TADABBUR QURAN: HUD 34

TADABBUR QURAN: HUD 34

Hai pencari cahaya! ✨🌝

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ


Catatan 10 Agustus 2025.

Ada kalanya kita berada di posisi ingin menolong seseorang yang kita cintai dari jalan yang keliru. Kita mencoba mengingatkan, menasihati, bahkan mendoakan, dengan harapan mereka mau berbalik arah menuju kebaikan. 


Namun, kenyataan pahitnya adalah, ada orang-orang yang justru menutup hati dan menolak semua bentuk petunjuk yang datang. Bukan karena mereka tidak pernah mendengar kebenaran, tetapi karena hati mereka telah keras oleh kebiasaan mengingkari, menolak, dan menyepelekan peringatan.

TADABBUR QURAN: HUD 34

QS Hūd ayat 34 merekam ungkapan Nabi Nuh ‘alaihis salam kepada kaumnya yang telah berulang kali mendapatkan peringatan namun tetap membangkang. Dalam Tafsir Ringkas Kemenag, ayat ini dijelaskan bahwa jika Allah hendak menyesatkan mereka—sebagai akibat dari penolakan berulang terhadap petunjuk-Nya—maka tidak ada nasihat yang dapat memberi manfaat, sekalipun nasihat itu tulus dan penuh kasih sayang. Pesannya jelas: saat hati memilih untuk menolak kebenaran, nasihat terbaik pun menjadi tak berguna.
 

Batas dari Sebuah Nasihat 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Nasihatku tidak akan bermanfaat bagimu sekalipun aku ingin menasihatimu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu. Dia adalah Tuhanmu dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
Hūd [11]:34

Dalam Tafsir Tahlili, dijelaskan bahwa Nabi Nuh ‘alaihis salam menyampaikan bahwa setiap nasihat yang beliau berikan—baik berupa ajakan kepada jalan yang benar maupun peringatan dari azab Allah—tidak akan berarti apa-apa jika kaumnya terus membiarkan diri mereka terseret bujukan hawa nafsu. Nasihat kehilangan daya pengaruhnya ketika hati seseorang telah memutuskan untuk menutup diri.

Fenomena ini juga sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ada orang yang telah diberi berbagai bukti, diingatkan dengan cara yang lembut maupun tegas, namun tetap memilih jalan yang salah. 

Bukan karena kurangnya informasi atau perhatian dari orang lain, melainkan karena keengganan mereka untuk tunduk kepada kebenaran. Di titik inilah kita mulai memahami bahwa nasihat punya batas: ia hanya bekerja jika hati yang mendengarnya mau terbuka.

Batas ini bukan berarti kita berhenti peduli, tetapi kita harus sadar bahwa perubahan sejati tidak datang dari luar, melainkan dari kesediaan hati untuk menerima cahaya petunjuk. Seperti yang digambarkan dalam ayat ini, jika Allah membiarkan seseorang tersesat sebagai konsekuensi dari pilihan-pilihan buruknya, maka sebesar apapun usaha kita, hasilnya tetap nihil.
 

Kerasnya Hati dan Ulah Diri Sendiri

Tafsir Ringkas Kemenag menegaskan bahwa kesesatan yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah kezaliman Allah kepada hamba-Nya, melainkan konsekuensi logis dari penolakan mereka terhadap tuntunan-Nya. Mereka terus-menerus menolak bimbingan, hingga akhirnya Allah biarkan mereka tenggelam dalam kesesatan yang mereka pilih sendiri.

Inilah yang dimaksud dengan kerasnya hati: bukan hanya sulit menerima kebenaran, tetapi juga tidak lagi merasa bersalah saat berbuat dosa. Orang seperti ini dapat hidup bertahun-tahun dalam kesalahan, tanpa pernah merasa perlu memperbaiki diri. Bahkan, ketika kebenaran datang berkali-kali, mereka memperlakukannya seolah itu hanyalah suara angin yang berlalu.

Kita sering lupa bahwa kerasnya hati tidak muncul tiba-tiba, melainkan terbentuk dari kebiasaan mengabaikan peringatan dan menghalalkan pelanggaran. Setiap kali menolak petunjuk, hati menjadi sedikit lebih beku. Hingga pada akhirnya, ketika nasihat datang dengan seluruh kebaikan dan ketulusannya, ia tidak lagi mampu menembus dinding keras itu.

