FILSAFAT ANOMALI: DAMPAK ALGORITMA PADA POLA HIDUP MODERN

Hai pencari cahaya! ✨🌝 

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Kadang kita nggak sadar kalau hidup kita sehari-hari udah banyak “digiring” sama algoritma—mulai dari FYP TikTok, rekomendasi YouTube, sampai iklan yang tiba-tiba pas banget sama kebutuhan. Semua terasa praktis, tapi di balik itu ada pola yang pelan-pelan membentuk cara kita berpikir, memilih, bahkan menentukan arah hidup. Nah, di sinilah menariknya: apakah kita benar-benar hidup berdasarkan pilihan sadar, atau sekadar mengikuti arus algoritma tanpa refleksi?

FILSAFAT ANOMALI:  DAMPAK ALGORITMA PADA POLA HIDUP MODERN

Di ranah kehidupan modern, kita hidup seolah berada di dua dunia sekaligus: satu dunia nyata — dengan interaksi langsung, pilihan, ketidakpastian — dan satu dunia algoritmik — di mana keputusan, preferensi, dan kebiasaan kita “dibaca” dan diarahkan oleh sistem rekomendasi

Algoritma dibangun untuk memprediksi perilaku berdasarkan data historis — klik, “like,” durasi tonton, pola browsing — dan menawarkan konten yang dianggap paling sesuai dengan profil kita. Namun, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya deterministik. 

Di tengah prediksi algoritmik itu, muncul celah-celah — anomali — ketika seseorang mengambil langkah yang tidak dipetakan algoritma, memilih konten atau jalan hidup yang “di luar nalar data.”

Konsep anomali menjadi relevan: sesuatu yang menyimpang dari pola yang diharapkan. Tapi anomali di zaman algoritma bukanlah keganjilan acak semata; ia adalah bentuk resistensi atau kreativitas terhadap kerangka sistematis. Dan ironinya: sistem yang paling “rapi” — algoritma — bisa menciptakan ruang bagi ketidakpastian itu sendiri. Jika semua langkah manusia dapat diubah menjadi pola data, lalu bagaimana kita mempertahankan kebebasan memilih yang otentik?

Dalam artikel ini, aku akan menelaah bagaimana algoritma membentuk pola hidup kita saat ini, dimana letak titik retaknya — anomali — muncul, serta bagaimana praktik reflektif seperti journaling dapat membantu kita membangun kembali kesadaran diri agar tidak sepenuhnya terbawa oleh arus algoritma.

Algoritma Sebagai Mesin Pola Kehidupan Modern

Algoritma rekomendasi — di media sosial, aplikasi streaming, platform e-commerce, hingga sistem berita — bekerja dengan cara menyaring dan mengurutkan konten berdasarkan prediksi relevansi bagi pengguna. Sistem ini memang mampu mengurangi “beban kognitif” manusia dalam memilih dari lautan informasi, dengan menajamkan pilihan ke arah yang dianggap cocok (efisiensi kognitif). Namun, dalam proses itu, sistem juga cenderung memperkuat pola yang sudah ada (confirmation bias) dan menyempitkan ragam konten yang dihadirkan (fenomena filter bubble)

Dalam ranah psikologi-sosial, interaksi manusia-algoritma memiliki dinamika tertentu: semakin “sadar algoritma” seseorang, semakin kemungkinan ia akan “mengikuti” algoritma meskipun konten sebenarnya disajikan secara acak. Studi menunjukkan bahwa kesadaran terhadap algoritma dapat meningkatkan rasa kontrol internal dan kepatuhan algoritmik (algorithmic compliance) dalam konteks pencarian informasi. 

Di sisi lain, algoritma tidak netral: data latihnya dibentuk oleh preferensi manusia, bias historis, dan struktur sosial. Apa yang “diprediksi” seringkali memperkuat ketimpangan atau ketidakadilan — misalnya, memperkuat stereotip, diskriminasi terselubung, atau homogenitas pilihan. 

Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa sistem rekomendasi dapat memperkuat homogenitas perilaku pengguna dan menurunkan utilitas serta keanekaragaman konten (algorithmic confounding) ketika sistem terus-menerus belajar dari data rekomendasi sendiri. 

Dengan demikian, algoritma bisa dianggap sebagai mesin pola hidup — bukan hanya menyajikan apa yang kita sukai, tetapi juga membentuk dan memperkuat pola-pola preferensi, konsumsi, dan bahkan identitas.

Anomali di Tengah Arus Algoritmik

Jika algoritma menggerakkan kehidupan kita dengan pola, di sanalah muncul anomali: keputusan atau langkah yang tidak terprediksi oleh sistem. Anomali bisa muncul sebagai aktivitas kecil: memilih membaca jenis konten yang kontradiktif dengan preferensi “algoritmik” kita, atau mengungkap pemikiran yang jarang dibagikan. Dalam skala besar, anomali bisa menjadi inovasi sosial, perlawanan budaya, atau transformasi paradigmatik.

Kehidupan manusia nyata mengandung elemen tidak linear — emosi, intuisi, kekeliruan, dan lonjakan kreativitas.
 
Algoritma, bagaimanapun canggihnya, bekerja berdasarkan pola masa lalu, sehingga peristiwa yang benar-benar baru atau langkah yang menyimpang sulit diprediksi atau dikontrol oleh sistem. Ini adalah ujung dari ketidakpastian manusia yang tidak bisa dikurangi menjadi data belaka.

