TADABBUR QURAN: MUHAMMAD 24

TADABBUR QURAN: MUHAMMAD 24

Hai pencari cahaya! ✨🌝 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 2 Juli 2025,

Alhamdulillah, hari ini Lumira akan melanjutkan tentang ayat-ayat yang membahas tadabbur Quran. Setelah kemarin kita belajar tentang QS. An Nisa 82 dan QS. Sad 29, kali ini kita akan belajar QS, Muhammad ayat 24. 

TADABBUR QURAN: MUHAMMAD 24


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا 

Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an ataukah hati mereka sudah terkunci?

Muḥammad  [47]:24

Ayat yang pendek ini menampar kesadaran saya. Apakah selama ini saya benar-benar membaca Al-Qur’an dengan hati yang terbuka, atau sekadar melafalkannya agar merasa "berinteraksi"? Ayat ini seperti mengetuk pintu jiwa yang mungkin sudah lama tertutup debu kebiasaan, rutinitas yang hampa dari rasa.

Dalam Tafsir Tahlili, ayat ini tidak hanya berbicara kepada kaum munafik pada masa Rasulullah, tapi juga menggambarkan kondisi hati manusia secara umum. Mereka yang tidak merenungi ayat-ayat Al-Qur’an digambarkan seperti orang yang hatinya telah tertutup rapat. Bahkan, disebutkan bahwa mereka bekerja sama dengan Bani Nadhir dan Bani Quraizhah untuk menjatuhkan kaum muslimin. Kemunafikan bukan hanya dalam kata dan sikap, tapi dalam ketidakmampuan menerima cahaya Al-Qur’an.

Saya merenungi, apakah mungkin hari ini saya juga menjadi bagian dari mereka yang hatinya terkunci? Bukan karena saya menolak Al-Qur’an secara terang-terangan, tapi karena saya tidak membukakan ruang dalam hati untuk memahaminya. 

Saya lebih cepat membaca berita, menyukai unggahan Instagram, atau menonton video inspiratif, daripada diam bersama mushaf. Ayat ini seperti menyodorkan cermin kepada saya: siapa sebenarnya yang sedang membaca, dan siapa yang sedang dibaca?

Kisah Umar dan Kunci yang Tak Terlihat

Sebuah kisah dalam penjelasan Li Yaddabbaru Ayatih yakni Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, menggugah hati saya. Seorang pemuda membaca ayat ini bersama Umar bin Khattab:

{ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَآ }

Lalu ia berkata, "Ya Allah, kuncinya ada di sana, dan di tangan-Mu ada pembukanya. Tidak ada yang membukakannya kecuali Engkau." 

Umar terkesan dan menyampaikan bahwa doa itu telah menambah kebaikan dalam dirinya. Saya membayangkan detik itu sebagai momen di mana ayat benar-benar “hidup”—bukan hanya dibaca, tapi diresapi dan dirasakan.

Kadang saya lupa bahwa Al-Qur’an bukan hanya untuk dipelajari dari sisi hukum atau kisah-kisahnya, tapi juga untuk dijadikan ladang dialog dengan Allah. Ketika pemuda itu menyadari bahwa hatinya mungkin terkunci, ia tidak lari, tapi justru memohon: "Ya Allah, bukakan kuncinya." Ini menunjukkan bahwa bahkan saat kita merasa jauh dari Al-Qur’an, kita masih bisa kembali melalui doa dan ketulusan.

Setiap hati memang punya kuncinya masing-masing, dan mungkin itulah kenapa Allah memberi isyarat dalam bentuk metafora "gembok". Saya mulai menyadari bahwa tadabbur bukan soal intelektualisme, tapi soal kerendahan hati. Ketika kita merasa telah tahu semuanya, saat itulah hati mulai tertutup perlahan. Tapi saat kita sadar akan keterbatasan kita, di situlah celah cahaya masuk.

Antara Bacaan dan Pemahaman

Saya teringat kalimat dari Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil, pengasuh Markaz Li Yaddabbaru Ayatihi:

“Kamu akan menjumpai di Masjidil Haram lima puluh ribu orang membaca Al-Qur’an, namun tidak sampai lima puluh yang memahami makna dari apa yang dibaca.”

Kalimat ini seperti teguran yang lembut tapi tajam. Betapa banyak dari kita yang larut dalam bacaan harfiah, mengejar jumlah halaman atau juz, tapi tidak memberi waktu untuk duduk tenang bersama satu ayat.

Saya tidak ingin meremehkan pahala membaca Al-Qur’an, karena memang membaca satu huruf pun diberi ganjaran. Tapi ketika ayat ini muncul di hadapan saya, saya merasa tertantang untuk bertanya: 
  • Apa yang saya pahami dari bacaan saya selama ini? 
  • Apakah saya hanya mengejar "target khatam" tapi lupa mengejar "kedekatan makna"? 
  • Apakah saya membaca hanya agar merasa religius?

