بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 2 Agustus 2025.
Pernahkah kamu merasa lelah berkarya tanpa hasil yang tampak? Tadabbur QS. Al-Infitar ayat 10–11 menyapa saya dengan jawaban lembut: tak ada amal yang luput dari catatan. Bahkan hal terkecil yang dilakukan dengan niat tulus akan tetap abadi dalam pengawasan Allah. Ayat ini bukan sekadar peringatan, tapi penguat hati—bahwa segala kebaikan, meski sepi dari sorotan, tetap berarti.
TADABBUR QURAN: AL INFITAR 5, 10 & 11
Ini seperti pelukan lembut bagi jiwa yang sedang merasa salah paham, salah dimengerti, atau bahkan tidak dianggap. Betapa adilnya Allah. Bahkan jika manusia tak tahu maksud baik kita, bahkan jika tidak ada yang memvalidasi kerja keras dan niat kita, ayat ini memberi keyakinan: semua tetap dicatat. Dan bukan hanya kebaikan—keburukan pun tak luput dari pengawasan.
Maka kesadaran inilah (mindfulness) yang semestinya menjadi dasar kita bergerak. Kesadaran bahwa setiap langkah kita, setiap ucapan dan pilihan, berada dalam pengawasan langsung dari Yang Maha Mengetahui.
Menemukan Makna di Balik Pengawasan Ilahi
Ayat 10 dari QS. Al-Infitar menyatakan bahwa ada malaikat yang ditugaskan secara khusus untuk mencatat setiap amal perbuatan kita. Dalam hidup, kadang kita merasa lelah saat niat baik kita dipelintir oleh prasangka orang lain. Rasanya seperti kerja keras yang sia-sia karena tidak dihargai, bahkan dicurigai. Namun ayat ini hadir sebagai penguat: bahwa setiap amal, meski tak terlihat manusia, tidak pernah luput dari catatan Allah. Validasi terbaik datang dari langit, bukan dari penilaian manusia yang berubah-ubah.Ayat ini mengajak kita untuk memindahkan fokus, dari “apa kata orang” menjadi “apa pandangan Allah atas ini?” Ini bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang menyadari bahwa Allah selalu tahu niat dan usaha kita. Maka, pengawasan ini bukan ancaman, melainkan bentuk kasih sayang Allah. Ia menjaga kita tetap pada jalur yang benar—memberi arah di saat kita ragu, dan menguatkan langkah di saat kita lelah.
Dengan begitu, kita bisa melatih mindfulness dalam bentuk paling spiritual: kesadaran bahwa hidup kita dilihat dan dihitung oleh Allah. Bukan hanya dalam ibadah, tapi dalam semua aspek kehidupan. Bahkan dalam hal kecil seperti niat untuk tidak membalas keburukan, memilih diam saat difitnah, atau bersabar ketika gagal dipahami—semua itu ada nilainya.
Menengok Sejarah: Hari di Mana Segala Amal Terbongkar
Surah Al-Infitar turun pada periode Makkah, di masa awal kenabian saat Rasulullah ﷺ menyampaikan peringatan akan hari akhir kepada masyarakat Quraisy yang kala itu masih mengingkari kebangkitan setelah kematian.Ayat 5 dari surah ini menggambarkan suasana penuh guncangan saat kiamat tiba—langit terbelah, bintang-bintang berhamburan [1], lautan tumpah ruah [2], dan kubur-kubur terbongkar. Pada momen itulah, setiap jiwa akan benar-benar sadar dan mengetahui segala amalnya, baik yang pernah ia kerjakan maupun yang ia lalaikan. Tidak ada lagi ruang untuk bersembunyi, tidak ada lagi alasan untuk mengelak. Segala hal yang dulu tersembunyi kini tersingkap nyata.
Menurut Tafsir Tahlili Kemenag dan penafsiran Syaikh As-Sa'di, rangkaian ayat ini menunjukkan bahwa hari kebangkitan adalah momentum pengadilan yang mutlak adil. Setiap manusia akan diberikan “kitab”-nya sendiri, berisi catatan amal perbuatan yang telah ia lakukan selama di dunia.
