TADABBUR QURAN: AS SAFF 10-11

TADABBUR QURAN: AS SAFF 10-11

Hai pencari cahaya! ✨🌝

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 15 Agustus 2025. 

Ketika membaca QS. As-Saff ayat 10–11, saya merasa Allah sedang berbicara langsung kepada saya: “Maukah Aku tunjukkan perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?” Sekilas, pikiran saya langsung mengarah pada siksa akhirat. 

Namun setelah direnungkan lebih dalam, saya mulai menyadari bahwa “azab yang pedih” itu juga bisa kita alami di dunia. Bentuknya adalah penderitaan, kebuntuan, atau rasa sakit hati akibat konsekuensi dari perbuatan kita di masa lalu. Bedanya, di dunia, rasa pedih itu bisa menjadi pelajaran, sedangkan di akhirat ia menjadi hukuman yang kekal.

TADABBUR QURAN: AS SAFF 10-11 

Dunia ini sejatinya adalah sekolah kehidupan. Setiap peristiwa yang kita alami adalah “materi pelajaran” dari Allah. Bagi orang beriman, ujian justru menjadi ruang untuk bertumbuh, mengambil hikmah, dan mendekat pada-Nya. 

Namun bagi orang yang ingkar, ujian terasa seperti penderitaan tanpa ujung, karena mereka kehilangan pegangan. Dari sini saya semakin sadar, bahwa kunci untuk terhindar dari “azab” versi dunia ini adalah dengan benar-benar hidup dalam iman, bukan sekadar mengucapkannya di lisan.
 

Azab yang Pedih Bisa Dimulai di Dunia


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا هَلْ اَدُلُّكُمْ عَلٰى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُمْ مِّنْ عَذَابٍ اَلِيْمٍ 

Wahai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang (dapat) menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?

Aṣ-Ṣaff [61]:10

Kita sering memandang “azab” hanya sebagai siksaan di akhirat, padahal di dunia pun kita bisa merasakannya. Misalnya, rasa gelisah yang terus menghantui, hati yang tidak tenang, atau masalah yang tak kunjung selesai. Ini adalah bentuk penderitaan yang sangat menyiksa batin. Terkadang penyebabnya adalah perbuatan kita sendiri di masa lalu — keputusan yang salah, kebiasaan yang keliru, atau kelalaian dalam menjalankan perintah Allah.

Perbedaannya, azab di dunia masih bisa menjadi pengingat sekaligus obat. Jika kita menanggapinya dengan kesadaran dan taubat, maka penderitaan itu justru bisa mengembalikan kita ke jalan yang benar. Di sinilah terlihat kasih sayang Allah, karena Dia masih memberi kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum “azab” yang lebih berat menimpa di akhirat kelak.

Sayangnya, banyak orang terjebak dalam lingkaran penderitaan dunia ini karena enggan beriman sepenuhnya. Mereka mungkin mengenal Allah, tetapi tidak menjadikan-Nya sebagai pegangan utama saat menghadapi masalah. Akibatnya, hati tetap terasa sempit, meski secara lahiriah mereka berusaha mencari solusi.
 

Iman: Lebih dari Sekadar Ucapan

Ayat ini menegaskan bahwa “cara” agar terhindar dari azab adalah dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu berjihad dengan harta dan jiwa. Saya baru benar-benar memahami bahwa “beriman” bukan hanya soal pengakuan, tetapi juga soal keyakinan yang dijalani. Iman sejati akan diuji, terutama ketika kita berada dalam kondisi sulit dan tidak ada pegangan lain selain Allah.

Namun kenyataannya, saat ujian datang, iman ini sering kali goyah. Kita ragu, bertanya-tanya, atau bahkan kecewa ketika pertolongan Allah tidak datang sesuai bayangan kita. Padahal, bisa jadi Allah sedang menyiapkan jawaban yang lebih baik daripada yang kita minta. Inilah tantangan terbesar: tetap yakin meski belum melihat jalan keluar.

Beriman berarti menyerahkan hati sepenuhnya pada Allah, percaya bahwa setiap takdir mengandung kebaikan meski kita belum memahaminya. Dan ini bukan hal mudah — ia memerlukan latihan, penghayatan, dan pengalaman hidup yang terus menumbuhkan kepercayaan itu.

