TADABBUR QURAN: AL BAQARAH 119 & MAULID NABI MUHAMMAD SAW

TADABBUR QURAN: AL BAQARAH 119 & MAULID NABI MUHAMMAD SAW
Hai pencari cahaya! ✨🌝 

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 5 September 2025.

Hari ini adalah perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Jika dulu saya merayakannya dengan fokus pada "bagaimana cara merayakannya", sekarang saya justru merayakan dengan cara yang lebih reflektif tentang esensi mengapa Rasulullah ﷺ diutus ke dunia ini. Betapa bersyukurnya saya diberikan kesadaran oleh Allah SWT tentang kehadirannya—yang dulu sering saya abaikan—namun kini menjadi cahaya yang menuntun saya untuk lebih dekat pada-Nya.

TADABBUR QURAN: AL BAQARAH 119 & MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Ketika saya membaca ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang terkait dengan perjalanan Rasulullah ﷺ, hati saya sering kali dipenuhi rasa syukur dan haru. Betapa Allah SWT memberikan kita cahaya petunjuk melalui seorang manusia yang diutus dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan. Di balik setiap ayat yang turun, ada kisah perjuangan, ada beban risalah, ada tanggung jawab besar yang harus ditanggung seorang Nabi yang maksum namun tetap merasakan pahit getir kehidupan.

QS. Al-Baqarah ayat 119 mengingatkan saya bahwa Rasulullah ﷺ diutus bukan sekadar sebagai penyampai kabar gembira dan pemberi peringatan, tetapi juga sebagai cermin perjalanan iman manusia. Saya pun merasa bersyukur Allah memberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan mengenal-Nya lewat ajaran Rasul. Melalui perjalanan panjang beliau, saya semakin sadar bahwa iman tidak lahir dalam ruang kosong, melainkan tumbuh di tengah ujian, keraguan, bahkan penolakan.

Rasulullah ﷺ: Pembawa Kabar Gembira dan Peringatan


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

اِنَّآ اَرْسَلْنٰكَ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًاۙ وَّلَا تُسْـَٔلُ عَنْ اَصْحٰبِ الْجَحِيْمِ

Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Nabi Muhammad) dengan hak sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Engkau tidak akan dimintai (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.

Al-Baqarah  [2]:119

Ayat ini menegaskan bahwa tugas Rasulullah ﷺ adalah membawa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman, sekaligus peringatan bagi mereka yang ingkar. Namun, dalam menjalankan amanah ini, Rasul tidak hanya menyampaikan kata-kata, tetapi menghadirkan keteladanan nyata dalam hidupnya. Apa yang beliau sampaikan adalah refleksi dari pengalaman yang langsung Allah bimbing melalui wahyu.

Saya membayangkan betapa beratnya ketika Rasul harus menghadapi kaumnya sendiri, yang menolak, mengejek, bahkan menyakiti beliau. Tetapi justru di tengah kesulitan itulah, ayat-ayat penuh ketenangan turun, menjadi penguat sekaligus penopang jiwa beliau. Bagi saya, ini menjadi pengingat bahwa setiap kebenaran akan diuji, dan kesabaranlah yang mengantarkan kita pada keteguhan iman.

Di sisi lain, Rasul juga memberikan peringatan dengan penuh kasih. Beliau tidak sekadar menegur, tetapi menasihati dengan cara yang membuat hati masih bisa menerima. Dalam hal ini, saya belajar bahwa menyampaikan kebenaran bukanlah sekadar perkara logika atau kata-kata, melainkan soal hati yang tulus, sebagaimana Rasulullah ﷺ jalani.

Konteks Sejarah dan Tafsir Tahlili atas QS. Al-Baqarah: 119

QS. Al-Baqarah ayat 119 turun dalam suasana dakwah Rasulullah ﷺ yang penuh tantangan. Pada masa itu, beliau menghadapi penolakan keras dari kaum kafir Quraisy, juga keraguan sebagian orang Yahudi dan Nasrani terhadap risalah yang dibawanya. 

Dalam situasi seperti itu, Allah SWT menegaskan kembali misi utama Nabi Muhammad ﷺ: sebagai pembawa kabar gembira bagi orang beriman, sekaligus pemberi peringatan bagi mereka yang menolak. Ayat ini juga menjadi hiburan bagi Rasulullah ﷺ agar tidak terlalu larut dalam kesedihan melihat kaumnya berpaling dari kebenaran.

Menurut Tafsir Tahlili, kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ adalah sesuatu yang kukuh dan pasti, bebas dari keraguan maupun kebatilan. Kebenaran ini mencakup akidah, hukum, tata cara, serta kebiasaan yang baik yang mampu membahagiakan manusia di dunia dan akhirat. 

Dengan kata lain, Al-Qur’an bukan hanya teks spiritual, tetapi juga pedoman hidup yang menyeluruh. Tugas Rasulullah ﷺ adalah menyampaikan risalah ini sejelas-jelasnya, sementara penilaian terhadap respon manusia sepenuhnya berada di tangan Allah SWT.

Dari ayat ini pula, Tafsir Tahlili menekankan dua peran utama Nabi Muhammad ﷺ. Pertama, memberi kabar gembira berupa janji Allah akan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi mereka yang mengikuti ajaran beliau. Kedua, memberi peringatan tentang siksa yang pedih bagi mereka yang menolak kebenaran dan menghalangi seruan dakwah. 