Menurut Tafsir Tahlili Kemenag dan penafsiran Syaikh As-Sa'di, rangkaian ayat ini menunjukkan bahwa hari kebangkitan adalah momentum pengadilan yang mutlak adil. Setiap manusia akan diberikan “kitab”-nya sendiri, berisi catatan amal perbuatan yang telah ia lakukan selama di dunia.
Ayat ini berbicara tentang tanggung jawab pribadi, bukan kolektif. Bahkan dalam tafsir Surah Al-Isra’ ayat 13–14, ditegaskan bahwa manusia akan diperintahkan membaca sendiri catatan amalnya—dan dirinya menjadi saksi atas dirinya sendiri. Ini adalah momen ketika ilusi manusia runtuh dan realitas kebenaran berdiri tegak.
Masuk pada ayat 10 dan 11, Allah menyatakan bahwa para malaikat pencatat (al-kirām al-kātibīn) mengawasi dan menulis segala amal manusia. Ini bukanlah ancaman, tetapi bentuk penjagaan ilahiah yang sangat adil: tidak satu pun perbuatan manusia, sekecil atau sebesar apa pun, yang luput dari pengawasan Allah.
Masuk pada ayat 10 dan 11, Allah menyatakan bahwa para malaikat pencatat (al-kirām al-kātibīn) mengawasi dan menulis segala amal manusia. Ini bukanlah ancaman, tetapi bentuk penjagaan ilahiah yang sangat adil: tidak satu pun perbuatan manusia, sekecil atau sebesar apa pun, yang luput dari pengawasan Allah.
Tafsir dari Syaikh Shalih al-Fauzan menambahkan bahwa kebaikan yang ditinggalkan seseorang bisa terus mengalir sebagai pahala, dan begitu pula sebaliknya—keburukan yang diwariskan bisa menjadi beban yang terus tercatat. Maka, ayat-ayat ini menjadi motivasi untuk membangun jejak kebaikan yang hidup lebih lama dari usia kita sendiri.
Ketika Hati Merasa Tak Terlihat
Sering kali kita berharap orang lain mengerti apa yang kita lakukan. Kita ingin dipahami, dimaklumi, dan diakui. Namun tak sedikit yang justru salah menilai, mencurigai niat kita, atau bahkan menyalahkan.Di momen seperti itu, ayat ini menjadi obat yang lembut. QS. Al-Infitar:10 tidak hanya menjelaskan bahwa ada pengawasan, tapi juga bahwa segala hal—baik yang terang maupun tersembunyi—semua dicatat dengan utuh dan adil.
Inilah bentuk keadilan Allah yang paling indah. Bahwa kebaikan sekecil apa pun, termasuk kesabaran dan niat tulus kita yang tidak dimengerti manusia, akan tetap bernilai di sisi-Nya. Ini membebaskan kita dari beban ingin selalu dipahami. Karena ternyata, yang paling penting adalah bagaimana amal kita dicatat, bukan bagaimana ia dipersepsikan oleh orang lain.
Kesadaran ini membuat kita lebih ringan dalam melangkah. Kita tetap bisa berkarya, memberi, dan berbuat baik tanpa perlu lelah membuktikan apa-apa kepada manusia. Cukup memastikan bahwa kita melakukannya karena Allah, dan yakin bahwa Ia tidak akan pernah menyia-nyiakan kebaikan yang kita kerjakan.
Inilah bentuk keadilan Allah yang paling indah. Bahwa kebaikan sekecil apa pun, termasuk kesabaran dan niat tulus kita yang tidak dimengerti manusia, akan tetap bernilai di sisi-Nya. Ini membebaskan kita dari beban ingin selalu dipahami. Karena ternyata, yang paling penting adalah bagaimana amal kita dicatat, bukan bagaimana ia dipersepsikan oleh orang lain.
Kesadaran ini membuat kita lebih ringan dalam melangkah. Kita tetap bisa berkarya, memberi, dan berbuat baik tanpa perlu lelah membuktikan apa-apa kepada manusia. Cukup memastikan bahwa kita melakukannya karena Allah, dan yakin bahwa Ia tidak akan pernah menyia-nyiakan kebaikan yang kita kerjakan.
