TADABBUR QURAN: AL HASYR 21

TADABBUR QURAN: AL HASYR 21

Hai pencari cahaya! ✨🌝

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 12 Agustus 2025.

Alhamdulillah, hari ini bisa mencatat tadabbur lagi. Hari ini saat membaca Al Quran ada satu ayat di Al-Qur’an yang selalu membuat saya berhenti sejenak. Ayat itu berada di Surat Al-Hasyr ayat 21, yang menceritakan bahwa seandainya Al-Qur’an ini diturunkan kepada sebuah gunung, gunung itu akan tunduk dan terpecah-belah karena takut kepada Allah. 


Membayangkan gambaran ini membuat hati saya bertanya-tanya: jika gunung yang begitu kokoh saja bisa luluh, lalu bagaimana dengan hati manusia yang begitu rapuh?

TADABBUR QURAN: AL HASYR 21



"Sekiranya Kami turunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir."

Saya menyadari bahwa ayat ini bukan sekadar metafora yang indah untuk dibaca. Ia adalah panggilan untuk berpikir. Allah SWT menutup ayat ini dengan kalimat, “...agar mereka berpikir”. Artinya, ayat ini bukan hanya ingin membuat kita terkagum, tapi juga mengajak kita menembus lapisan makna yang lebih dalam. 

Saya pun mulai memahami bahwa setiap perumpamaan dalam Al-Qur’an adalah jendela untuk melihat keindahan dan kedalaman ilmu yang Allah sediakan, bagi siapa saja yang mau membuka mata dan hatinya.

Perumpamaan yang Mengguncang Kesadaran

Perumpamaan dalam Al-Qur’an bukanlah sekadar hiasan sastra. Ia adalah jembatan yang menghubungkan akal manusia dengan hakikat kebenaran. Dalam ayat ini, Allah menggunakan gunung sebagai simbol keteguhan dan kekuatan. Jika sesuatu yang kokoh seperti gunung bisa hancur karena meresapi wahyu, itu berarti hati manusia seharusnya jauh lebih mudah untuk tunduk—jika saja mau benar-benar meresapinya.

Sayangnya, hati manusia sering kali lebih keras daripada batu. Kita terbiasa melihat ayat-ayat ini sebagai bacaan rutin tanpa benar-benar mengizinkannya mengetuk kesadaran. Sama seperti orang yang tahu secara teori bahwa api itu panas, tetapi tidak pernah mendekat untuk merasakannya, kita pun kadang berhenti di lapisan pengetahuan tanpa masuk ke pengalaman spiritual yang lebih dalam.

Perumpamaan ini sejatinya mengajak kita untuk menurunkan “gunung kesombongan” dalam diri—rasa cukup dengan pengetahuan yang ada, rasa malas untuk bertadabbur, dan rasa takut menemukan kebenaran yang mengubah cara hidup kita. Sebab tadabbur bukan soal banyaknya hafalan, tapi seberapa dalam kita membiarkan Al-Qur’an berbicara kepada hati kita.

Teori vs. Pengalaman

Saya teringat analogi Gus Baha yang sederhana tapi sangat mengena. Ia mengatakan bahwa semua orang tahu air bisa menghilangkan haus. Tapi hanya orang yang benar-benar meminum air yang akan merasakan kesegarannya. Begitu pula dengan Al-Qur’an—banyak orang tahu ia adalah kitab suci, tapi hanya mereka yang berinteraksi, membaca, memahami, dan merenungkan yang bisa merasakan “kesegarannya” di hati.

Sering kali kita terjebak dalam zona nyaman “asal tahu” tentang Al-Qur’an. Kita mendengar ceramah, kita membaca terjemahan, tapi kita tidak membiarkan ayat-ayat itu berdiam lama dalam pikiran kita. Akibatnya, ayat-ayat itu lewat begitu saja, tanpa meninggalkan bekas.

Memahami Al-Qur’an seperti meminum air bukanlah proses sekali teguk. Ia butuh kesabaran, pengulangan, dan kesediaan untuk “merasa haus” akan kebenaran. Hanya dengan begitu kita bisa merasakan bagaimana Al-Qur’an benar-benar menghidupkan jiwa, menenangkan hati, dan mengubah cara pandang kita terhadap hidup.

