TADABBUR QURAN: AL MUKMINUN 68

TADABBUR QURAN: AL MUKMINUN 68

Hai pencari cahaya! ✨🌝 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 3 Juli 2025,

Masih melanjutkan perenungan dari kemarin, hari ini Lumira ingin membahas hal yang menurutku sama pentingnya, bahkan bisa dibilang pondasi dari semuanya: tadabbur Al-Qur’an. Al-Qur’an itu bukan sekadar bacaan suci yang kita lantunkan saat ibadah, tapi ia adalah petunjuk hidup—semacam kompas yang membimbing kita bagaimana merespons berbagai fase kehidupan, baik saat diberi nikmat maupun saat diuji dengan kesulitan.

TADABBUR QURAN: AL MUKMINUN 68

Tapi jujur saja, sering kali kita mengeluh ketika diuji, tapi enggan meluangkan waktu untuk belajar bagaimana cara menyikapi ujian itu dengan benar. Padahal Allah, dengan segala kasih sayang-Nya, telah menurunkan Al-Qur’an sebagai panduan yang lengkap—tinggal kita mau atau tidak untuk membacanya, merenunginya, dan mengamalkannya dalam hidup sehari-hari.

Kalau kupikir-pikir lagi, mungkin kita sering mengabaikan “buku panduan” ini karena merasa sudah cukup mampu mengatur hidup sendiri. Ibaratnya seperti membeli alat elektronik baru yang dilengkapi petunjuk manual, tapi kita lebih memilih langsung pakai tanpa membaca petunjuknya. 

Padahal di dalamnya ada informasi penting soal cara penggunaan, peringatan, bahkan perawatan agar alat itu bisa bekerja maksimal. Nah, ketika alatnya rusak, barulah kita kebingungan, panik, dan sibuk mencari solusi ke sana-sini. Sayangnya, kita lupa bahwa solusi utamanya sebenarnya sudah disediakan sejak awal, hanya saja tak sempat kita baca.

Konteks Sejarah dan Makna Ayat

“Maka, tidakkah mereka merenungkan firman (Allah) atau adakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka terdahulu?”

QS Al-Mu’minun [23]: 68

Ayat ini turun di Mekah, saat Rasulullah ﷺ menghadapi gelombang penolakan yang kuat dari kaumnya. Meskipun mereka mengetahui reputasi Nabi Muhammad sebagai al-Amin, tetap saja mereka menolak risalah yang dibawanya. Mereka bahkan berdalih bahwa ajaran tauhid yang dibawa Nabi adalah sesuatu yang asing—tidak dikenal oleh leluhur mereka.

Konteks sejarah dalam Tafsir Ibnu Katsir untuk QS Al-Mu’minun ayat 68–75 menggambarkan situasi sosial, keagamaan, dan psikologis masyarakat Quraisy pada masa turunnya Al-Qur’an, terutama dalam hal penolakan terhadap risalah Nabi Muhammad ﷺ dan pengabaian terhadap tadabbur Al-Qur’an.

1. Kaum Quraisy Hidup dalam Masa Kekosongan Risalah

Sebelum Nabi Muhammad diutus, masyarakat Arab Quraisy hidup dalam masa fatrah (masa kekosongan kenabian). Mereka belum pernah menerima kitab suci atau rasul secara langsung sebagaimana Bani Israil menerima Taurat dan Injil. 

Oleh sebab itu, ketika risalah Islam datang kepada mereka melalui Nabi Muhammad, itu seharusnya menjadi nikmat besar, karena mereka menjadi bangsa yang pertama kali mendapatkan akses langsung terhadap petunjuk Allah setelah masa panjang kejahiliyahan.

Namun yang terjadi sebaliknya: mereka menolak Al-Qur’an, bahkan mencemooh isinya tanpa mau merenunginya. Mereka lebih memilih mempertahankan tradisi leluhur dan adat mereka yang sudah mapan, meski bertentangan dengan nilai-nilai wahyu.

2. Penolakan Rasul yang Dikenal Baik oleh Kaumnya Sendiri

Ironisnya, Nabi Muhammad bukan orang asing bagi mereka. Beliau tumbuh besar di tengah-tengah mereka, dikenal dengan akhlaknya yang luhur, sifat amanahnya, dan kejujurannya hingga digelari al-Amin. 

Namun saat beliau diutus membawa risalah tauhid, masyarakat Quraisy berpaling dan menuduhnya gila, penyair, atau tukang sihir. Ini menunjukkan hipokrisi sosial dan penolakan batin terhadap perubahan, karena risalah ini mengguncang struktur sosial, ekonomi, dan kekuasaan yang sudah mapan.

