TADABBUR QURAN: AL MUMTAHANAH 13

TADABBUR QURAN: AL MUMTAHANAH 13

Hai pencari cahaya! ✨🌝 

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 18 September 2025.

Saat membaca QS. Al-Mumtahanah ayat 13, saya merasa ayat ini memberikan peringatan yang dalam tentang bagaimana seharusnya seorang muslim memilih lingkaran sosial dan tempat bergantung. Allah dengan jelas melarang menjadikan orang-orang yang dimurkai-Nya sebagai wali, pelindung, atau tempat memohon pertolongan. Bukan berarti kita menutup diri sepenuhnya dari interaksi, melainkan lebih kepada menjaga arah hati dan sumber kepercayaan kita.

TADABBUR QURAN: AL MUMTAHANAH 13

Dalam kehidupan modern yang penuh keterhubungan, pergaulan tidak bisa dihindari. Kita bertemu dengan banyak orang dari latar belakang beragam, bahkan dengan mereka yang mungkin jauh dari nilai-nilai iman. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ قَدْ يَىِٕسُوْا مِنَ الْاٰخِرَةِ كَمَا يَىِٕسَ الْكُفَّارُ مِنْ اَصْحٰبِ الْقُبُوْرِ ࣖ 

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan kaum yang dimurkai Allah sebagai teman-teman akrab. Sungguh, mereka telah putus asa terhadap akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur juga berputus asa (dari rahmat Allah di akhirat).

Al-Mumtaḥanah [60]:13

Pertanyaannya adalah: bagaimana saya bisa tetap bersosialisasi dengan sehat, berinteraksi dengan baik, namun tidak menjadikan mereka sebagai “tempat bersandar” dalam urusan iman dan prinsip hidup? Dari sinilah saya menemukan tiga pelajaran penting dari ayat ini.

Menjaga Sumber Pertolongan Sejati: Hanya Allah Tempat Bersandar

Ayat ini mengingatkan agar seorang mukmin tidak menjadikan orang-orang yang dimurkai Allah sebagai penolong. Menurut Tafsir Ringkas Kemenag, larangan ini berlaku karena mereka tidak punya kepedulian terhadap akhirat, bahkan telah berputus asa darinya. 

Artinya, bagaimana mungkin saya berharap solusi dunia dan akhirat dari mereka yang bahkan tidak mempercayai kehidupan setelah mati?

Dari Tafsir Tahlili, saya memahami bahwa larangan ini juga berhubungan dengan menjaga rahasia dan loyalitas umat Islam. Abdullah bin Umar dan Zaid bin Haritsah sempat bersahabat dengan orang Yahudi, hingga turunlah ayat ini. Persahabatan yang terlalu dekat bisa membuat seorang mukmin membuka sisi-sisi rapuhnya kepada orang yang tidak seharusnya dipercaya. Allah melarang hal ini demi melindungi kaum beriman dari potensi bahaya yang lebih besar.

Maka pelajarannya jelas: saya boleh bersosialisasi, bekerja sama, bahkan membangun relasi dengan siapa pun, tapi ketika bicara soal tempat bergantung, saya harus sadar hanya Allah yang menjadi sandaran. Menjadikan orang beriman sebagai sahabat dekat adalah salah satu cara menjaga diri agar tetap kuat dalam iman. 

Inilah sebabnya kita diajarkan untuk menanamkan ke dalam jiwa doa dan keyakinan “Hasbunallah wa ni‘mal wakil.” Kalimat ini bukan sekadar ucapan, melainkan fondasi jiwa agar selalu kembali kepada Allah, bukan kepada manusia, saat mencari perlindungan.

Harapan Akhirat: Batas Antara Cahaya Iman dan Keputusasaan

Allah menggambarkan kaum yang dimurkai-Nya sebagai orang yang telah putus asa dari akhirat, sebagaimana orang-orang kafir di dalam kubur berputus asa dari rahmat Allah. Ini adalah perumpamaan yang begitu kuat. Bayangkan seseorang yang tidak lagi memiliki harapan sedikit pun, hidupnya hanya berputar pada dunia yang fana tanpa melihat kehidupan sesudah mati.

