بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan Lumira, 21 Juli 2025.
Beberapa waktu lalu, Lumira menyaksikan (sekali lagi) sebuah pola lama yang kembali terulang: fitnah dan manipulasi yang dilontarkan tidak sendirian, melainkan dalam kelompok. Ada yang menyebarkan kabar bohong, ada yang mengamini, dan ada yang diam sebagai bentuk dukungan terselubung. Semua seolah terorganisir untuk satu tujuan: menjatuhkan satu orang yang tak sesuai dengan kehendak mereka.
TADABBUR QURAN: AL JASIYAH 19
Di era digital, bentuk kezaliman semakin meluas dan instan. Salah satunya adalah fenomena cancel culture—di mana seseorang dihakimi, dijatuhkan, bahkan “dihapus” secara sosial oleh publik melalui media sosial. Manusia berbondong-bondong menyerang lewat komentar, meme, hingga kampanye digital yang brutal.
Namun yang menyedihkan adalah, seringkali dasar dari canceling itu hanyalah potongan informasi yang belum tentu mencerminkan kebenaran yang utuh. Setelah berita reda dan fakta sesungguhnya terungkap, tak sedikit dari mereka yang mengaku menyesal, tapi jejak luka di hati korbannya telah terlanjur membekas.
Dulu, kezaliman disebar lewat bisikan dan fitnah tersembunyi di balik punggung. Kini, ia menjelma menjadi serangan terbuka di dunia maya. Jika dulu mereka berkumpul diam-diam, sekarang mereka bersatu secara digital dalam bentuk komentar, postingan, dan kampanye kolektif. Inilah wajah baru dari kezaliman berjamaah yang sama: cancel culture.
Budaya Cancel Culture
Cancel culture adalah wajah baru dari jaringan kezaliman yang dulu dilakukan dalam bisik-bisik dan kini disebar lewat algoritma. Ia memanfaatkan kerumunan digital untuk menjatuhkan seseorang secara psikologis, sosial, bahkan spiritual.
Di sinilah kekuatan QS Al-Jāṡiyah: 19 menemukan maknanya yang sangat relevan: orang-orang zalim saling menjadi pelindung satu sama lain, tapi Allah adalah pelindung bagi orang-orang bertakwa.
Fenomena ini menyisakan tanya yang dalam: mengapa orang-orang ini tampak begitu kuat saat bersama, tapi begitu rapuh saat berdiri sendiri? Mengapa kezaliman justru terasa "berani" ketika dilakukan secara kolektif? Padahal, jika mereka yakin akan kebenaran yang dibawa, mestinya tak perlu berlindung di balik kerumunan.
Ternyata, jawaban itu datang dari firman Allah ﷻ sendiri dalam QS Al-Jāṡiyah ayat 19. Ayat ini bukan hanya menjelaskan relasi antara kebenaran dan pertolongan Allah, tapi juga membongkar strategi klasik kezaliman: saling melindungi dalam kesesatan.
Paradoksnya, cancel culture kadang terasa normal karena targetnya memang bermasalah. Banyak yang berpikir, “kalau bukan lewat publikasi viral, kejahatan ini takkan pernah terungkap.” Tapi di sinilah batas moral menjadi kabur.
Kita membenarkan tindakan merundung karena objeknya memang bersalah, tanpa menyadari bahwa metode penghukuman kita bisa saja jauh lebih zalim. Dalam kondisi seperti ini, apakah kita benar-benar memperjuangkan kebenaran, atau justru mencari pelampiasan emosi dalam balutan “moralitas kolektif”?
Jaringan Kezaliman vs Naungan Allah
Allah ﷻ berfirman:"Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menghindarkan engkau sedikit pun dari (azab) Allah. Sesungguhnya orang-orang zalim itu sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Adapun Allah adalah pelindung orang-orang bertakwa."(QS Al-Jāṡiyah: 19)
Menurut Tafsir Kemenag, ayat ini menegaskan bahwa kaum kafir dan zalim tidak akan mampu menolong sesamanya dari azab Allah. Perlindungan mereka bersifat semu dan hanya berlaku di dunia. Mereka membentuk aliansi kebatilan untuk saling menopang, namun tak satu pun dari mereka mampu menyelamatkan diri di hadapan keadilan Ilahi.