Cara Allah Menolong yang Tak Terduga

Pengalaman saya hari ini membuat saya semakin yakin bahwa janji Allah itu nyata. Beberapa hari ini, saya tidak memiliki uang untuk belanja, meski ada persediaan bahan makanan di rumah. Pikiran saya dipenuhi kekhawatiran: Bagaimana saya makan besok? Harapan saya sederhana: invoice pekerjaan saya segera cair. Tapi itu tak kunjung terjadi.

Namun Allah menolong dengan cara yang sama sekali tidak terpikirkan. Hari ini, seseorang yang dagangannya laku banyak tiba-tiba memberikan rezeki kepada saya. Uang itu datang bukan dari sumber yang saya harapkan, melainkan dari arah yang sama sekali berbeda. Ini membuat saya sadar bahwa “Allah mencukupkan” bukan berarti memenuhi keinginan kita secara persis, melainkan memenuhi kebutuhan kita dengan cara yang paling baik menurut-Nya.

Dari sini saya belajar bahwa bentuk pertolongan Allah sering kali berada di luar logika dan rencana manusia. Iman yang sejati adalah menerima pertolongan itu dengan syukur, walaupun caranya berbeda dari yang kita bayangkan.

Latar Sejarah Turunnya Ayat

Tafsir Ibnu Katsir Ringkas mencatat sebuah riwayat dari sahabat mulia, Abdullah bin Salam, seorang mantan rabbi Yahudi yang masuk Islam. Beliau dan para sahabat lain pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang amal yang paling dicintai Allah. Menjawab pertanyaan ini, Allah menurunkan ayat 10–13 surat As-Saff.

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “perdagangan” yang dimaksud adalah meninggalkan kesibukan dunia yang hanya mengejar keuntungan materi semata, lalu mengalihkannya pada perjuangan menegakkan agama Allah dengan iman, jihad harta, dan jihad jiwa. Balasan dari perdagangan ini adalah pengampunan dosa, surga yang penuh kenikmatan, dan tambahan karunia berupa kemenangan yang dekat.

Konteks sejarah menunjukkan bahwa janji “kemenangan yang dekat” ini benar-benar dirasakan pada masa Rasulullah ﷺ, seperti dalam Perang Khandaq dan Perang Fathu Makkah. Ayat ini menjadi motivasi yang menguatkan kaum muslimin bahwa menolong agama Allah bukanlah pengorbanan sia-sia, melainkan investasi yang pasti kembali dengan keuntungan berlipat di dunia dan akhirat.
 

Perdagangan yang Tak Pernah Merugi

Menurut Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah, ayat ini adalah dorongan langsung dari Allah kepada orang-orang beriman untuk melakukan “perdagangan” yang jauh lebih menguntungkan daripada urusan dunia: beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad dengan harta dan jiwa demi meninggikan kalimat-Nya. Perniagaan ini bukan hanya menyelamatkan dari azab yang pedih, tetapi juga mendatangkan ampunan, surga, dan kemenangan di dunia.

Dalam tafsir ini dijelaskan bahwa keuntungan dari “perdagangan” ini mencakup dua hal: keuntungan ukhrawi berupa ampunan dosa dan surga dengan tempat tinggal yang indah di surga ‘Adn, serta keuntungan duniawi berupa pertolongan Allah dan kemenangan yang dekat. Sejarah membuktikan janji ini, seperti yang dialami kaum muslimin pada Perang Badar, di mana pertolongan Allah datang dengan cara yang luar biasa.

Makna “perdagangan” di sini juga menyiratkan adanya proses tawar-menawar yang menguntungkan hamba: kita menyerahkan iman, waktu, harta, dan tenaga kita, lalu Allah memberikan balasan yang jauh lebih besar dan kekal. Inilah investasi sejati yang tidak pernah rugi.

Ayat ini mengajarkan bahwa kunci terhindar dari penderitaan — baik di dunia maupun akhirat — adalah iman yang hidup, bukan hanya iman yang diucapkan. Dunia memang penuh ujian, tapi bagi orang beriman, ujian justru menjadi ladang pahala dan sumber hikmah.

Saya menyadari bahwa iman itu harus terus dilatih dalam keseharian, terutama ketika kita menghadapi kesulitan. Karena pada akhirnya, Allah selalu menepati janji-Nya untuk mencukupkan kebutuhan hamba-Nya. Pertanyaannya, apakah kita mau percaya penuh pada-Nya, bahkan ketika skenario-Nya berbeda dari rencana kita?

Posting Komentar

0 Komentar