TADABBUR QURAN: AL MU'MINUN 99 - 100

TADABBUR QURAN: AL MU'MINUN 99 - 100

Hai pencari cahaya! ✨🌝 

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 20 Juli 2025, 

Apa jadinya jika penyesalan datang saat segalanya sudah terlambat? Masih dalam rangkaian catatan tentang kematian, hari ini Lumira ingin mengajak kamu merenungi nasib jiwa-jiwa yang menyesal di akhirat kelak — mereka yang semasa hidupnya mengabaikan perintah Allah SWT, seolah dunia akan berlangsung selamanya.


TADABBUR QURAN: AL MU'MINUN 99 - 100

Hari ini saya memutuskan untuk membuat catatan dari QS. Al Mu'minun. Awalnya saya ingin membuat tadabbur QS. Al An'am, tapi setelah membaca ayat dan tafsirnya, lanjutan QS. Al Mu'minun ini lebih runut dengan apa yang kita bahas kemarin. Mungkin kalian bertanya. "mengapa begitu?". Setelah sebelumnya saya membahas tentang divine web, rasanya ayat ini jadi lebih melekat dengan Al Haqqah 27 agar saya bisa lebih memahami konteksnya. 

Saat membuat catatan ini, saya sadar bahwa sebenarnya Allah SWT itu sudah memfasilitasi kita dengan pengetahuan gaib tentang apa yang akan terjadi di hari kiamat kelak. Sayangnya sebagian dari kita (termasuk saya dahulunya) menganggap bahwa narasi tersebut hanyalah sebuah dongeng belaka. Padahal melalui Al Quran Allah SWT sudah memberikan bocoran-bocoran alam gaib yang akan terjadi di masa mendatang. 

Bukankah ilmu pengetahuan yang pernah dibahas di dalam Al Quran sejak 1400 tahun lalu sudah banyak terbukti kebenarannya di masa sekarang? Satu per satu sains dan penelitian membuktikan apa yang sudah diungkapkan oleh Al Quran tentang segala sesuatu. Jadi, tidak mustahil bila penjelasan tentang dunia akhirat--cepat atau lambat--akan kita alami juga. 

Pendapat Ahli Tafsir 

Dalam tafsir Kementerian Agama dan Tafsir Tahlili untuk QS. Al Mu'minun 99, dijelaskan bahwa ayat ini berbicara tentang kondisi orang-orang kafir yang ketika hidupnya dipenuhi kesombongan dan penolakan terhadap kebenaran. Mereka pernah punya kesempatan untuk beriman, namun mereka memilih jalan takabur. 

Mereka mencibir peringatan, mengabaikan seruan para nabi, bahkan memperolok orang-orang yang beriman. Tapi ketika maut menjemput, kesadaran itu datang terlambat. Penyesalan pun mencuat, dan mereka memohon agar bisa kembali ke dunia. Namun saat itu, pintu tobat sudah tertutup.

Permintaan mereka bukanlah lahir dari hati yang tulus, melainkan sekadar pelarian dari rasa takut. Allah tahu isi hati manusia. Seandainya mereka dikembalikan pun, mereka akan kembali kepada kebiasaan lama: mengingkari ayat-ayat-Nya, menolak petunjuk-Nya, dan mencintai dunia melebihi akhirat. 

Bahkan dalam QS Al-An’am ayat 27–28 ditegaskan bahwa keinginan mereka hanyalah kepura-puraan. Mereka berdusta kepada diri sendiri — berharap bisa memperbaiki keadaan, padahal jika diberi kesempatan, mereka akan tetap mengulangi kesalahan yang sama.

Di hadapan mereka, Allah bentangkan barzakh — batas antara dunia dan akhirat, tempat penantian hingga hari kebangkitan. Barzakh menjadi tirai pemisah yang tidak bisa ditembus. Dari sana mereka hanya bisa melihat ke belakang, menyesali kehidupan yang telah mereka abaikan. 