Namun, Allah tidak pernah menutup pintu ampunan bagi hamba-Nya yang mau kembali. Bahkan, sebesar apa pun dosa seseorang—meski seluas lautan—jika ia benar-benar menyesal, merendahkan hati di hadapan-Nya, dan berusaha memperbaiki diri, Allah akan menerimanya. Sebagaimana firman-Nya:

"Katakanlah (Muhammad), 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.'" 
(QS Az-Zumar: 53)

Pesan ini menjadi pengingat bahwa kita tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah, sekaligus menjadi peringatan agar kita senantiasa menjaga hati tetap lembut dan siap menerima kebenaran.

Mengembalikan Segala Urusan kepada Allah

Bagian akhir ayat ini mengingatkan bahwa Allah adalah Rabb kita—Pemilik, Pemelihara, dan Pengatur seluruh kehidupan. Dalam Tafsir Tahlili, dijelaskan bahwa segala sesuatu terjadi sesuai ketentuan dan kehendak-Nya, dan pada akhirnya semua akan kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Bagi Nabi Nuh ‘alaihis salam, menyadari hakikat ini berarti menerima kenyataan bahwa tidak semua orang akan menerima petunjuk, meskipun nasihat telah disampaikan dengan sebaik-baiknya. Ada momen di mana beliau harus melepaskan urusan itu kepada Allah, karena hanya Allah yang berkuasa membolak-balikkan hati manusia.

Bagi kita, pelajaran ini mengajarkan keseimbangan: berusaha dengan tulus memberi nasihat, tetapi juga berserah diri kepada keputusan Allah. Kita tidak memikul beban untuk mengubah hati orang lain, sebab tugas kita hanyalah menyampaikan kebenaran, sementara hasilnya adalah urusan-Nya.
 

Refleksi Diri

Saat membaca ayat ini, saya teringat pada beberapa momen dalam hidup di mana saya begitu bersemangat memberi nasihat kepada orang lain. Ada rasa ingin sekali melindungi mereka dari jalan yang keliru, seakan saya bisa “menyelamatkan” mereka dengan kata-kata yang tepat. Namun, pada akhirnya, saya menyadari bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang bisa saya paksakan. Hati yang tertutup akan tetap menolak, seberapa pun indahnya kata-kata yang saya sampaikan.

Saya pun bertanya pada diri sendiri: Bagaimana jika saya yang berada di posisi mereka? Apakah saya juga pernah menutup telinga dan hati terhadap peringatan yang Allah kirimkan melalui orang-orang di sekitar saya? 

Betapa banyak nasihat yang mungkin dulu saya abaikan, karena merasa tidak nyaman atau tidak mau mengakui kesalahan. Saat merenungkan ini, saya sadar bahwa kerasnya hati bisa menimpa siapa saja—termasuk saya—jika saya lengah dan terlalu percaya diri bahwa saya selalu berada di jalan yang benar.

Refleksi ini membuat saya lebih berhati-hati. Bukan hanya dalam memberi nasihat, tetapi juga dalam menerima nasihat. Saya perlu melatih diri untuk membuka hati, meskipun pesan yang datang terasa menyakitkan atau menegur kelemahan saya. Sebab, nasihat adalah bentuk kasih sayang, dan menolaknya hanya akan membuat saya semakin jauh dari kebaikan. Saya tidak ingin menjadi orang yang suatu saat Allah biarkan tersesat karena terus-menerus menolak petunjuk-Nya.

QS Hūd ayat 34 mengingatkan bahwa nasihat memiliki keterbatasan. Sebesar apapun cinta dan perhatian kita pada seseorang, kita tidak bisa memaksa hatinya untuk menerima kebenaran jika ia sendiri memilih untuk menolaknya. Kebenaran hanya akan berbuah ketika hati mau terbuka, dan keterbukaan hati itu adalah anugerah Allah bagi hamba yang mau merendahkan diri di hadapan-Nya.

Maka, tugas kita bukan hanya memberi nasihat, tetapi juga mendoakan agar Allah melunakkan hati orang yang kita cintai, termasuk hati kita sendiri. Sebab, tanpa hidayah dari-Nya, kita pun berisiko menjadi seperti mereka—mengabaikan kebenaran yang ada di depan mata, hingga suatu saat nasihat tidak lagi bermakna bagi kita.

Posting Komentar

0 Komentar