Tuduhan bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi hanyalah dalih untuk menolak kebenaran. Padahal mereka tahu betul bahwa Al-Qur’an bukanlah karya manusia, sebab isinya luar biasa dan tak bisa ditandingi. Tetapi karena mereka benci terhadap kebenaran yang tak menguntungkan hawa nafsu dan kepentingan dunia mereka, maka mereka tetap menolaknya.

3. Dominasi Hawa Nafsu dan Logika Duniawi

Kaum Quraisy menuntut agar Al-Qur’an diturunkan kepada tokoh elite yang lebih “terpandang” secara sosial dan ekonomi, misalnya dari kota besar seperti Makkah atau Thaif. Ini menunjukkan bagaimana mereka memahami agama dari sudut pandang kelas dan kekuasaan, bukan dari kebenaran isi. 

Mereka menganggap risalah kenabian seharusnya datang kepada orang yang dianggap layak menurut standar duniawi, bukan berdasarkan kehendak Allah.

Mereka juga tidak segan mempertanyakan Allah dan kehendak-Nya dengan penuh arogansi, seolah mereka bisa membagi-bagi rahmat Tuhan. Padahal Allah-lah pemilik rahmat, dan bukan manusia yang berhak mengatur siapa yang pantas menerima wahyu. 

Allah menyebut mereka sebagai kaum yang berpaling dari kebanggaan mereka sendiri (Al-Qur’an), dan jika mereka diberi rahmat pun, mereka tetap tidak akan berubah—karena hati mereka telah tertutup.

Tafsir Kemenag: Menolak Kebenaran Karena Tidak Sesuai Hawa Nafsu

Dalam ayat ini, Allah mengecam sikap orang-orang kafir yang berpaling dari firman-Nya. Mereka seolah tidak mau menggunakan akalnya untuk merenungi isi Al-Qur’an, padahal ayat-ayat-Nya penuh dengan kebenaran dan petunjuk hidup. Mereka berdalih bahwa risalah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad adalah sesuatu yang tidak dikenal oleh nenek moyang mereka terdahulu, seolah-olah tradisi menjadi parameter kebenaran.

Padahal, mereka mengenal sosok Nabi Muhammad dengan baik. Mereka tahu bahwa beliau tidak pernah berdusta, dan bahkan menyebutnya dengan gelar al-Amin. Namun, ketika beliau datang membawa wahyu yang mengusik zona nyaman dan kepentingan duniawi mereka, tuduhan pun dilontarkan. 

Mereka menyebut Nabi sebagai orang gila, padahal akal sehat mereka tahu bahwa itu tidak benar. Ini menunjukkan adanya penolakan terhadap kebenaran bukan karena tidak tahu, melainkan karena tidak mau menerima.

Penolakan ini tidak berdasar. Mereka tidak menolak karena kurang bukti atau hujjah, tetapi karena isi Al-Qur’an bertentangan dengan nafsu dan ambisi kekuasaan mereka. Maka, ayat ini menjadi pelajaran penting bahwa kebenaran tidak selalu menyenangkan bagi hawa nafsu, tetapi justru di sanalah nilai perjuangan iman diuji.

Tafsir Tahlili: Keagungan Al-Qur’an dan Kelalaian Manusia

Allah mengkritik keras perilaku kaum musyrik yang memiliki kesempatan untuk merenungkan Al-Qur’an, namun memilih untuk mengabaikannya.ii Padahal Al-Qur’an diturunkan dengan keindahan susunan bahasa, kekuatan argumentasi, serta mengandung ajaran akhlak, syariat, dan prinsip hidup yang agung. Tidak ada kontradiksi di dalamnya, tidak pula keraguan. Al-Qur’an adalah sumber kebenaran yang jelas, namun tetap mereka abaikan.

Mereka memperlakukan ajaran Nabi Muhammad seolah sesuatu yang asing, padahal mereka tahu bahwa umat-umat terdahulu pun didatangi oleh para rasul dengan ajaran tauhid yang sama. Mereka tidak bisa berdalih bahwa ajaran ini benar-benar baru. Bahkan, banyak di antara mereka yang sudah melihat secara langsung jejak kehancuran umat terdahulu yang menolak kebenaran. Tetapi pelajaran sejarah itu pun tidak menyadarkan mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa masalah mereka bukan pada logika atau pengetahuan, tapi pada kekerasan hati. Ayat ini mengajarkan kita bahwa mengenal sejarah, logika, dan keindahan ajaran saja tidak cukup, jika hati telah tertutup karena kesombongan atau keengganan untuk tunduk kepada petunjuk.

Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas): Ketika Tadabbur Ditinggalkan, Maka Nafsu Berkuasa

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menekankan bahwa kaum Quraisy adalah kelompok yang seharusnya bersyukur, karena telah didatangi oleh Al-Qur’an—kitab yang paling sempurna dan mulia di antara kitab-kitab langit. Namun justru mereka berpaling darinya. Mereka seharusnya menjadi umat pertama yang memahami, mengamalkan, dan menyebarkan petunjuk ini. Tapi kenyataannya mereka tidak hanya menolak, mereka juga mencemoohnya.