Tafsir Tahlili menambahkan bahwa kezaliman mereka bukan sekadar bersifat individual, melainkan sistemik. Mereka bersekongkol menentang kebenaran, membentuk jaringan untuk mengganggu misi para nabi dan menghancurkan umat yang lurus. Namun, di akhirat, solidaritas palsu ini akan lenyap. Masing-masing harus bertanggung jawab atas pilihannya.
Menurut Ibnu Katsir, "pertolongan" mereka hanya akan menghasilkan kerugian dan kebinasaan. Berbeda dengan orang bertakwa, yang dituntun dari gelap ke terang oleh Allah sebagai pelindung sejati.
Sementara Al-Wajiz menggarisbawahi bahwa mereka saling menolong hanya dalam kebatilan dan kesyirikan, bukan dalam nilai dan kebenaran. Inilah sebabnya mereka lemah dalam cahaya, tapi agresif dalam kegelapan. Apakah fenomena fans fanatik para Idol salah satunya?
Psikologi Kelompok: Validasi dan Ketakutan yang Mengakar
Dari sudut pandang psikologi sosial, fenomena orang zalim yang berkelompok dijelaskan oleh teori konformitas dan kekuatan kelompok. Orang cenderung melakukan hal-hal yang tidak berani mereka lakukan sendiri saat mereka merasa "dilindungi" oleh kelompoknya. Dalam konteks kezaliman, keberanian untuk memfitnah, mencaci, dan menjatuhkan muncul karena adanya dukungan sosial, meski dukungan itu dibangun di atas ilusi.
Mengapa orang zalim senang berkelompok? Mengapa fitnah lebih mudah menyebar dalam keramaian? Dalam psikologi, ada istilah “collective narcissism”—yakni kecenderungan merasa superior sebagai bagian dari kelompok tertentu, sekaligus merendahkan siapa pun di luar kelompok itu.
Di dalam struktur ini, kebenaran bukan lagi acuan. Loyalitas pada kelompok menjadi nilai tertinggi, dan siapa pun yang bersikap jujur, apalagi menentang norma dalam lingkaran, dianggap sebagai ancaman.
Kasus pesilat dari sebuah perguruan silat Indonesia di Jepang bisa menjadi salah satu contohnya. Dalam video yang viral, sekelompok orang mengenakan seragam khas dan membentangkan spanduk di jembatan umum Jepang, tanpa izin otoritas setempat.
Aksi tersebut bukan hanya dianggap tidak menghargai budaya lokal, tapi juga menyulut kritik karena dianggap mempertontonkan kekuatan identitas kelompok secara berlebihan. Yang menarik, mereka tak melakukannya sendirian. Ini menjadi gambaran nyata bagaimana kolektifitas sering digunakan sebagai pelindung semu untuk menutupi tindakan yang menyimpang.
Orang-orang berbondong-bondong menjadi "hakim" di internet, menyerang seseorang hanya berdasarkan potongan narasi yang belum tentu benar. Rasa bersalah baru muncul setelah semuanya reda—ketika dampak psikologis pada korban sudah membekas dalam.
Mereka takut ditinggalkan, takut menjadi minoritas, takut menghadapi kebenaran sendirian. Maka muncul hasrat besar akan validasi—baik melalui likes, komentar, atau sekadar persetujuan lisan. Kejujuran menjadi asing di tengah budaya saling dukung dalam keburukan.
Tapi di balik semua ini, ayat Allah SWT telah memberi peringatan yang jelas: “Sesungguhnya orang-orang zalim itu sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Adapun Allah adalah pelindung orang-orang bertakwa.” (QS. Al-Jāṡiyah: 19). Maka, penting bagi seorang mukmin untuk tidak ikut hanyut dalam sirkulasi kebatilan yang menyamar sebagai solidaritas.
Filsafat: Mengapa Kejahatan Terorganisir Lebih Efektif?
