بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 16 Agustus 2025.
Hari ini saya merenungkan kembali tentang tema iman yang kemarin saya catat, terutama yang berkaitan dengan rezeki. QS. Hud ayat 6 kembali mengingatkan saya pada janji Allah SWT bahwa setiap makhluk yang bernyawa sudah dijamin rezekinya.
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang manusia, tetapi seluruh ciptaan Allah yang hidup di bumi, mulai dari hewan-hewan kecil hingga manusia yang berpikir. Itu membuat saya merasa takjub, betapa luas dan mendalam kasih sayang Allah terhadap seluruh makhluk-Nya.
TADABBUR QURAN: HUD 6
Namun, kenyataannya, sering kali saya sendiri masih terjebak dalam rasa takut. Takut kalau-kalau rezeki saya tidak cukup, takut bila masa depan akan terasa suram. Padahal, rasa takut itu justru menunjukkan bahwa saya masih sering lupa pada jaminan Allah. Saya menyadari, tadabbur ayat ini bukan sekadar untuk menenangkan hati, tetapi juga mengajarkan cara berpikir dan cara beriman. Bahwa rezeki itu bukan hanya soal materi, melainkan juga ketenangan jiwa, kesehatan, ilmu, dan kesempatan hidup yang Allah hadirkan setiap hari.1. Jaminan Allah atas Rezeki
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:۞ وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍTidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.350) Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauhulmahfuz).
QS. Hud ayat 6 menegaskan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang terabaikan dari rezeki Allah. Janji ini bersifat pasti, tidak mungkin ada yang tertinggal. Saat saya merenung, janji ini seharusnya menjadi pondasi keyakinan saya dalam menjalani kehidupan. Allah yang menciptakan saya, maka tentu Allah pula yang menjamin kebutuhan saya. Ketika hati saya mulai goyah, saya berusaha mengingat hal ini agar bisa kembali tenang.
Kadang saya berpikir, bagaimana mungkin Allah memberi rezeki pada jutaan makhluk yang hidup di bumi dalam satu waktu? Tetapi justru keheranan itu membuat saya sadar, bahwa keterbatasan logika saya tidak mampu menjangkau keluasan kekuasaan Allah. Justru karena itulah iman menjadi penting: percaya pada janji Allah meski mata tidak bisa melihat semua jalannya. Rezeki yang datang bukan semata dari usaha saya, melainkan dari kasih sayang Allah yang tak terhingga.
Jaminan ini juga menuntun saya untuk belajar mensyukuri apa pun bentuk rezeki yang Allah hadirkan. Mungkin jumlahnya tidak selalu besar atau sesuai keinginan saya, tetapi selalu cukup. Ketika saya belajar melihat dengan kacamata syukur, saya mulai bisa memahami bahwa janji Allah itu nyata. Bahkan sering kali rezeki hadir dalam bentuk kejutan yang tidak saya sangka, dan itu semakin memperkuat iman saya.
2. Ikhtiar dan Tawakal
Meskipun Allah sudah menjamin rezeki, saya juga tidak bisa hanya berdiam diri. Ada rezeki yang memang datang tanpa diduga, tetapi ada juga rezeki yang harus dijemput dengan usaha. Inilah pentingnya ikhtiar. Allah memberi saya akal, tenaga, dan kesempatan agar saya bisa bergerak mencari rezeki dengan cara yang halal dan benar. Justru dengan berikhtiar, saya sedang menunjukkan rasa syukur sekaligus kepatuhan pada aturan-Nya.Namun, setelah berusaha, saya juga harus belajar bertawakal. Tawakal berarti menyerahkan hasil sepenuhnya pada Allah setelah saya melakukan bagian saya. Tidak semua usaha saya akan berhasil, dan tidak semua rencana saya berjalan lancar. Tetapi dengan tawakal, saya bisa menerima hasilnya tanpa terbebani rasa kecewa berlebihan. Saya yakin, kalaupun hasil tidak sesuai dengan harapan saya, pasti ada kebaikan lain yang Allah sembunyikan.