Qatadah mengingatkan, seandainya mereka mau merenungi Al-Qur’an, mereka akan menemukan ayat-ayat yang bisa menahan mereka dari maksiat. Tapi mereka memilih mempermainkan ayat-ayat mutasyabihat untuk membenarkan hawa nafsu mereka. Mereka tahu Nabi Muhammad bukanlah orang gila, namun karena tidak mau tunduk pada kebenaran, mereka menciptakan narasi palsu untuk menutupi penolakan mereka.

Allah bahkan menjelaskan, jika seandainya kebenaran tunduk pada hawa nafsu manusia, maka langit dan bumi akan binasa karena keinginan manusia itu saling bertentangan dan tak terkendali. Maka jelas bahwa kebenaran tidak bisa ditentukan oleh siapa yang paling berkuasa atau siapa yang paling banyak pengikutnya, melainkan oleh siapa yang mengikuti petunjuk wahyu. Menolak tadabbur berarti membiarkan nafsu menjadi pengatur utama.

Tafsir Hidayatul Insan: Tadabbur Adalah Pintu Iman

Tafsir Hidayatul Insaniii menjelaskan bahwa jika orang-orang kafir itu mau mentadabburi isi Al-Qur’an, mereka pasti akan beriman. Ini menunjukkan bahwa tadabbur bukan hanya aktivitas intelektual, tapi juga gerbang spiritual menuju iman yang sejati. Namun, mereka berpaling darinya. Musibah mereka bukan karena tak mendengar, melainkan karena memilih untuk tidak mendengarkan.

Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada yang menghalangi seseorang dari kebaikan kecuali ketertutupan hati. Mereka tidak mampu menerima petunjuk karena hati mereka telah dikunci. Hati yang terbiasa menolak kebenaran akan semakin keras, bahkan ketika kebenaran itu terang benderang di hadapannya.

Lebih menyedihkan lagi, mereka rela menempuh jalan yang sesat hanya karena ingin mengikuti jejak leluhur mereka. Bahkan ketika datang kebenaran yang lebih jelas dan logis, mereka lebih memilih “kenyamanan warisan budaya” daripada menghadapi tantangan iman yang menuntut perubahan dan komitmen.

Pelajaran Penting dari Seluruh Tafsir

Berikut beberapa pelajaran utama yang dapat diambil dari penggabungan tafsir-tafsir ini:
  1. Tadabbur adalah kunci pembuka hidayah. Tanpa perenungan, Al-Qur’an hanya menjadi bacaan rutin yang tidak menyentuh jiwa.
  2. Penolakan terhadap kebenaran bukan karena kurang dalil, tetapi karena tertutupnya hati dan dominasi hawa nafsu.
  3. Fanatisme terhadap tradisi atau leluhur bisa menjadi penghalang serius untuk menerima kebenaran. Kita harus menimbang segala hal dengan neraca wahyu, bukan kebiasaan masa lalu.
  4. Al-Qur’an adalah nikmat besar yang harus disyukuri dengan pemahaman dan pengamalan. Mengabaikannya adalah bentuk kufur terhadap nikmat spiritual.
  5. Kebenaran tidak tunduk pada keinginan manusia. Sebaliknya, manusia yang harus menundukkan keinginannya kepada kebenaran yang datang dari Allah.
  6. Menilai ajaran atau seseorang dari integritas dan isi pesannya lebih penting daripada sentimen personal. Orang Quraisy tahu Nabi itu jujur, tapi mereka menolak karena alasan batin yang rusak.
  7. Tadabbur bukan proses pasif. Ia perlu usaha, kesungguhan, dan kejujuran hati untuk membuka diri pada petunjuk Allah.

Membaca tafsir-tafsir ini membuat Lumira sadar, bahwa mengabaikan tadabbur adalah tanda awal dari hati yang mulai mengeras. Kegiatan menulis tadabbur setiap hari seperti ini Lumira niatkan sebagai cara untuk terus menjaga keterhubungan dengan Al-Qur’an, meskipun hanya satu ayat per hari.

Lumira tahu bahwa Lumira belum pantas mengajarkan, tapi saya ingin belajar dengan sungguh-sungguh. Lumira ingin mencatat setiap cahaya yang Allah pancarkan dalam ayat-Nya, walau kecil, agar tidak hilang ditelan rutinitas. Karena bisa jadi, satu ayat yang direnungkan dalam-dalam jauh lebih bernilai daripada sepuluh halaman yang dibaca terburu-buru.

Posting Komentar

0 Komentar