Dalam filsafat moral, Hannah Arendt menyebut fenomena seperti ini sebagai "banality of evil"—kejahatan bukan selalu lahir dari niat jahat yang besar, tapi dari ketaatan buta terhadap sistem, kebiasaan, atau kelompok. Orang bisa menjadi zalim bukan karena ia jahat, tapi karena ia tidak berpikir secara moral. Ia hanya mengikuti.
Filsuf seperti Plato dan Nietzsche juga menyampaikan bahwa kejahatan bisa tumbuh dalam komunitas ketika nilai-nilai kebenaran digantikan oleh konsensus. Kebenaran tak lagi penting, yang penting adalah diterima. Maka, siapa yang tidak sesuai narasi kelompok akan disingkirkan, tak peduli benar atau salah.
Akar lain dari fenomena ini adalah relativisme etis, di mana baik dan buruk ditentukan oleh siapa yang mayoritas. Fitnah pun bisa dibungkus sebagai "kebenaran bersama", padahal hanya cermin dari keberpihakan semu.
Itulah mengapa Lumira tidak lagi aktif ikut serta reaktif dan responsif terhadap hal-hal yang sedang viral. Dulu, Lumira sering mengikuti arus FOMO agar tidak ketinggalan zaman. Namun, karena hal inilah yang justru membuat Lumira menjadi orang julid dan overthinking yang tidak perlu.
Sains dan Evolusi Sosial: Bertahan Lewat Koalisi
Secara ilmiah, manusia adalah makhluk sosial yang secara evolusioner terbentuk untuk bertahan lewat kerja sama. Dalam dunia purba, keterasingan berarti kematian. Maka, otak manusia berkembang untuk mencari aliansi sosial, bahkan dengan mengorbankan moral jika diperlukan demi diterima kelompok.
Fenomena ini diperkuat oleh konsep “ingroup bias”—kecenderungan untuk membela kelompok sendiri meskipun tahu mereka salah. Otak manusia mencari kenyamanan, bukan kebenaran. Inilah alasan mengapa seseorang bisa tahu ia memfitnah, namun tetap melakukannya karena takut dikeluarkan dari lingkaran sosial.
Namun QS Al-Jāṡiyah:19 menjadi pembeda penting. Di saat manusia sibuk mencari perlindungan lewat koalisi duniawi, Allah justru menawarkan perlindungan abadi bagi orang-orang bertakwa. Allah tidak membutuhkan massa untuk membela satu jiwa yang ikhlas dan lurus.
Pilih Siapa yang Menjadi Pelindungmu
Jika pelindungmu adalah manusia, maka kamu akan tunduk pada selera dan tekanan manusia. Tapi jika pelindungmu adalah Allah, kamu akan berjalan dalam cahaya meski dunia menolakmu. Maka, biarkan mereka membangun benteng kezaliman yang besar—karena semua itu tidak akan mampu melindungi dari kebenaran yang akan datang.
“Kebenaran tidak membutuhkan koalisi, cukup Allah sebagai pelindungnya. Sedang kebatilan, selalu butuh keramaian agar tampak kuat meski rapuh.”
Di tengah tekanan sosial dan dominasi sirkulasi toksik yang kerap menjatuhkan satu orang demi menjaga ilusi kelompok, seorang Muslim perlu memiliki kekuatan ruhani yang tidak bisa disentuh oleh manusia mana pun.
Kekuatan itu ada dalam kalimat: حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ – Hasbunallāh wa ni‘mal wakīl, “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.”
Menanamkan kalimat ini bukan hanya sebagai doa, tapi juga prinsip hidup yang meneguhkan jiwa. Karena siapa pun yang bergantung pada Allah, akan memiliki fondasi batin yang tidak mudah diguncang. Meskipun ribuan manusia zalim berusaha menjatuhkannya, mereka tidak akan bisa menyentuh esensi jiwanya—kecuali atas izin Allah, yang di dalamnya pun pasti terkandung hikmah, pembelajaran, atau peninggian derajat.
Maka, tak perlu takut meski sendirian dalam kebenaran. Tak perlu gentar meski difitnah dan dikeroyok dalam kezaliman. Selama hati tetap terpaut pada-Nya, tak ada satu pun manusia yang bisa menghancurkanmu.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