. Ia menyebutkan sifat-sifat Allah yang nyata: Tuhan yang menciptakan, memberi petunjuk, memberi makan dan minum, menyembuhkan, mematikan dan menghidupkan, serta mengampuni dosa. Sifat-sifat ini bukan hanya argumen, tapi juga potret hubungan spiritual yang sangat personal antara hamba dan Tuhannya.

Bagi Lumira, ayat-ayat ini tidak sekadar bahan renungan, tetapi juga cerminan dari pengalaman hidup. Di setiap fase sulit, Lumira merasakan Allah hadir sebagai pembimbing, penyembuh, dan pemberi rezeki. Tadabbur ini menjadi pengingat bahwa Tuhan yang disembah bukanlah konsep abstrak, melainkan Zat yang benar-benar dekat, menyertai, dan merespons kehidupan dengan penuh kasih dan kuasa.

Nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth, dan Syu’aib: Dakwah yang Konsisten

Satu per satu para rasul diabadikan dalam surat ini: Nabi Nuh yang berdakwah selama ratusan tahun, Nabi Hud kepada kaum 'Ad, Nabi Shalih kepada kaum Tsamud, Nabi Luth kepada kaum yang menyimpang dari fitrah, dan Nabi Syu’aib kepada kaum yang curang dalam timbangan. Semua menyampaikan pesan yang sama: “Bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.

Namun respons umat-umat itu hampir sama: mereka mendustakan para nabi, mengejek, bahkan mengancam. Padahal para nabi tersebut tidak meminta upah atau kedudukan. Mereka hanya menyampaikan amanah. Ini menjadi pelajaran penting bahwa dalam menyampaikan kebenaran, penolakan adalah hal biasa—bahkan terhadap para nabi yang maksum sekalipun.

Kita belajar bahwa berdakwah dan menyampaikan kebaikan tidak harus menunggu diterima atau dipuji. Konsistensi dan keikhlasan dalam menyampaikan nilai tauhid dan kebaikan adalah bentuk kesetiaan kepada Allah, bukan kepada hasil. Semua Nabi itu tetap menyeru, walau mereka ditolak.

Al-Qur’an: Penegasan Wahyu dan Peringatan

Di bagian akhir Surat Ash-Shu’ara, Allah menegaskan bahwa apa yang disampaikan Rasulullah ﷺ adalah wahyu dari Tuhan semesta alam, bukan puisi, bukan sihir, dan bukan dongeng. Ayat-ayat ini hadir untuk menguatkan posisi Al-Qur’an sebagai peringatan yang jelas bagi mereka yang masih punya hati dan iman.

Penegasan ini penting karena di zaman Nabi pun, banyak yang meremehkan Al-Qur’an, menyamakannya dengan karya sastra biasa. Padahal, Al-Qur’an adalah kalam Allah yang mengandung petunjuk hidup, hukum, sejarah, dan pelajaran bagi orang-orang berakal. Maka, siapa pun yang berpaling dari Al-Qur’an, hakikatnya sedang menjauh dari keselamatan.

Surat ini ditutup dengan gambaran tentang para penyair (asy-syu’ara) yang banyak berbicara tanpa arah dan tanpa iman. Ini menjadi pengingat bahwa kalimat yang keluar dari lisan manusia hendaknya membawa petunjuk, bukan kesesatan. Dan Al-Qur’an adalah petunjuk paling sempurna untuk itu.

Posting Komentar

0 Komentar