TADABBUR QURAN: AL HAQQAH 27

TADABBUR QURAN: AL HAQQAH 27

Hai pencari cahaya! ✨🌝 

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 19 Juli 2025,

Saat Lumira takziah kemarin, ada ungkapan yang sering diucapkan oleh orang lain yang Lumira dengar. Biasanya orang sering menyebutkan, "Dia sudah pergi, dia sudah tidak menderita lagi." Begitulah kira-kira ungkapan tersebut yang Lumira pahami bahwa "penderitaan" hanya akan terjadi di dunia ini. Jadi ketika seseorang sedang menderita di dunia, lantas mereka meninggal dunia, maka konotasinya ialah ia tidak lagi menderita. Tapi....


TADABBUR QURAN: AL HAQQAH 27

Kadang, kalau kita dengar orang bilang, “Sekarang dia sudah tidak merasakan sakit lagi,” saat ada yang meninggal, itu memang bikin hati kita jadi lebih tenang. Tapi, sebenarnya dalam Islam, ada ajaran bahwa meskipun tubuh kita sudah tidak hidup, jiwa kita masih tetap "hidup" di alam yang lain. Alam itu namanya alam barzakh—tempat sementara sebelum hari kiamat tiba.

Nah, meskipun tubuh kita sudah tidak bisa merasakan sakit seperti waktu di dunia (misalnya jatuh atau sakit perut), tapi hati atau jiwa kita masih bisa merasakan sedih, menyesal, atau takut. Ini bukan rasa sakit seperti luka fisik, tapi rasa sakit yang berasal dari pikiran dan perasaan.

Misalnya nih, kalau dulu waktu hidup kita sering marah-marah, iri sama orang, atau suka bohong, semua itu akan ikut terbawa ke alam barzakh. Jiwa kita masih mengingat semua hal itu. Sama seperti kalau kamu pernah berbuat salah ke teman, lalu menyesal banget—nah, rasa itu bisa terasa walau tubuh kamu sedang tidur atau tidak bergerak.

Apakah Orang yang Sudah Meninggal Masih Merasa Sakit?

Coba bayangkan kalau tubuh itu seperti baju, dan jiwa adalah orang yang memakai baju itu. Kalau bajunya dilepas karena rusak atau kotor, orangnya masih tetap ada, kan? Begitu juga tubuh dan jiwa kita. Ketika kita meninggal, tubuh kita seperti baju yang dilepas, tapi jiwa kita tetap hidup dan sadar.

Karena itu, kita diajarkan untuk menjaga jiwa kita agar tetap bersih, bukan cuma tubuh. Menjaga jiwa artinya berbuat baik, berpikir positif, jujur, sabar, tidak sombong, dan tidak iri. Semua ini akan jadi bekal saat jiwa kita hidup di alam barzakh.

Kalau selama hidup jiwa kita terlatih sabar, ikhlas, dan selalu berbuat baik, nanti jiwa itu akan merasa tenang dan tidak menyesal. Tapi kalau selama hidup kita sering mengikuti hawa nafsu dan melakukan hal buruk, bisa jadi jiwa kita akan merasa menderita karena semua itu tetap kita bawa meski tubuh kita sudah tidak ada.

Kesadaran yang Selalu Ikut Kita

Kesadaran itu seperti cahaya kecil dalam hati kita yang tahu mana yang baik dan buruk. Saat kita melakukan sesuatu, kita tahu apakah itu salah atau benar. Nah, cahaya itu akan terus bersama kita, bahkan setelah kita meninggal.

Jadi, meski tubuh kita tidak bergerak, cahaya kesadaran itu tetap menyala. Ia mengingatkan kita tentang semua hal yang pernah kita lakukan. Kalau kita sering berbuat baik, kita akan merasa damai. Tapi kalau banyak keburukan, bisa jadi kita merasa gelisah dan menyesal.

Karena itu, penting banget untuk selalu belajar menjadi orang baik sejak kecil. Meskipun kita belum sempurna, tapi setiap kali kita berusaha memperbaiki diri, jiwa kita akan makin kuat dan bersinar. Dan in shaa Allah, saat jiwa itu memasuki alam barzakh, ia akan merasakan ketenangan, bukan penderitaan.