Ayat-Ayat yang Melatih Pikiran

Bagi saya, Al-Qur’an bukan hanya kitab petunjuk, tapi juga kitab pelatihan pikiran. Banyak ayat yang secara langsung mengajak manusia untuk berpikir: tentang penciptaan langit dan bumi, tentang perjalanan sejarah umat terdahulu, bahkan tentang kondisi hati manusia sendiri. Ajakan berpikir ini bukan sekadar aktivitas intelektual, tapi latihan spiritual yang membuat kita semakin dekat kepada Allah.

Ketika kita melatih diri untuk berpikir seperti yang diperintahkan Al-Qur’an, kita sebenarnya sedang membentuk hati yang lebih peka. Kita mulai melihat tanda-tanda kebesaran Allah di sekitar kita: dari langit malam yang penuh bintang, hingga daun yang jatuh di halaman rumah. Semua menjadi pengingat akan kebesaran-Nya.

Dan menariknya, semakin kita melatih pikiran dengan ayat-ayat-Nya, semakin kita menyadari bahwa banyak hal dalam hidup ini tidak bisa kita pahami sepenuhnya. Rasa keterbatasan itulah yang justru membuat kita semakin tunduk dan berserah diri—seperti gunung dalam perumpamaan ayat ini.

Keteguhan Gunung dan Hati Manusia


Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan betapa agung dan dahsyatnya Al-Qur’an. Syaikh As-Sa’di mengatakan, jika hati manusia sekeras gunung pun, Al-Qur’an memiliki kekuatan untuk menundukkannya. Perintah dan larangan yang Allah sampaikan di dalamnya bukanlah beban yang memberatkan, melainkan penuh hikmah, maslahat, dan kemudahan yang sesuai untuk semua zaman dan keadaan. Allah menutup ayat ini dengan penegasan bahwa perumpamaan ini diberikan agar manusia berpikir, merenungi tanda-tanda kebesaran-Nya, dan menemukan ilmu yang terkandung di dalam wahyu.

Ibnu Katsir menambahkan, jika gunung yang begitu keras saja akan tunduk bila memahami makna Al-Qur’an, maka hati manusia seharusnya lebih mudah untuk luluh. Sayangnya, tidak semua hati mau melembut saat mendengar ayat-ayat Allah. Ibnu Katsir juga mengisahkan sebuah peristiwa menyentuh: ketika Rasulullah ﷺ berpindah dari berkhutbah di dekat batang pohon kurma ke mimbar baru, batang kurma itu menangis karena rindu pada dzikir dan wahyu yang biasa ia dengar. Hasan Al-Bashri kemudian mengingatkan, “Kalian seharusnya lebih merindukan Rasulullah ﷺ daripada batang kurma itu.” Kisah ini menunjukkan, bahkan benda mati pun bisa merasakan getaran kedekatan dengan wahyu.

Maka, jika gunung dan pohon bisa “merasakan” kemuliaan wahyu, bagaimana mungkin manusia yang berakal justru bersikap acuh? Allah telah menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk, menjelaskan jalan kebaikan dan keburukan, mendorong akhlak yang mulia, dan melarang akhlak yang buruk. Tadabbur bukan sekadar memahami arti kata, tetapi juga membuka hati agar nasihat-nasihat Al-Qur’an itu benar-benar mengubah diri sendiri.

Mari Mulai Bertaddabur Hari ini

Tadabbur Al-Qur’an bukan hanya tentang membaca atau mengetahui artinya, tetapi tentang membiarkan ayat-ayat itu menyentuh hati dan membentuk karakter kita. Ayat Al-Hasyr 21 mengingatkan saya bahwa jika gunung saja bisa tunduk karena takut kepada Allah, maka hati manusia yang lembut seharusnya lebih mudah untuk menerima kebenaran.

Allah menurunkan Al-Qur’an bukan untuk sekadar kita ketahui, tetapi untuk kita hayati dan amalkan. Ia adalah cahaya yang menuntun, obat yang menyembuhkan, dan air yang menghidupkan hati yang kering. Maka, tugas kita adalah membuka hati seluas-luasnya, agar setiap nasihat-Nya meresap seperti air yang membasahi tanah tandus—menghidupkan, menumbuhkan, dan menguatkan kita di jalan-Nya.

Posting Komentar

0 Komentar