Dalam konteks ini, Lumira teringat QS Al-Haqqah ayat 27, ketika sebagian manusia berkata dengan penuh penyesalan: "Seandainya saja ia (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu." Penyesalan ini bukan sekadar karena mereka berdosa, tapi karena mereka menyia-nyiakan waktu untuk belajar mengenal Allah dan mencari bekal akhirat.

Tadabbur ini menjadi alarm bagi Lumira — bahwa hidup ini bukan sekadar tentang bertahan, tapi tentang memahami untuk apa kita diciptakan. Karena ketika sakaratul maut datang, tidak ada lagi ruang untuk kembali, tidak ada lagi kesempatan untuk berkata, "Aku akan berubah besok." 

Hari ini adalah satu-satunya hari yang kita punya. Maka mari gunakan detik-detik ini bukan hanya untuk menjalani hidup, tapi juga untuk menyadari hakikatnya. Karena kelak, bukan penyesalan yang menyelamatkan kita, tapi kesadaran yang kita pelihara sejak sekarang.

Tangisan Tak Mengubah Takdir

Ayat ini menggambarkan penyesalan terdalam yang akan dirasakan oleh orang-orang kafir atau mereka yang semasa hidup melalaikan perintah Allah SWT. Ketika ajal datang dan malaikat maut mencabut nyawa, mereka sadar bahwa semua kesenangan dunia akan berakhir. 

Dalam ketakutan dan kesadaran yang terlambat, mereka memohon kepada Allah: "Ya Tuhanku, kembalikanlah aku ke dunia, agar aku dapat beramal shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan." Namun Allah menolak permohonan itu. Waktu mereka telah habis. Mereka kini memasuki alam barzakh — batas pemisah yang tidak bisa ditembus hingga hari kebangkitan.

Tafsir Ibnu Katsir menegaskan bahwa permintaan itu hanyalah sekadar ucapan, bukan karena ketulusan. Allah tahu, seandainya pun mereka dikembalikan, mereka tetap akan mengulang keburukan yang dulu mereka lakukan. 

Firman Allah dalam Surah Al-An’am menguatkan bahwa mereka sebenarnya pendusta — hanya panik ketika melihat azab di hadapan mata. Bahkan Rasulullah ﷺ meriwayatkan, orang kafir di dalam kuburnya akan melihat tempatnya di neraka dan terus disiksa hingga hari kiamat. Penyesalan itu tidak lagi berguna, sebab mereka telah diberi cukup waktu saat hidup, namun mengabaikannya.

Dari Markaz Tadabbur, kita diajak untuk merenung: para pendosa itu tidak meminta kembali ke dunia untuk membangun rumah atau mengumpulkan harta, tetapi untuk beramal shalih — sesuatu yang kini masih bisa kita lakukan. 

Maka beruntunglah mereka yang mendapat nikmat waktu dan kesempatan untuk berbuat baik, apalagi di musim-musim kebaikan seperti Ramadhan atau hari-hari utama lainnya. Ayat ini adalah peringatan lembut sekaligus tegas: jangan sampai kita menjadi bagian dari mereka yang hanya bisa menyesal di akhir, ketika tidak ada lagi satu detik pun untuk berubah.

Dengan belajar tadabbur Al Mu'minun saya jadi lebih sadar akan pentingnya memanfaatkan waktu dan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Dunia ini penuh dengan distraksi yang membuat kita lalai untuk belajar. Scrolling timeline, menonton video dari waktu ke waktu, atau bahkan ngobrol hal-hal gak penting dengan besti yang berakhir dengan berghibah. 

Bukan berati kita tidak boleh bersosialisasi, tetapi setidaknya kita memiliki porsi-porsi tersendiri dalam memetakan waktu agar hari kita tidak hanya habis dengan ngomongin orang lain, sementara kesempatan kita untuk belajar dan memperbaiki diri sendiri tidak ada. Betapa ruginya kita mendapati diri yang seperti itu. 

Posting Komentar

0 Komentar