بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan, 18 Juli 2025,
Setiap kali membuka mata di pagi hari, Lumira selalu membisikkan satu hal pada diri sendiri: “Hari ini bisa jadi hari terakhirku.” Bukan untuk menakut-nakuti diri, tapi justru untuk menjaga kesadaran agar setiap waktu yang ada bisa dijalani dengan sepenuh hati. Hari ini, kita akan melanjutkan kembali pasal tentang kematian, seperti yang sempat dibahas dalam tadabbur QS Al-An’am ayat 2.
TADABBUR QURAN: AZ ZUMAR 42
Tapi kali ini, sudut pandangnya berbeda—lebih dalam, lebih detail. Dalam QS Az-Zumar, Allah tidak hanya menegaskan bahwa kematian itu pasti, tapi juga membukakan pemahaman tentang dua bentuk kematian: yang besar dan yang kecil. Apa maksudnya? Dan mengapa konsep ini sangat personal dan bermakna bagi Lumira? Yuk, selami lebih jauh. Karena siapa tahu, renungan ini bisa jadi pengingat yang selama ini diam-diam kamu butuhkan.
اَللّٰهُ يَتَوَفَّى الْاَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَامِهَا ۚ فَيُمْسِكُ الَّتِيْ قَضٰى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْاُخْرٰىٓ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ“Allah menggenggam nyawa (manusia) pada saat kematiannya dan yang belum mati ketika dia tidur. Dia menahan nyawa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti-bukti (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir.”(QS Az-Zumar: 42)
Ayat ini membuka pintu kontemplasi tentang betapa dekatnya hidup dengan kematian. Allah tidak hanya menggenggam nyawa ketika seseorang meninggal dunia, tapi juga ketika kita tertidur. Dalam tidur, kita sesungguhnya berada di antara dua batas: hidup yang sementara digantung, dan kematian yang bisa saja ditegakkan sewaktu-waktu.
Konteks Turunnya Ayat (Asbāb al‑Nuzūl)
Surah Az‑Zumar ayat 41–42 turun sebagai penghibur dan pengingat di masa Nabi Muhammad dan para sahabat menghadapi tantangan berat. Menurut Ibnu Katsir, ayat ini menegaskan bahwa Rasul hanya bertugas menyampaikan pesan, sedangkan hidayah dan hisab adalah hak Allah semata .
Meskipun narasi asbāb al-nuzūl untuk ayat ini tidak merinci sosok khusus, al-Qur’an memberi gambaran umumnya: wahyu turun di tengah situasi umat yang diuji oleh kekufuran, kesangsian, dan kesedihan sebagai pengingat bahwa pengelolaan ruh dan takdir hidup telah sepenuhnya di tangan Allah.
Kisah dan Pengaruh Ayat Menurut Tafsir
Menurut Ibnu Katsir (mengutip Hikmat bin Basyir bin Yasin), Allah mengingatkan bahwa al-Qur’an adalah firman kebenaran untuk manusia dan jin, dan setiap orang yang menerima petunjuk akan diuntungkan, sementara yang tersesat hanya merugikan diri sendiri.
Ayat 42 membahas dua jenis kematian: kematian besar (ketika ruh dicabut oleh malaikat) dan kematian kecil (ketika kita tidur). Dalam tidur itu, ruh ditahan sementara oleh Allah, lalu dilepaskan kembali jika ajal belum tiba. Namun untuk yang tiba ajalnya, ruh tidak dikembalikan. Di sana terdapat tanda kekuasaan-Nya bagi orang yang berpikir.
Ibnu ʻAbbās menjelaskan bahwa Allah dengan pasti menahan jiwa orang mati dan melepaskan jiwa orang yang hidup tanpa terjadi kesalahan. Juga disebutkan bahwa semua ruh dikumpulkan di al‑malāʾ al‑a‘lā di hadapan Allah sebelum dibangkitkan kembali. Zubdatut Tafsir menambah penegasan bahwa Allah yang mencabut ruh kita saat tidur maupun saat kematian, menunjukkan kekuasaan penuh-Nya atas jiwa manusia.
Tafsir Tahlili
Dalam Tafsir Tahlili, dijelaskan bahwa tidur adalah bentuk "kematian ringan", di mana hubungan antara roh dan jasad masih tersambung, tapi tidak sempurna. Bila Allah menetapkan kematian, maka roh itu tidak akan kembali.