Ikhtiar dan tawakal ibarat dua sayap yang menuntun saya agar tetap seimbang dalam mencari rezeki. Jika saya hanya berikhtiar tanpa tawakal, hati saya akan mudah gelisah. Sebaliknya, jika hanya bertawakal tanpa berusaha, maka saya terjebak dalam kemalasan. Maka tadabbur ayat ini mengajarkan saya bahwa keduanya harus berjalan beriringan agar hati tetap tenang dan rezeki yang saya dapat membawa berkah.
3. Rezeki yang Tidak Menenangkan
Di sisi lain, saya juga sering melihat orang-orang yang tampak hidupnya mudah dalam urusan rezeki, meski jalannya berasal dari sesuatu yang tidak baik. Sekilas mereka tampak berhasil, namun bila diperhatikan lebih dalam, sering kali ada ketidaktenangan dalam diri mereka. Entah itu sifat yang semakin keras, hati yang jauh dari Allah, atau keluarga yang tidak harmonis. Hal ini membuat saya merenung: ternyata tidak semua rezeki itu membawa ketenteraman.Saya pun jadi bertanya pada diri sendiri, apakah rezeki yang saya cari sudah melalui jalan yang benar? Apakah saya lebih mengutamakan keberkahan atau hanya sekadar jumlah? Tadabbur ayat ini membuat saya berhati-hati, karena rezeki yang tidak disertai keberkahan justru bisa menjadi ujian atau bahkan petaka. Ketenangan hati bukan berasal dari banyaknya harta, melainkan dari rasa syukur dan kedekatan dengan Allah.
Akhirnya saya menyadari, rezeki sejati adalah rezeki yang menenangkan hati. Meski jumlahnya sedikit, jika ada keberkahan di dalamnya, maka hidup akan terasa cukup. Sebaliknya, rezeki yang banyak tetapi diperoleh dari jalan yang salah hanya menambah beban dan kekhawatiran. Ayat ini membuat saya semakin yakin bahwa yang saya butuhkan bukan sekadar rezeki dalam arti materi, tetapi rezeki yang mendekatkan saya kepada Allah.
4. Fitrah dan Keseimbangan dalam Rezeki
Dalam Tafsir Ringkas Kemenag dan Tafsir Tahlili, dijelaskan bahwa setiap makhluk hidup diberikan naluri dan kemampuan untuk mencari rezekinya sesuai dengan fitrah penciptaannya. Hewan-hewan yang melata, merayap, atau berjalan dengan kaki mereka tidak pernah keluar dari aturan yang Allah tetapkan.Ada yang menjadi pemangsa, ada yang menjadi mangsa, dan semua itu berjalan dalam satu sistem keseimbangan. Dari sini saya belajar bahwa rezeki bukan hanya tentang “menerima,” tetapi juga tentang “mengalir” dalam keteraturan ciptaan Allah.
Jika saya kaitkan dengan kehidupan manusia, maka fitrah ini sejatinya juga berlaku pada saya. Allah sudah memberi akal, keterampilan, dan jalan agar saya bisa menjemput rezeki. Ketika saya keluar dari fitrah itu, misalnya dengan jalan yang haram atau curang, saya justru sedang merusak keseimbangan yang Allah ciptakan. Maka tak heran bila kerusakan sosial sering kali terjadi karena manusia melawan aturan fitrah ini.
Menariknya, para mufassir menegaskan bahwa jaminan Allah ini tidak pernah absen, bahkan sejak makhluk masih berada di perut induknya hingga ia mati. Mujahid, salah satu murid Ibnu Abbas, menafsirkan bahwa Allah mengetahui “tempat berdiam” makhluk itu ketika masih berada di rahim, dan “tempat penyimpanannya” ketika ia sudah mati. Ini membuat saya semakin yakin, bahwa setiap perjalanan hidup saya, dari awal hingga akhir, sudah ditentukan rezekinya. Maka rasa khawatir yang berlebihan sebenarnya tidak ada manfaatnya.
