TADABBUR QURAN: AL QIYAMAH 7-9 & GERHANA BULAN

TADABBUR QURAN: AL QIYAMAH 7-9 & GERHANA BULAN

Hai pencari cahaya! ✨🌝 

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 5 September 2025.

Dulu saya sempat bingung mengapa sebagian orang begitu takut ketika gerhana datang. Saya justru sebaliknya: menunggu momen itu dengan penuh antusias, menyiapkan kamera, lalu mengabadikan keindahannya. Bagi saya, gerhana hanyalah fenomena alam yang jarang terjadi dan sayang bila dilewatkan. Perasaan kagum jauh lebih dominan daripada rasa takut atau cemas.

TADABBUR QURAN: AL QIYAMAH 7-9 & GERHANA BULAN 


Namun, setelah saya belajar tadabbur Al-Qur’an, membaca tafsir, dan mengikuti kajian, pandangan saya perlahan berubah. Gerhana bukan sekadar bayangan kosmik yang menutupi cahaya matahari atau bulan. Ia adalah salah satu tanda kebesaran Allah, sekaligus pengingat bahwa kelak akan ada hari di mana cahaya benar-benar sirna. Saat itu, yang tersisa hanyalah kegelapan mutlak, dan manusia tidak lagi bisa mengandalkan penglihatan duniawinya kecuali cahaya amal yang dibawanya.

Gerhana dalam Bayangan Al-Qur’an

Dalam QS. Al-Qiyamah ayat 7–9, Allah menggambarkan sebuah peristiwa besar: “Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari serta bulan dikumpulkan.” Ayat ini menjadi isyarat kuat bahwa peristiwa kosmik bisa menjadi pengingat akan kehancuran tatanan alam semesta.

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan, ketika mata manusia terbelalak, itu terjadi karena rasa takut yang amat hebat. Pandangan mata tidak berkedip, bingung, dan tercengang oleh kedahsyatan hari kiamat. Pada saat itu, bulan kehilangan cahaya dan matahari digulung. Mujahid menafsirkan bahwa keduanya akan digulung dan tidak lagi memberi cahaya, sebagaimana digambarkan juga dalam QS. At-Takwir.

Gerhana memang hanya berlangsung sebentar, tetapi ia adalah miniatur kecil dari ayat ini. Dalam momen singkat itu, kita bisa merasakan betapa rapuhnya dunia: cahaya yang biasa kita andalkan ternyata bisa redup dalam sekejap.

Keterbatasan Manusia di Hadapan Langit

Fenomena gerhana juga menunjukkan keterbatasan manusia. Sains memang mampu menghitung kapan gerhana akan terjadi, tetapi tidak bisa memberi makna spiritual atas peristiwa tersebut. Dalam tafsir As-Sa’di, disebutkan bahwa matahari dan bulan kelak akan digabungkan dan dilemparkan ke neraka agar manusia tahu keduanya hanyalah makhluk Allah, bukan sesembahan. Dengan kata lain, cahaya yang kita agungkan di dunia pun pada akhirnya tunduk dan fana.

Dari sini, kita belajar bahwa manusia tak sepatutnya sombong dengan pengetahuan dan kemampuan teknologinya. Sebab, pada akhirnya, semua ciptaan tunduk pada aturan Allah. Ilmu astronomi mengajarkan kapan gerhana terjadi, tapi hanya wahyu yang memberi tahu untuk apa Allah menciptakannya.

Gerhana membuat kita sadar bahwa betapa kecilnya manusia dibandingkan semesta. Cahaya matahari yang sangat besar pun bisa hilang, apalagi hidup kita yang singkat. Karena itu, gerhana seharusnya melunakkan hati, bukan sekadar menjadi tontonan.

Gerhana sebagai Bayangan Hari Akhir

Ketika cahaya hilang dan kegelapan menguasai langit, manusia sering kali diliputi rasa cemas. Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kondisi ini kelak akan benar-benar terjadi pada hari kiamat: matahari dan bulan tidak lagi bercahaya, manusia terbelalak ketakutan, dan mereka bertanya: “Ke mana tempat lari?(QS. Al-Qiyamah: 10). Namun, Allah menegaskan: “Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali.”

Gerhana menjadi preview kecil suasana tersebut. Jika pada gerhana sebagian orang merasa takut, bingung, dan tak berdaya, maka itu baru secuil dari kedahsyatan kiamat yang sesungguhnya. Bedanya, gerhana hanya berlangsung beberapa menit, sedangkan pada hari kiamat kegelapan itu mutlak dan abadi.

Di situlah manusia hanya bisa bergantung pada amalnya. Amal shalih akan berubah menjadi cahaya yang menyelamatkan, sementara amal buruk akan menambah kegelapan. Inilah pesan besar dari ayat ini: gerhana bukan sekadar fenomena alam, melainkan undangan untuk menyiapkan diri menghadapi hari di mana semua cahaya dunia padam.

Menyalakan Cahaya Hati

Rasulullah ﷺ memberikan teladan yang indah saat terjadi gerhana. Beliau tidak menjadikannya tontonan, melainkan segera melaksanakan shalat khusuf, memperbanyak doa, dan mengingatkan umat agar kembali kepada Allah. Gerhana adalah momentum untuk memperbanyak istighfar, bukan hanya memandang langit.

Bila cahaya luar meredup, maka cahaya hati harus dinyalakan. Zikir, doa, shalat, dan amal shalih adalah pelita yang kelak menyinari jalan kita di akhirat. Tanpa itu, manusia akan tersesat dalam kegelapan yang tiada akhir.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ"

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang.” 

(HR. al-Bukhārī, no. 1043; Muslim, no. 915).

Hadis ini menegaskan bahwa gerhana adalah ajakan untuk memperkuat hubungan dengan Allah, bukan sekadar menanti fenomena langit berlalu.

Refleksi Diri

Merenungi makna gerhana membuat saya sadar bahwa hidup ini hanyalah cahaya pinjaman. Sering kali kita terlalu nyaman dengan rutinitas, seakan dunia ini akan terus bersinar tanpa henti. Padahal, sebagaimana gerhana mengajarkan, cahaya bisa padam seketika. Saat itu, hanya mereka yang menyalakan cahaya imannya dengan amal shalih yang akan tetap melihat jalan.

Maka, setiap kali gerhana hadir, saya ingin menjadikannya momen peringatan. Tidak lagi hanya memotret langit, tetapi juga memotret hati: adakah ia bercahaya atau justru mulai redup? Sebab pada akhirnya, di hari ketika matahari dan bulan benar-benar digulung, yang menyelamatkan hanyalah cahaya amal yang kita bawa pulang kepada Allah.

Posting Komentar

0 Komentar