Namun, Rasulullah ﷺ tidak dibebani tanggung jawab atas siapa yang menerima atau menolak. Sebab, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 272, petunjuk adalah milik Allah semata. Inilah penghiburan besar bagi Rasulullah ﷺ, agar tetap sabar dan teguh dalam dakwah, tanpa terbebani oleh hasil akhirnya.

Wahyu dan Kehidupan Rasul: Dinamika 23 Tahun Perjalanan

Al-Qur’an bukanlah sekadar teks yang disusun secara kognitif, melainkan wahyu yang hadir dalam momen-momen sejarah kehidupan Rasulullah ﷺ. Selama 23 tahun, setiap peristiwa yang beliau alami beriringan dengan turunnya ayat-ayat yang menuntun langkahnya. Inilah yang membuat Al-Qur’an begitu hidup dan relevan, karena lahir dari pengalaman nyata.

Ada saat-saat di mana Rasul ditenangkan oleh Allah, misalnya ketika umatnya menolak ajaran beliau. Ada pula saat di mana beliau ditegur, seperti ketika memberi izin kepada sebagian orang untuk tidak ikut perang, atau ketika mengabaikan sahabat yang tunanetra yang ingin belajar dari beliau. Peristiwa-peristiwa itu menunjukkan bahwa bahkan seorang Nabi pun mengalami dinamika kehidupan yang sangat manusiawi, meski tetap berada dalam bimbingan ilahi.

Bagi saya, hal ini adalah pelajaran berharga: bahwa kehidupan beriman tidaklah statis, melainkan dinamis. Kita pun akan menghadapi ujian, teguran, dan bimbingan, sama seperti Rasulullah ﷺ dulu. Bedanya, kita memiliki teladan yang sudah terlebih dahulu melalui jalan itu, sehingga kita tidak berjalan dalam kegelapan.

Meneladani Ketulusan dan Kesabaran Rasulullah ﷺ

Setiap ayat yang diturunkan bukan hanya bimbingan untuk Rasul, tetapi juga untuk kita, umatnya. Rasulullah ﷺ menjalani kehidupan dengan penuh ketulusan, meski tantangan datang dari segala arah. Beliau tidak menyerah dalam menyampaikan kebenaran, meskipun sering kali hasilnya tidak terlihat dalam waktu singkat.

Saya menyadari, ketulusan Rasulullah ﷺ dalam menyampaikan wahyu adalah bentuk cinta sejati kepada umat. Beliau tidak hanya ingin umatnya bahagia di dunia, tetapi juga selamat di akhirat. Dalam konteks Maulid Nabi ini, saya merenungkan bahwa bersyukur atas kelahiran beliau berarti berusaha meneladani kesabaran, kelembutan, dan komitmen beliau terhadap risalah Allah.

Dalam kehidupan pribadi, saya sering kali merasa lelah menghadapi kesalahpahaman, penolakan, atau bahkan kelemahan diri sendiri. Tetapi ketika mengingat Rasulullah ﷺ, saya terinspirasi untuk terus berusaha. Sebab beliau pun telah melalui ujian yang lebih berat, namun tetap istiqamah. Dari situlah saya belajar bahwa kesabaran adalah kunci yang akan membuka pintu kemenangan iman.

Refleksi Diri

Kemarin saya juga mendengar kajian dari Gus Baha tentang betapa bahayanya seseorang mendalami tafsir tanpa ilmu. Hal ini membuat saya merefleksi diri tentang tulisan tadabbur ini. Saya harus selalu mengingatkan pada diri sendiri bahwa catatan digital ini bukanlah tafsir sebagaimana penjelasan para ulama terdahulu seperti Ibnu Katsir, Gus Baha, Tafsir Tahlili, Tafsir Sa’di, dan lain-lain. 

Justru saya mengambil sumber tafsir mereka sebagai pondasi dan bahan refleksi hidup pribadi. Karena itu, saya tetap menyertakan rujukan dari para ulama yang saya ikuti dan pelajari, agar catatan ini tetap berada di jalur reflektif, bukan penafsiran yang berdiri sendiri.

Merenungi QS. Al-Baqarah ayat 119 di momen Maulid Nabi ﷺ membuat saya semakin sadar bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang hidup, yang membimbing manusia dengan cara yang menyentuh hati.

Rasulullah ﷺ bukan hanya menyampaikan wahyu, tetapi juga menghidupkannya dalam setiap langkah dan peristiwa hidupnya. Dari beliau, saya belajar bahwa iman bukanlah perjalanan yang mulus, tetapi penuh dinamika yang membentuk jiwa.

Saya bersyukur Allah SWT memberi kesempatan untuk mengenal ajaran-Nya melalui Rasulullah ﷺ. Semoga rasa syukur ini terus tumbuh menjadi amal nyata, bukan sekadar kata-kata. Dan semoga dengan meneladani Rasulullah ﷺ, saya bisa memperbaiki diri, lebih sabar, dan lebih tulus dalam menjalani hidup, hingga kelak bisa berjumpa dengan beliau di negeri akhirat.

Posting Komentar

0 Komentar