بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 4 Oktober 2025.
Pernahkah kamu merasa sudah bekerja keras setiap hari, tapi hati tetap gelisah dan hidup terasa tidak pernah cukup? Saya pun pernah ada di fase itu—fase di mana kesadaran akan kehadiran Allah dalam keseharian begitu tipis, dan semua hal tentang rezeki kuanggap semata hasil dari kerja keras manusia.
TADABBUR QURAN: AL GHASYIYAH 1-3
Allah SWT membuka Surah Al-Ghāsyiyah dengan kalimat yang menggugah, “Hal atāka ḥadīṡul ghāsyiyah” —“Sudahkah sampai kepadamu berita tentang (hari) yang meliputi?” Lalu Allah melanjutkan, “(Wajah-wajah) pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan.”
Ayat ini membawa pesan mendalam tentang manusia-manusia yang menghabiskan hidupnya untuk bekerja tanpa arah spiritual. Mereka begitu sibuk di dunia, namun hasil jerih payahnya tidak membawa ketenangan, karena niat dan arah hidupnya menjauh dari Allah SWT.
Jika kita renungkan, ayat ini bukan sekadar gambaran tentang akhirat. Ia juga mencerminkan kondisi manusia di dunia modern — kelelahan, ambisi tanpa ujung, dan kehilangan makna dalam bekerja. Banyak dari kita yang setiap hari berjuang mati-matian, tapi di malam hari tetap gelisah. Bukan karena kurang uang, melainkan karena kehilangan rasa keberkahan. Maka, “lesu dan kepayahan” di sini bisa menjadi cerminan batin yang kering dari dzikir dan kesadaran ilahi.
Ayat ini seperti cermin yang memantulkan wajah kita di tengah hiruk pikuk kehidupan. Ia mengingatkan bahwa kerja keras tanpa arah spiritual bisa menjadikan kita seperti “pekerja yang kehilangan rumahnya”. Kita berlari, tapi tak tahu ke mana. Kita berjuang, tapi kehilangan makna. Dan di situlah tadabbur ini menjadi pintu masuk untuk menata ulang relasi kita dengan pekerjaan, rezeki, dan rasa cukup.
Wajah yang Lelah: Gambaran Dunia dan Akhirat
Allah SWT berfirman:“Sudahkah sampai kepadamu berita tentang (wajah-wajah) yang tertunduk lesu, bekerja keras lagi kepayahan?”(QS. Al-Ghāsyiyah: 1–3)
Menurut Tafsir Ringkas Kemenag, ayat ini menggambarkan raut wajah manusia yang kusut dan letih, seolah menanggung beban berat akibat kerja keras yang tak berujung. Wajah-wajah itu bukan hanya lelah secara fisik, tapi juga menggambarkan penderitaan batin karena kehilangan arah hidup.
Sementara dalam Tafsir Tahlili, dijelaskan bahwa orang-orang kafir dahulu bekerja keras di dunia — penuh kesungguhan dan perjuangan — namun amal mereka tidak diterima karena tidak disertai iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain, kerja keras yang tidak berpijak pada keyakinan hanya berakhir menjadi kesia-siaan.
Refleksi ini terasa sangat dekat dengan kehidupan modern. Banyak dari kita yang hidup di bawah tekanan “produktif setiap saat”. Kita bekerja tanpa henti demi status, angka, dan kestabilan finansial, tapi sering lupa pada tujuan hakiki di balik semua itu.
Saat iman tidak lagi menjadi fondasi, kerja keras bisa berubah menjadi jerat yang membuat kita kehilangan rasa syukur. Maka, ayat ini seperti menampar lembut hati kita — bahwa kelelahan sejati bukan dari pekerjaan yang berat, tapi dari hidup yang kehilangan makna ibadah di dalamnya.
Jika di dunia wajah-wajah itu tampak letih karena ambisi yang tak selesai, maka di akhirat, seperti dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas), mereka akan menghadapi lelah yang lebih berat. Ibnu Katsir menafsirkan bahwa “bekerja keras lagi kepayahan” menggambarkan orang-orang yang banyak beramal di dunia, tapi amal itu tidak diterima karena dilakukan bukan untuk Allah.
Bahkan disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam neraka yang sangat panas. Sebagian ulama seperti Ibnu Abbas dan Qatadah menafsirkan bahwa yang dimaksud termasuk orang-orang Nasrani dan mereka yang tekun dalam kemaksiatan, tapi tidak beriman. Maka, kelelahan mereka di dunia berlanjut menjadi penderitaan di akhirat.
Lelah yang Tak Berbuah Berkah
Tafsir Ibnu Katsir menambahkan, “bekerja keras lagi kepayahan” bukan hanya menggambarkan kerja duniawi, tapi juga kesungguhan yang salah arah. Ada yang rajin beribadah, tapi tujuannya bukan Allah. Ada pula yang tekun bekerja, tapi caranya tidak diridhai-Nya. Semua energi itu habis, namun tak menghasilkan keberkahan. Bahkan Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa di akhirat mereka akan diberi minum dari sumber yang sangat panas dan makanan dari pohon berduri yang tidak mengenyangkan. Ini adalah simbol penderitaan batin akibat hilangnya nilai iman dalam setiap perbuatan.
Jika kita tarik ke konteks kehidupan, ayat ini mengajarkan tentang niat dan orientasi. Ada orang yang tampak sibuk dan rajin, namun hatinya jauh dari rasa syukur dan ketenangan. Sebaliknya, ada pula yang mungkin penghasilannya sedikit, tapi hidupnya terasa lapang.
