بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 17 Agustus 2025.
"Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah." ~ QS. Al Baqarah 172
Ada momen dalam hidup ketika kita merasa telah mendapatkan sesuatu yang baik, namun ternyata di baliknya terselip ujian besar. Rezeki, dalam pandangan manusia, seringkali hanya dilihat dari jumlah dan keberhasilannya. Tetapi Allah SWT menegaskan dalam ayat ini bahwa rezeki terbaik adalah yang thayyib, yang baik, bersih, halal, dan diridhai-Nya. Bukan sekadar apa yang terlihat menguntungkan di mata manusia.
TADABBUR QURAN: AL BAQARAH 172
Saya pribadi pernah mengalami masa ketika rezeki yang datang justru membawa rasa gelisah, bukan ketenangan. Saat itu saya berpikir bahwa proyek yang berjalan lancar adalah bentuk pertolongan Allah, padahal ternyata itu adalah ujian besar untuk menguji kesungguhan saya: apakah saya rela menerima dengan cara-cara yang dilarang, atau saya berani menolaknya demi menjaga amanah iman?1. Ujian Rezeki yang Tidak Thayyib
Suatu hari, saya ditawari cara memperoleh penghasilan lebih besar, namun dengan jalan yang Allah larang. Awalnya, saya merasa itu bukan masalah, apalagi saya sudah berdoa sebelumnya. Saya kira, dengan doa itu, berarti jalan yang saya tempuh mendapat restu. Tetapi kenyataannya berbeda. Ketika proyek itu selesai dan saya menerima “bagian” yang dijanjikan, hati saya dipenuhi rasa takut, cemas, dan bersalah yang tak bisa saya bendung.Saat itulah saya sadar, bahwa sesuatu yang tampak menguntungkan tidak selalu berarti rezeki yang diberkahi. Justru ada beban besar di baliknya, yang membuat hati menjadi sempit dan hidup terasa berat. Saya akhirnya memutuskan untuk tidak menggunakan uang itu sama sekali, bahkan mengembalikannya. Keputusan itu membawa perasaan lega meski sebelumnya dihantui kegelisahan.
Pengalaman itu menegaskan satu hal penting: rezeki yang diperoleh dengan cara batil, walaupun banyak, tidak pernah membawa ketenangan. Sebaliknya, justru menjadi sumber ujian yang bisa menjerumuskan kita pada kebinasaan hati.
2. Dosa Sebagai Titik Balik
Setelah kejadian itu, seolah Allah menyingkap satu per satu kesalahan saya di masa lalu. Hal-hal yang dulu saya anggap biasa, ternyata adalah bentuk maksiat yang nyata. Hati saya seperti dipaksa untuk bercermin pada diri sendiri, menonton ulang film kehidupan saya, lalu menyadari betapa banyak kelalaian yang pernah saya lakukan.Namun, dari rasa takut itu justru muncul dorongan kuat untuk kembali kepada Allah. Saya teringat sebuah kajian—entah dari Mufti Menk atau almarhum Buya Syakur—bahwa terkadang dosa justru menjadi jalan kembali seorang hamba kepada Tuhannya. Karena dosa itu, seorang hamba terdorong untuk bertaubat, mencari ampunan, dan berusaha memperbaiki diri.
Mendengar nasihat itu, hati saya merasa sedikit tenang. Harapan saya akan pengampunan Allah tumbuh semakin besar. Saya pun mulai melakukan muhasabah mendalam, memperbaiki mindset, dan berusaha mengamalkan perubahan nyata dalam keseharian. Dosa yang pernah saya lakukan menjadi pelajaran berharga sekaligus pintu untuk semakin dekat kepada-Nya.
3. Ketenangan Rezeki Halal
Sejak saat itu, saya lebih berhati-hati dalam mencari dan mengelola rezeki. Tidak hanya dalam menghindari cara-cara curang, tetapi juga dalam hal menjaga amanah. Rezeki halal, meskipun jumlahnya lebih kecil, terasa jauh lebih ringan dijalani. Ada ketenangan dalam hati, ada keyakinan bahwa Allah pasti mencukupkan di waktu yang tepat.Kehati-hatian itu juga berdampak pada cara saya membelanjakan dan mengelola pendapatan. Saya tidak lagi sekadar berpikir tentang berapa banyak yang bisa saya dapatkan, melainkan bagaimana agar apa yang saya terima benar-benar bermanfaat dan tidak mendatangkan dosa. Dalam proses itu, saya merasakan nikmat yang tidak ternilai: ketenangan batin.