Penyesalan Yang Terlambat

“Wahai, kiranya kematian yang telah kualami di dunia itulah yang menyudahi segala sesuatu…”

Begitulah keluh kesah orang yang kafir saat menyadari bahwa kehidupan tak berakhir saat napas terakhir di dunia tercabut. Ia berharap kematian menjadi pintu penutup segalanya. Sayangnya, harapan itu sia-sia. Ayat Al Haqqah 27 menggambarkan kesedihan dan penyesalan luar biasa, sebab apa yang dulu mereka sangkal kini terbukti nyata.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يٰلَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَۚ

Seandainya saja ia (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu.

Al-Ḥāqqah [69]:27

Saya pun terhenyak saat membaca ayat ini. Seolah menjadi peringatan pribadi bahwa kehidupan ini tidak berakhir di liang kubur. Dunia bukan terminal akhir, melainkan ruang tunggu sebelum kehidupan yang abadi. Kalau di dunia ini saya hidup semaunya, mengabaikan perintah Allah, lalu berharap kematian bisa jadi “penyelesaian semua masalah,” itu hanya mimpi yang menyesatkan.

Terkadang saya juga merasa terlalu santai. Seolah-olah waktu masih panjang dan kematian masih jauh. Tapi ayat ini menyadarkan: penyesalan di akhirat datang dari mereka yang tahu kebenaran, tapi mengabaikannya. Mereka sadar bahwa hari akhir itu nyata, tapi menutup mata. Maka, ketika akhirnya dibangkitkan, mereka tidak bisa mengelak lagi. Dan itu menyakitkan.

Pendapat Ahli Tafsir

Dalam ayat ke-27 surah Al-Ḥāqqah, Allah menggambarkan penyesalan mendalam dari orang-orang yang di akhirat menerima catatan amal mereka dengan tangan kiri—pertanda kecelakaan besar. Dengan penuh keputusasaan mereka berkata, “Wahai, kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu.” 

Kalimat ini bukan sekadar ratapan, melainkan cermin dari kesadaran pahit bahwa kehidupan dunia yang selama ini dibanggakan ternyata tidak berbekas apa pun dalam menyelamatkan mereka dari murka Allah. Mereka berharap kematian di dunia adalah akhir dari segalanya, agar tidak harus menanggung akibat dari pilihan hidup mereka.

Tafsir para ulama seperti Ibnu Katsir dan As-Sa‘di menekankan bahwa harapan agar kematian menjadi akhir justru menunjukkan kengerian yang mereka saksikan: tidak ada satu pun penolong yang tersisa. Segala yang dulunya dibanggakan—harta, status, dan relasi sosial—lenyap tanpa daya guna. 

Dalam Tafsir Tahlili dijelaskan bahwa harapan ini muncul karena mereka mengira kehidupan berhenti saat jasad dikubur. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa kehidupan setelah mati bukan hanya nyata, tapi jauh lebih menentukan. Kalimat “kematian menyelesaikan segalanya” justru menunjukkan ketidaksiapan mereka dalam menghadapi realitas yang sudah dijanjikan.

Ayat ini menjadi pengingat tajam bagi kita semua bahwa hidup bukan sekadar menikmati dunia, melainkan menyiapkan diri menghadapi kehidupan yang lebih kekal. Kematian bukan akhir cerita, tetapi pintu menuju babak baru yang mempertanggungjawabkan segalanya. 

Maka, selama kita masih diberi waktu di dunia, kita harus menjadikannya ladang amal. Jangan sampai kita menjadi orang yang kelak berharap kematian adalah akhir, hanya karena kita tidak pernah sungguh-sungguh menyiapkan diri untuk kehidupan setelahnya.

Untuk memahami ayat ini, kita memang harus membaca Al Haqqah dari mulai ayat ke 25 hingga 37 tentang bagaimana suasana manusia ketika menghadapi kehidupan di akhirat kelak. Al-Ḥāqqah (ٱلْحَاقَّةُ) secara bahasa berasal dari akar kata "ḥaqq" (حقّ) yang berarti kebenaran, kenyataan, atau sesuatu yang pasti terjadi.