Membangun Kesadaran Spiritual: Konsep Mindfulness dalam Islam
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:“Sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) pengawas, yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (amal perbuatanmu).”Al-Infiṭār [82]: 10 & 11
Dengan kesadaran ini, kita menjadi lebih jujur dalam niat, lebih hati-hati dalam perbuatan, dan lebih ikhlas dalam menerima hasil. Kita tidak hanya hadir secara fisik dalam aktivitas kita, tetapi juga secara spiritual. Kita sadar bahwa amal yang sederhana pun, seperti menahan amarah, menulis yang bermanfaat, atau membagi senyum, bisa bernilai besar bila dilakukan karena Allah.
Kesadaran seperti ini membuat hidup lebih bermakna. Kita tak lagi sekadar menjalani rutinitas, tapi mengisi hari-hari dengan amal yang sadar. Dan dalam tiap kesadaran itu, ada ketenangan. Karena kita tahu, setiap upaya—sekecil apa pun—tidak pernah sia-sia di sisi Allah.
Hari Saat Semua Akan Diungkap
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:“Setiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikan(-nya).”Al-Infiṭār [82]:5
Tafsir menyebutkan bahwa manusia akan disodori kitab catatannya—dan disuruh membacanya sendiri. Tidak ada penambahan, tidak ada pengurangan. Maka setiap jejak hari ini, bahkan yang tampaknya sepele, adalah bagian dari “buku hidup” yang akan kita baca suatu saat nanti. Kesadaran ini membentuk gaya hidup yang lebih bertanggung jawab dan tidak gegabah dalam bertindak.
Namun, ayat ini juga memberi harapan. Karena jika kita pernah lalai, kita bisa memperbaikinya sekarang. Kita bisa mulai meninggalkan jejak kebaikan yang akan menolong kita kelak. Kita bisa menulis ulang bab kehidupan ini, bukan dengan tinta masa lalu, tetapi dengan taubat, amal saleh, dan niat baru.
Jejak yang Mengalir Setelah Mati
Salah satu refleksi besar dari QS. Al-Infitar adalah pemahaman bahwa hidup tidak berhenti ketika kita wafat. Amal kita bisa terus mengalir, baik maupun buruk. Hadis Rasulullah ﷺ yang menyebut tiga amal yang terus mengalir setelah kematian (sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan) seolah menegaskan bahwa apa yang kita tinggalkan hari ini adalah investasi akhirat.Karena itu, setiap tindakan hari ini punya dua sisi: hasil langsung dan jejak jangka panjang. Artikel yang kita tulis, karya yang kita tinggalkan, bahkan kebiasaan yang kita wariskan pada orang-orang di sekitar, semuanya akan kembali kepada kita sebagai pahala atau dosa. Apalagi jika itu ditiru, disebar, dan diwariskan ke generasi berikutnya.
Dengan begitu, setiap hari adalah kesempatan untuk menciptakan jejak baik. Kita bisa menanam nilai, meninggalkan pengaruh positif, atau menyebar ilmu yang bermanfaat. Meski kita tak tahu siapa yang akan membacanya, menirunya, atau mendoakan kita—Allah tahu, dan itulah yang cukup.
Refleksi Diri
Semoga tadabbur ini bisa menjadi teman perjalananmu—pengingat yang lembut bahwa hidup yang baik dimulai dari niat yang sadar, langkah yang jujur, dan tujuan yang jelas karena Allah. Kita semua sedang belajar tumbuh, satu hari, satu amal, satu ayat demi satu ayat. Meskipun hari ini belum tampak hasilnya, jangan berkecil hati. Tumbuhkanlah niat yang ikhlas, dan langkahkan kaki dengan penuh kesadaran. In syaa Allah, setiap langkah kecil akan dihitung besar di sisi-Nya.QS Al-Infitar ayat 5, 10 & 11 menjadi pengingat mendalam bahwa kesadaran dalam Islam bukan sekadar fokus atau tenang saat beribadah, tetapi juga tentang menyadari bahwa seluruh amal dicatat, niat diketahui, dan semuanya akan kembali kepada diri kita sendiri.
Inilah esensi mindfulness dan ihsan—menjalani hidup seakan-akan kita melihat Allah, dan jika tidak mampu, kita yakin bahwa Allah senantiasa melihat kita. Maka mari kita terus menanam kebaikan, sekecil apa pun itu, karena amal karena Allah tidak akan pernah sia-sia. Dan selama kita mau sadar dan kembali, pintu-Nya tak pernah tertutup.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