4. Perintah Bagi Mukmin
Dalam Tafsir Ringkas Kemenag dijelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan orang-orang beriman untuk makan dari rezeki yang baik (thayyib), yakni yang sehat, aman, dan halal melalui usaha yang benar. Perintah ini tidak hanya soal konsumsi fisik, tetapi juga mencakup cara memperolehnya agar sesuai dengan aturan Allah. Karena itulah, syarat penting setelah memakan rezeki halal adalah bersyukur, dengan mengakui bahwa semua nikmat berasal dari Allah dan wajib digunakan sesuai ketentuan-Nya.
Tafsir Tahlili menegaskan perbedaan konteks antara ayat 168 dan 172. Ayat 168 ditujukan kepada seluruh manusia, sehingga diiringi larangan mengikuti setan. Sedangkan ayat 172 secara khusus ditujukan kepada orang-orang beriman agar mereka menjaga diri dari rezeki yang haram dan meneguhkan rasa syukur. Artinya, semakin tinggi keimanan seseorang, semakin besar pula tanggung jawabnya dalam memastikan makanan dan rezekinya halal.
Dalam Tafsir Aisarut Tafasir, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi mengingatkan bahwa ayat ini muncul setelah Allah menceritakan kebiasaan orang-orang musyrik Arab jahiliyah yang mengharamkan hewan-hewan tertentu atas dasar tradisi, seperti saaibah, haam, dan bahiirah. Karena itu, Allah menegaskan kembali perintah-Nya kepada orang-orang beriman agar tidak terjerumus dalam kebiasaan syirik dan bid’ah kaum musyrikin, melainkan tetap bersyukur dengan memakan yang halal, memuji Allah, serta tidak menggunakan nikmat-Nya dalam kemaksiatan.
5. Makanan Halal sebagai Jalan Doa dan Ibadah Diterima
Dalam Tafsir Ibnu Katsir (Ringkas), ayat ini dikaitkan dengan ayat berikutnya (173–174) untuk menegaskan bahwa makanan halal menjadi sebab diterimanya doa dan ibadah. Ibnu Katsir mengutip hadits sahih dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik.” Beliau mencontohkan seorang musafir yang berdoa dalam keadaan penuh kesulitan, namun makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram. Maka, bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?
Selain itu, Ibnu Katsir mengaitkan perintah ini dengan syariat halal-haram terkait makanan. Allah hanya mengharamkan beberapa hal secara jelas, seperti bangkai, darah, daging babi, serta hewan yang disembelih untuk selain Allah. Namun, Allah juga memberikan keringanan (rukhsah) bagi hamba yang dalam keadaan terpaksa, tanpa keinginan dan tidak melampaui batas, sebagaimana ditegaskan oleh para tabi’in seperti Mujahid, Sa’id bin Jubair, Qatadah, dan Muqatil bin Hayyan. Hal ini menunjukkan kasih sayang Allah yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Riwayat sejarah dari para sahabat juga menjadi rujukan dalam tafsir ini. Misalnya, hadits tentang laut yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i, Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad-Daruquthni: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” Bahkan, para ulama berbeda pendapat tentang susu, telur, atau cairan dari hewan bangkai. Imam Syafi’i menganggapnya najis, sementara Imam Malik dalam salah satu riwayat berpendapat sebaliknya. Perbedaan ini menunjukkan keluasan khazanah fiqih Islam dalam memahami ketentuan halal-haram makanan.
Dengan demikian, QS. Al-Baqarah: 172 bukan sekadar perintah makan dan bersyukur, tetapi juga fondasi akhlak dan ibadah. Makanan halal menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sementara makanan haram bisa menghalangi doa dan amal. Ayat ini lahir dalam konteks penyucian praktik syirik jahiliyah, sekaligus menegaskan standar hidup bersih, halal, dan penuh syukur bagi umat Islam.
Dari sini saya belajar bahwa berkah rezeki tidak selalu terletak pada banyaknya jumlah, tetapi pada keberkahan dan rasa cukup yang Allah titipkan. Rezeki yang halal membuat hidup lebih tenteram, membuat langkah lebih ringan, dan menumbuhkan rasa syukur setiap hari.
Hari ini saya semakin paham bahwa rezeki yang baik bukanlah rezeki yang besar jumlahnya, melainkan yang datang dengan cara halal dan bersih dari kecurangan. Karena hanya dengan cara itu, hati bisa merasa tenang, dan hidup terasa penuh dengan keberkahan.
Pelajaran dari masa lalu itu terus saya bawa sampai sekarang. Bahwa Allah tidak hanya menjamin rezeki bagi semua makhluk-Nya, tetapi juga mengajarkan kita untuk memilih jalan yang benar dalam meraihnya. Dan di situlah letak ujian sejati: apakah kita mengejar angka semata, atau memilih keberkahan yang menenangkan jiwa.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