Dalam konteks sosial, anomali juga bisa mengambil bentuk resistensi sadar terhadap arus dominan algoritma — misalnya, pengguna yang memilih memutus algoritma (“semacam detox media sosial”), atau komunitas yang membentuk ruang alternatif di luar logika platform mainstream. Ini menjadi manifestasi dari “keretakan” di struktur teknis yang tampak kokoh.

Anomali bukan hanya gangguan, melainkan sinyal bahwa manusia masih punya ruang kreatif. Ia bukan kegagalan sistem; ia adalah jendela kebebasan manusia dalam dunia yang semakin dihuni algoritma.

Dampak Algoritma terhadap Kehidupan Sosial dan Psikologis

Algoritma tak hanya berlaku di layar; pengaruhnya merembet ke aspek nyata kehidupan: pekerjaan, pendidikan, kesehatan, hubungan sosial, bahkan kebijakan publik. Misalnya, algoritma pengambilan keputusan (algorithmic decision-making) dalam sistem perbankan, seleksi kerja, dan sistem penilaian kredit. Persepsi keadilan sistem tersebut dipengaruhi tidak hanya hasil algoritma, tetapi juga transparansi model, prosedur pembangunan, dan sifat individu pengguna. 

Di ranah sosial media, algoritma dapat memperkuat polarisasi atau fragmentasi ide melalui mekanisme filter bubble dan echo chamber — yaitu membatasi paparan pengguna terhadap perspektif yang berbeda dari yang sudah mereka sukai. 

Secara neuropsikologis, paparan terus-menerus terhadap konten emosional dan konten algoritmis dirancang untuk memicu pusat reward otak (misalnya sistem dopamin) dapat memicu perilaku “ketergantungan” terhadap media sosial. Pada remaja dan pengguna berat, hal ini bisa memengaruhi regulasi emosi, perhatian, dan pengambilan keputusan. 

Dengan demikian, algoritma tak sekadar membentuk konsumsi konten; ia turut menyusun pola kehidupan sosial dan neurologis kita. Anomali muncul ketika pola-pola ini ditantang atau tidak sejalan dengan dorongan eksistensial manusia.

Cara Melawan Arus Algoritma

Menyadari dominasi algoritma bukan berarti kita harus menolaknya sepenuhnya. Malah sebaliknya: dengan praktik reflektif seperti journaling kita bisa mempertahankan keseimbangan antara arus digital dan ruang batin manusia. 

Dengan merekam pikiran, keputusan, dan konflik kita sehari-hari, journaling menjadi alat kesadaran diri — untuk menanggapi: “Apakah keputusan ini muncul dari hati, atau dari algoritma?”

Beberapa pertanyaan jurnal yang bisa kamu catat secara rutin:
  • Konten terakhir yang saya konsumsi — apakah aku benar-benar memilihnya, atau hanya “terseret” oleh algoritma?
  • Keputusan penting yang saya buat — sejauh mana informasi yang aku terima di media sosial memengaruhi pilihan itu?
  • Apakah saya masih bisa membedakan antara suara hati / intuisi dengan suara algoritma / tren viral?
  • Kapan saya memilih keluar dari arus (scrolling, rekomendasi, tren) dan melakukan sesuatu yang “tidak biasa”?

Dengan refleksi yang reguler, kita bisa membangun kecakapan kesadaran algoritmik yaitu kemampuan mengenali ketika kita “tertangkap pola,” lalu memilih untuk menjeda, mengalihkan, atau melakukan jalan sendiri. Dalam prosesnya, kita menciptakan anomali pribadi — langkah-langkah yang tidak dipetakan oleh data, tapi lahir dari kesadaran dan tanggung jawab eksistensial.

Jika kita konsisten dengan refleksi ini, maka keputusan hidup kita tidak lagi semata-mata reaktif terhadap apa yang viral atau direkomendasikan, melainkan lahir dari pemikiran yang sadar, diperkaya renungan pribadi. Itulah bentuk manusia yang otentik di tengah dominasi algoritma: bukan korban data, melainkan subjek yang cermat dan mandiri. 

Dengan konteks inilah saya memahami mengapa sering kali tulisan-tulisan saya tidak mengikuti tren atau sekadar menempel pada isu viral yang sedang ramai dibicarakan. Saya lebih memilih berjalan di jalur yang mungkin terlihat sepi, menulis topik yang jarang disentuh atau bahkan belum dianggap relevan pada masanya. 

Terkadang, sebelum sebuah isu menjadi ramai, saya sudah lebih dulu menuliskannya, bukan untuk mengejar momen, melainkan karena dorongan refleksi pribadi. Inilah bentuk anomali yang saya ciptakan: memilih untuk tetap otentik, tidak larut dalam arus gosip selebritas atau isu instan, melainkan menggali sesuatu yang memiliki makna jangka panjang.

Dengan begitu, tanggung jawab penuh atas keputusan itu ada di tangan kita sendiri, dan kita pun lebih mampu menyaring mana hal yang bermanfaat serta mana yang hanya membuang energi. Kesadaran inilah yang menjadi benteng agar kita tidak mudah terjebak dalam pusaran algoritma yang seringkali menyesatkan.

Posting Komentar

0 Komentar