Dalam pengalaman pribadiku, saat aku mulai menyisihkan sebagian rezeki untuk sedekah, justru rasa cukup itu tumbuh — padahal secara logika pendapatan berkurang. Di situ aku belajar bahwa berkah bukan tentang angka, tapi tentang ridha. Allah-lah yang melapangkan hati dan mencukupkan kebutuhan kita dengan cara yang tak selalu bisa dijelaskan.
Melalui ayat ini, Allah seolah ingin menyadarkan bahwa manusia bisa terjebak dalam ilusi kerja keras yang hampa. Kita mungkin tampak sibuk, tapi jika kesibukan itu membuat hati menjauh dari Allah, maka hasilnya hanya kepayahan yang tidak berbuah manis. Namun ketika kita bekerja dengan niat ibadah — mencari ridha dan keberkahan — maka setiap langkah menjadi ringan, setiap hasil membawa ketenangan.
Inilah pelajaran yang membuat QS. Al-Ghāsyiyah ayat 3 bukan sekadar kisah tentang orang kafir, tapi juga peringatan lembut bagi siapa pun yang hidup di zaman serba cepat ini: jangan sampai kita menjadi pekerja keras yang kehilangan arah surga.
Saat Kesadaran Spiritual Masih Setipis Tisu
Ada masa ketika saya merasa hidup ini sepenuhnya bergantung pada kemampuan diri sendiri. Saya bekerja keras setiap hari dengan keyakinan bahwa hanya usaha yang menentukan hasil. Dalam logika saya waktu itu, semakin banyak bekerja berarti semakin besar peluang untuk bertahan di kota besar. Namun seiring waktu, saya justru mendapati diri saya semakin lelah, cemas, dan merasa tidak pernah cukup, berapa pun besar penghasilan yang saya dapatkan.Lalu Allah membukakan jalan lembut untuk mengubah cara pandang saya — melalui perintah untuk bersedekah. Saya mulai menyisihkan sebagian kecil dari pendapatan di awal, bukan di sisa akhir. Awalnya berat, bahkan terasa tidak masuk akal. Tapi justru di situ keajaiban dimulai. Dalam hitungan bulan, saya merasakan rasa cukup yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Ada ketenangan, ada keberkahan yang sulit dijelaskan oleh logika.
Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa rasa cukup bukan datang dari banyaknya uang, tapi dari hadirnya Allah dalam proses mencari rezeki. Ketika kita menempatkan-Nya di awal, bukan di akhir, maka yang semula terasa sempit menjadi lapang. Dan di titik itu, saya menyadari bahwa bekerja bukan sekadar soal bertahan hidup — tapi tentang menumbuhkan keimanan melalui prosesnya.
Rasa Cukup Datang dari Jalan yang Diberkahi
Di sisi lain, saya juga belajar dari kehidupan orang lain yang saya kenal. Mereka yang secara materi jauh lebih mapan, namun setiap hari dipenuhi keluhan. Dari luar tampak berlimpah, tapi dari dalam seperti kehausan yang tak pernah terpuaskan. Ketika saya mulai memperhatikan lebih dalam, saya melihat bahwa cara mereka memperoleh rezeki sering kali mengabaikan kehalalan dan keridhaan Allah. Mereka hanya mengejar hasil tanpa peduli pada prosesnya.Yang menarik, semakin besar penghasilan mereka, justru semakin cepat pula uang itu hilang. Ada saja pengeluaran tak terduga, kebiasaan konsumtif, atau kehilangan yang tidak jelas sebabnya. Seolah keberkahan menolak untuk tinggal lama di tangan mereka. Dan saya mulai memahami bahwa rezeki yang datang tanpa ridha Allah hanyalah angka, bukan berkah. Ia bisa memenuhi dompet, tapi tidak akan menenangkan hati.
Dari situ saya merenung: mungkin yang membuat seseorang benar-benar kaya bukanlah jumlah uang yang ia punya, tapi rasa syukur dan rasa cukup yang Allah tanamkan dalam hatinya. Ketika rezeki dicari dengan cara yang benar, ia membawa kedamaian. Tapi ketika dicari dengan cara yang salah, ia membawa kegelisahan. Dan kegelisahan itu\adalah bentuk “kepayahan” yang sesungguhnya.
Ketika Syukur Menjadi Nafas Kehidupan
Akhirnya saya memahami bahwa bekerja bukan hanya tentang mencari penghasilan, tapi juga tentang menguji niat dan menumbuhkan takwa. Jika sumber rezeki kita bersih, maka setiap rupiah membawa keberkahan. Namun jika diperoleh dengan cara yang melanggar, maka keberkahan itu akan sirna — bahkan sebelum uangnya digunakan. Dan hilangnya keberkahan itulah yang sering membuat kita gelisah, meski secara materi kita tampak cukup.Rasa syukur ternyata bukan sekadar ucapan “alhamdulillah”, tapi kondisi batin yang muncul ketika hati bersih dari keserakahan. Ketika hati merasa cukup, maka sedikit pun terasa banyak. Namun jika hati dikuasai oleh keinginan tanpa kendali, sebanyak apa pun tidak akan cukup. Di sinilah saya belajar bahwa ketenangan adalah buah dari takwa — bukan dari kerja keras semata.
Ayat ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukan milik mereka yang paling kaya atau paling sibuk, melainkan milik mereka yang paling tenang karena yakin Allah-lah yang mencukupi. Maka, dalam setiap langkah mencari rezeki, mari hadirkan Allah di tengahnya. Karena hanya dengan begitu, kerja keras kita tidak berubah menjadi kepayahan, tapi menjadi ibadah yang penuh berkah.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