Jika saya kaitkan dengan kehidupan manusia, maka fitrah ini sejatinya juga berlaku pada saya. Allah sudah memberi akal, keterampilan, dan jalan agar saya bisa menjemput rezeki. Ketika saya keluar dari fitrah itu, misalnya dengan jalan yang haram atau curang, saya justru sedang merusak keseimbangan yang Allah ciptakan. Maka tak heran bila kerusakan sosial sering kali terjadi karena manusia melawan aturan fitrah ini.
Menariknya, para mufassir menegaskan bahwa jaminan Allah ini tidak pernah absen, bahkan sejak makhluk masih berada di perut induknya hingga ia mati. Mujahid, salah satu murid Ibnu Abbas, menafsirkan bahwa Allah mengetahui “tempat berdiam” makhluk itu ketika masih berada di rahim, dan “tempat penyimpanannya” ketika ia sudah mati. Ini membuat saya semakin yakin, bahwa setiap perjalanan hidup saya, dari awal hingga akhir, sudah ditentukan rezekinya. Maka rasa khawatir yang berlebihan sebenarnya tidak ada manfaatnya.
5. Takut akan Rezeki dan Ajal: Sebuah Bisikan
Dalam Tafsir Li Yaddabbaru Ayatih, ayat ini ditegaskan kembali sebagai bantahan terhadap rasa takut miskin. Allah berfirman, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” Rasa takut miskin, rupanya hanyalah bisikan syaitan yang membuat hati manusia ragu pada janji Allah. Bahkan, terkadang syaitan menakut-nakuti manusia dengan bayangan kematian, padahal ajal sudah ditetapkan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-A’raf: 34.Saya pribadi sering merasakan bisikan itu. Ketika hendak memulai sesuatu, rasa takut gagal dan miskin tiba-tiba muncul begitu saja. Namun tadabbur ayat ini mengingatkan saya untuk melawannya dengan keyakinan pada ketentuan Allah. Jika rezeki sudah ditetapkan, maka tidak ada yang bisa mengambilnya. Demikian pula dengan ajal, tidak ada satu detik pun yang bisa dimajukan atau diundur. Keyakinan ini seharusnya membuat saya lebih tenang dalam melangkah.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan bahwa Allah mengetahui tempat hidup dan mati setiap makhluk, bahkan yang paling kecil sekali pun. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa “tempat berdiam” merujuk pada kondisi hidup makhluk, sementara “tempat penyimpanan” adalah saat ia mati. Mujahid menambahkan bahwa itu juga bisa berarti dalam rahim dan sulbi. Semua itu sudah tercatat dalam Lauh Mahfuz. Jadi, ketika saya khawatir berlebihan akan rezeki dan kehidupan, sejatinya saya sedang meragukan catatan Allah yang sudah lengkap dan sempurna.
Refleksi Diri
Tadabbur QS. Hud ayat 6 hari ini membuat saya kembali menata hati. Dari jaminan Allah atas rezeki, pentingnya ikhtiar dan tawakal, hingga kesadaran bahwa tidak semua rezeki membawa ketenangan, semuanya memberi pelajaran berharga. Tafsir para ulama juga membuka wawasan saya bahwa rezeki adalah bagian dari keseimbangan hidup makhluk dan sudah tercatat di Lauh Mahfuz, termasuk rezeki saya sendiri.
Saya ingin menjadikan ayat ini sebagai cermin bagi diri saya. Bahwa rasa takut miskin atau cemas akan masa depan sejatinya hanyalah bisikan yang tidak ada nilainya. Allah sudah menjamin rezeki setiap makhluk, dari sejak dalam rahim hingga kembali kepada-Nya.
Maka yang perlu saya lakukan hanyalah berikhtiar dengan jujur, bertawakal dengan penuh keyakinan, dan berdoa agar rezeki yang saya terima senantiasa penuh keberkahan. Pada akhirnya, kecukupan itu bukan diukur dari jumlah, tetapi dari ketenangan hati yang Allah karuniakan.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