Saat ini kita hidup dalam budaya serba cepat. Informasi dikonsumsi dengan scroll, bukan direnungi. Maka, tidak heran jika Al-Qur’an pun diperlakukan seperti konten cepat—dibaca lalu ditinggal. Padahal Allah bertanya langsung kepada kita:

"Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Atau hati mereka telah terkunci?"

Pertanyaan itu adalah pukulan lembut yang ingin membangunkan kita dari kebiasaan yang menumpulkan rasa.

Warisan Penyakit Hati dari Kaum yang Lalu

Penjelasan lanjutan dari Markaz Tadabbur menyebutkan bahwa penyakit hati orang munafik dan kafir diwariskan pada generasi berikutnya. Mereka bukan sekadar tidak membaca, tapi mengejek ayat-ayat Allah, seperti disebut dalam QS. Luqman: 7. Saya sempat merenung: 

Apakah mungkin warisan ini menyelinap dalam cara saya memperlakukan Al-Qur’an hari ini?

Mereka yang menyerukan agar Al-Qur’an tidak digunakan dalam sistem kehidupan modern, menurut tafsir ini, telah terjangkit penyakit lama itu. Bagi mereka, Al-Qur’an cukup dibaca saat tahlilan, atau ketika ada perayaan. Tapi untuk hukum, pendidikan, bahkan etika bermedia sosial, mereka lebih percaya pada norma buatan manusia. Padahal justru di sanalah letak pentingnya Al-Qur’an, yakni menjadi kompas kehidupan, bukan sekadar bacaan.

Saya teringat momen ketika saya sendiri bingung menghadapi pilihan hidup, tapi enggan membuka mushaf. Padahal ayat demi ayat bisa saja mengandung jawaban. Namun, jika hati tertutup, maka Al-Qur’an akan terasa asing, meski duduk tepat di pangkuan kita. Warisan sesat itu bukan sesuatu yang kita sadari langsung, tapi ia masuk melalui kelalaian yang kecil dan konsisten.

Refleksi di Tengah Derasnya Arus Digital

Hari ini, kita mungkin bukan bagian dari kaum munafik atau musuh Islam seperti di masa Rasul. Tapi kita bisa menjadi bagian dari mereka yang lalai, yang membaca tapi tidak memahami, mendengar tapi tidak tersentuh. Seperti kata ulama salaf, "Bukan banyaknya hafalan yang membuat kita dekat dengan Al-Qur’an, tapi sejauh mana kita menyatu dengan maknanya."

Saya merenungi, bagaimana mungkin saya begitu cepat percaya pada hoaks yang tersebar di media sosial, tapi begitu lambat mempercayai janji-janji Allah dalam Al-Qur’an? Padahal Al-Qur’an itu benar dan tak pernah salah. Namun jika hati kita tidak diberi ruang untuk mengendapkan makna-maknanya, maka ia hanya akan lewat seperti angin lalu: tak berbekas, tak menumbuhkan.

Tadabbur adalah bentuk interaksi paling manusiawi dengan Al-Qur’an. Ia bukan sekadar belajar tafsir, tapi menundukkan diri untuk mendengar suara Tuhan melalui ayat-ayat-Nya. 

Maka, ketika kita membaca QS. Muhammad: 24, jangan hanya lewatkan begitu saja. Mungkin ayat itu bukan sekadar teguran untuk orang lain, tapi panggilan personal dari Allah—agar kita kembali membuka hati yang sudah lama terkunci.

Menulis tadabbur harian melalui catatan digital ini adalah salah satu cara yang saya pilih agar tetap terhubung dengan Al-Qur’an setiap hari. Di tengah kesibukan dan arus informasi yang begitu deras, saya merasa perlu menciptakan ruang khusus di mana saya bisa benar-benar hadir dan mendengarkan firman Allah, walau hanya lewat satu ayat. Dengan menuliskannya, saya tidak hanya membaca, tetapi juga memproses, merenungi, dan berusaha menangkap pesan yang Allah titipkan kepada saya hari itu.

Cara ini membuat saya memiliki “rutinitas ruhani” yang nyata. Mau tidak mau, saya harus membuka mushaf, mencari tafsir, dan belajar memahami konteks ayat yang saya pilih. Meskipun hanya satu ayat, namun dampaknya terasa besar, karena setiap kali saya menuliskannya, saya merasa sedang berdialog dengan Allah. 

Dan setiap kali saya membagikannya, saya berharap itu bukan hanya menjadi catatan pribadi, tapi juga pengingat bagi siapa pun yang membacanya, termasuk diri saya sendiri di masa depan.

Posting Komentar

0 Komentar