Namun jika belum tiba ajalnya, roh itu dikembalikan, dan kita pun terbangun seolah tak terjadi apa-apa. Sebuah proses ilahiah yang terjadi setiap hari, namun jarang kita pikirkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dalam tubuh manusia terdapat roh dan jiwa. Jiwa adalah tempat akal, pilihan, dan kesadaran; sementara roh adalah sumber kehidupan. Keduanya akan benar-benar diputus ketika ajal datang. Rasulullah SAW bahkan mengajarkan doa sebelum tidur yang penuh kesadaran akan kemungkinan kematian di malam hari:
"Jika Engkau menahan jiwaku, maka sayangilah ia. Jika Engkau melepaskannya, maka jagalah sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang saleh."(HR. Bukhari dan Muslim)
Ini bukan sekadar doa sebelum tidur, tapi bentuk tawakal total dan pengakuan bahwa hidup dan mati kita ada dalam genggaman Allah, bukan dalam kontrol diri sendiri.
Dari hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Qatadah, kita pun diajak untuk benar-benar percaya bahwa kematian tidak bisa dihindari oleh apa pun dan siapa pun. Meski dijaga oleh seribu dokter, seseorang tetap akan wafat jika Allah telah menetapkan ajalnya.
Sebaliknya, meski tubuh seseorang terlihat mustahil untuk selamat menurut akal manusia, bila Allah berkehendak, ia akan hidup dan bangkit kembali. Maka jelaslah bahwa kesembuhan, kematian, dan kehidupan sepenuhnya adalah urusan Allah semata, bukan hasil mutlak dari upaya manusia. Kita boleh berikhtiar, bahkan wajib, tapi hasilnya tetap di tangan-Nya.
Hanya Allah Penolong Kita
Dalam perjalanan hidup yang fana ini, manusia sering kali mencari pertolongan pada segala arah—keluarga, teman, dokter, harta, bahkan dirinya sendiri. Namun, Al-Qur’an menyadarkan kita bahwa pertolongan sejati hanya milik Allah, karena hanya Dia yang sepenuhnya memiliki kuasa atas ruh manusia. Perhatikan bagaimana dua ayat dari surah Az-Zumar ini saling menguatkan makna tersebut:
قُلْ لِّلّٰهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيْعًا ۗ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ ثُمَّ اِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ"Katakanlah, ‘Hanya milik Allah syafaat itu semuanya. Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Kemudian, hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.’"(QS Az-Zumar [39]: 44)
Kedua ayat ini membentuk jaring makna yang saling terhubung: Allah-lah yang memegang ruh kita setiap malam, dan Allah pula yang menentukan kapan ruh itu tak kembali. Jika saat tidur saja ruh kita bisa "ditahan" oleh-Nya, maka bukankah kematian pun sepenuhnya berada dalam kekuasaan-Nya? Maka pertolongan siapa yang bisa menandingi-Nya? Bukankah hanya kepada Dia semata kita seharusnya berharap, bertawakal, dan berserah?
Refleksi ini mengikis kebergantungan kita pada dunia, karena ternyata ruh kita pun tak pernah lepas dari genggaman-Nya, bahkan ketika kita tak sadar. Tidur adalah bukti kecil, kematian adalah bukti besar. Maka tidak ada syafaat, pertolongan, atau perlindungan sejati selain dari Allah—baik saat kita hidup, tidur, maupun mati.
Refleksi Pribadi: Saat Ruh Digenggam, Ketika Hati Belum Sadari
Bayangkan: setiap malam kita tidur, lalu bangun. Itu bukan sekadar istirahat, melainkan kita berada di ambang dua dunia—antara hidup dan mati kecil. Jika Allah hendak mengambil ruh kita saat tidur, Dia bisa saja menahan tanpa mengembalikan. Namun Allah memberi kita waktu kembali hingga ajal tiba. Betapa lembut namun tegas kekuasaan-Nya.
Kematian, besar atau kecil, bukan masih soal medis atau usaha manusia. Zubdatut Tafsir mengingatkan: tidak ada yang memegang ruh kecuali Allah. Kita bisa dikelilingi oleh ribuan dokter, obat mahal, atau terapi canggih—tetapi jika Allah menghendaki mengambil ruh, tak ada yang bisa menolak.
Dan sebaliknya, saat dunia menilai nyawa seseorang mustahil bertahan, jika Allah beri kehidupan, maka tak ada sebab manapun yang bisa menghentikannya.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