Dalam Tafsir Tahlili dijelaskan bahwa mereka sebenarnya sudah diberi petunjuk dan tanda-tanda jelas tentang kebenaran, tetapi tetap menolaknya. Maka wajar bila akhirnya mereka tidak memiliki asa untuk kebaikan di akhirat. Sikap seperti ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi saya. Jangan sampai saya bergaul begitu dekat dengan mereka yang orientasi hidupnya hanya dunia, hingga ikut hanyut dalam keputusasaan yang sama.

Pelajaran yang saya ambil adalah bahwa iman bukan hanya soal percaya, tetapi juga soal menjaga harapan. Harapan terhadap ampunan dan kasih sayang Allah adalah bahan bakar kehidupan rohani. Jika saya terlalu lama dekat dengan mereka yang tidak punya harapan akhirat, bisa jadi api iman dalam diri saya padam perlahan tanpa disadari.

Sosialisasi Sehat: Terbuka di Dunia, Teguh dalam Prinsip

Ayat ini tidak melarang interaksi sosial secara mutlak, melainkan memberi rambu tentang batasan. Dalam Tafsir Ringkas Kemenag, disebutkan larangan menjadikan mereka “penolong” ketika menghadapi masalah dunia atau agama. Artinya, saya masih bisa bertemu, bekerja sama, bahkan berteman, tetapi ada jarak yang harus dijaga terkait loyalitas dan urusan prinsip.

Dalam dunia yang penuh kolaborasi sekarang ini, saya bisa tetap berinteraksi sehat dengan siapa pun, asal tidak melepaskan nilai-nilai iman. Bekerja dengan non-muslim, misalnya, adalah hal yang wajar, bahkan bisa menghadirkan maslahat. Namun, menjadikan mereka sebagai penentu arah hidup, panutan akhlak, atau tempat curhat utama dalam masalah iman jelas bukan pilihan yang benar.

Dari sini saya belajar bahwa bersosialisasi yang sehat adalah ketika saya bisa terbuka dalam urusan dunia, namun tetap selektif dalam urusan spiritual dan prinsip hidup. Dengan begitu, saya tetap bisa menjaga hati agar tetap bertakwa, sekaligus mampu hadir di tengah masyarakat dengan peran yang positif.

Refleksi Diri

Membaca ayat ini membuat saya sadar, bahwa dalam pergaulan sehari-hari, saya harus punya kesadaran penuh tentang siapa yang bisa menjadi sahabat dekat, dan siapa yang hanya sekadar kenalan. Tidak semua orang yang hadir dalam hidup saya bisa dijadikan tempat bergantung, apalagi dalam urusan iman. Saya perlu memilah, agar tidak salah menaruh kepercayaan.

Di sisi lain, saya juga tidak boleh terjebak dalam sikap eksklusif yang berlebihan. Sosialisasi tetaplah bagian dari kehidupan, bahkan perintah agama mendorong saya untuk berbuat baik kepada siapa pun, tanpa memandang latar belakangnya. Batasannya adalah: jangan sampai interaksi sosial membuat saya kehilangan prinsip iman dan nilai takwa.

Akhirnya, tadabbur ini menegaskan kepada saya bahwa menjadi orang bertakwa bukan berarti menutup diri dari dunia, melainkan mampu menjaga arah hati dalam bersosialisasi. Saya bisa hadir di tengah masyarakat, membangun kerja sama, bahkan berbuat baik kepada siapa pun, tapi tetap menjadikan Allah sebagai satu-satunya sandaran, dan orang-orang beriman sebagai lingkaran dekat yang menguatkan perjalanan iman saya. 

Mengulang-ulang makna “Hasbunallah wa ni‘mal wakil” membantu hati saya tetap teguh: bahwa pertolongan sejati hanya milik Allah, dan hanya dengan bersandar kepada-Nya saya bisa bersosialisasi dengan sehat tanpa kehilangan arah iman.

Posting Komentar

0 Komentar