Dalam konteks surah Al-Ḥāqqah, kata ini merujuk pada Hari Kiamat—sebagai peristiwa yang pasti, tak terhindarkan, dan benar-benar akan terjadi. Maka, Al-Ḥāqqah sering diterjemahkan sebagai:
  • "Hari Kiamat yang Pasti Terjadi",
  • "Yang Nyata", atau
  • "Peristiwa yang Pasti Menimpa".

Dunia Ini Bukan Rumah, Tapi Sekolah

Ada satu pengandaian yang sangat menggugah hati saya: hidup ini ibarat sekolah, dan kita semua adalah siswa yang ditugaskan Allah untuk belajar mengenal-Nya, memahami kebenaran, serta mengolah jiwa agar semakin tenang dan matang. Di sekolah ini, kita diberi waktu, kesempatan, dan pelajaran—yaitu Al-Qur’an dan berbagai ujian hidup—untuk melatih diri agar pantas pulang ke rumah: surga.

Tapi, seperti murid nakal, banyak dari kita malah abai. Kita sibuk main-main, asyik membully, mencari popularitas, membangun citra, atau mengumpulkan nilai-nilai duniawi tanpa peduli pada kualitas batin kita. Akhirnya, jiwa kita tumbuh cacat, tidak siap menghadapi hari pengadilan. Ketika tiba waktu pulang, justru kita dihukum, bukan disambut. Jiwa yang disambut adalah jiwa yang tenang seperti yang tertuang dalam Al Fajr 27-30, 

"Wahai Jiwa yang tenang! Kembalilah pada Tuhanmu dengan hati ridha dan diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah dalam Surga-Ku" 

Qs. Al Fajr 27-30

Allah dalam QS Al-A‘raf ayat 172 telah bersumpah bahwa kita semua dulu pernah bersaksi bahwa Dia adalah Tuhan kita. Kita lahir dengan fitrah yang tahu arah pulang. Tapi semakin besar, kita justru menyimpang dari fitrah itu. Maka, saat saya membaca ayat ini, saya merasa ditampar. Saya ingin belajar lagi. Saya ingin menata kembali hidup saya agar bisa pulang ke rumah-Nya dengan wajah bersih dan jiwa yang tenang.

Jiwa yang Tenang Tidak Datang dengan Sendirinya

Satu hal yang saya pelajari dari tadabbur ini adalah: jiwa yang tenang tidak datang tiba-tiba. Ia adalah hasil dari latihan, dari luka yang disikapi sabar, dari kekecewaan yang dimaafkan, dari keikhlasan yang dipertahankan. Jiwa itu harus dipersiapkan sebelum kematian datang. Karena saat kematian tiba, tidak ada lagi proses belajar. Tidak ada kesempatan memperbaiki.

Kalau hari ini saya merasa sulit menahan amarah, malas beribadah, atau berat mengendalikan hawa nafsu, mungkin itu adalah tanda bahwa jiwa saya masih belum “siap pulang.” Maka, hidup ini harus saya anggap sebagai tempat pelatihan. 

Kuncinya bukan menjadi sempurna, tapi terus berlatih—berlatih mencintai Allah, berlatih meninggalkan yang sia-sia, berlatih menghadapi dunia dengan tenang. Agar menjadi golongan hamba-hamba Allah yang disambut di hari kiamat kelak.

Bila saya tidak mengambil pelajaran hari ini, bagaimana saya bisa berharap menjadi tenang besok? Jiwa itu tidak akan berubah dengan sendirinya. Ia harus dibentuk, ditempa. Tadabbur ini membuat saya sadar bahwa setiap hari adalah peluang emas untuk menyiapkan pulang. Dan kalau saya tidak mulai sekarang, kapan lagi?

Tadabbur ini mengajak kita untuk berpikir ulang: sudahkah kita menyiapkan jiwa ini untuk kehidupan yang sebenarnya? Sudahkah kita mengisi hari-hari dengan latihan membersihkan hati dan memperbaiki diri?

Kematian bukan akhir. Ia adalah gerbang menuju hidup yang sebenarnya. Jiwa yang tenang akan merasa damai. Tapi jiwa yang kotor akan tetap membawa bebannya sendiri. Maka, mari belajar. Mari benahi hati, mumpung masih diberi waktu.

Posting Komentar

0 Komentar