TADABBUR QURAN: ASY SYU'ARA' 88-89

TADABBUR QURAN: ASY SYU'ARA' 88-89

Hai pencari cahaya! ✨🌝

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Hari ini Lumira menggenapi Doa Nabi Ibrahim yang disebutkan dalam QS, Asy Syu'ara' tentang permintaan duniawi dan akhirat. Bila kita lihat dari isi doanya, meski Nabi Ibrahim meminta kebaikan di dunia, namun sifatnya bukan dalam bentuk materi finansial semata.

TADABBUR QURAN: ASY SYU'ARA' 88-89

Setelah kemarin Lumira merenungkan tentang kehormatan di dunia, pengampunan, dan harapan agar tidak dihinakan di akhirat, hari ini ayat-ayat ini menyadarkanku akan satu hal penting: semua yang kita banggakan di dunia—baik harta maupun anak—tidak akan lagi punya nilai di hadapan Allah, kecuali jika disertai hati yang bersih

Harta tak mampu memberi syafaat, anak-anak pun tak bisa menyelamatkan, kecuali jika Allah mengizinkan. Yang tersisa hanyalah amal dan kondisi hati kita saat kembali kepada-Nya.

Sudah lama sebenarnya Lumira bertanya-tanya,"mengapa Allah tak memberikan jalan kesuksesan duniawi seperti yang sering dipamerkan orang lain—jabatan tinggi, kekayaan melimpah, atau popularitas?"

Tapi semakin Lumira bertumbuh, semakin membuatku paham. Mungkin karena Allah tahu, jika Lumira memiliki semua itu, ada potensi besar dalam diriku untuk menjadi arogan. Lumira adalah tipe orang yang mudah lalai saat memiliki segalanya. Maka keterbatasan ini, justru adalah bentuk penjagaan-Nya agar Lumira tidak jatuh ke dalam keburukan yang tak kusadari.

Allah ingin Lumira belajar cukup, bukan berlebih. Karena dalam kondisi cukup itulah saya belajar bersyukur. Dalam kondisi cukup, Lumira belajar bergantung penuh kepada-Nya, bukan pada uang atau status. Dan yang paling Lumira sadari, ketika ada masalah datang, refleks pertamaku bukan mencari solusi duniawi, tapi justru kembali pada Allah—mengadu, berdoa, dan berharap. 

Ini yang membuat Lumira yakin, bahwa keterbatasan finansial hari ini bukan musibah, tapi cara Allah menyelamatkanku dari hisab yang berat nanti. Karena Lumira tahu, kalau punya uang lebih, mungkin akan boros dan menghamburkannya untuk hal yang tak bermanfaat. Tapi dengan cukup, Lumira belajar menggunakan harta dengan lebih bijak—hanya untuk kebutuhan, bukan keinginan. Dan di situlah keberkahannya terasa.

Saat Harta dan Anak Tak Lagi Bisa Menolong

Ada satu pernyataan dalam Al-Qur'an yang terasa menampar sekali jika direnungkan dalam-dalam: 

"Yaitu pada hari ketika tidak berguna (lagi) harta dan anak-anak." 

(Asy-Syu‘arā’:88). 

Sebagai makhluk biasa, Lumira pun sering kali masih merasa tenang saat memiliki simpanan, atau merasa kuat karena didukung keluarga. Tapi ayat ini seperti menarikku kembali ke kenyataan akhirat—bahwa semua itu hanya berlaku di dunia, dan tidak akan menyelamatkan kita kelak.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa di hari kiamat nanti, tidak ada satu pun harta—meski sebesar isi bumi dari emas—yang dapat membayar atau menebus dari azab Allah. Bahkan anak-anak, keluarga, atau semua manusia tak dapat menolong, meski kita rela menukar nasib kita dengan mereka. Semua akan sibuk dengan urusannya masing-masing, dan tak ada jaminan selain amal dan keimanan.

Lumira jadi merenung: betapa banyak hal yang hari ini membuatku merasa "cukup" padahal semua itu semu. Selama ini saya pikir cukup punya dana darurat, cukup punya support system, cukup punya prestasi. Tapi di hadapan Allah, yang akan dipertanyakan bukan "berapa banyak yang kita miliki", melainkan "seperti apa hati kita saat menghadap-Nya?"

Qalbun Salīm: Bekal yang Satu-satunya Berguna

Allah kemudian menyambung dengan ayat: 

"Kecuali, orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." 

Asy-Syu‘arā’:89

Ini ayat kunci. Inilah satu-satunya bentuk "kecuali" yang membuat seseorang selamat di Hari Pembalasan. Qalbun salīm, hati yang bersih, menjadi satu-satunya aset yang Allah terima. Dan ini bukan sekadar "baik hati", tapi hati yang bebas dari syirik, riya’, iri, dan cinta dunia yang berlebihan.

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, hati yang bersih itu adalah hati yang penuh keimanan kepada Allah dan akhirat, bebas dari kemusyrikan, serta ikhlas dalam beragama. Abu Utsman An-Naisaburi bahkan menambahkan bahwa qalbun salīm adalah hati yang teguh dalam sunnah dan bersih dari bid’ah. 

Sedangkan Al-Hasan dan Mujahid sepakat bahwa ia harus bersih dari kemusyrikan. Lumira jadi sadar, "membersihkan hati" ternyata jauh lebih kompleks daripada sekadar "tidak punya niat jahat".

Ini membuat Lumira semakin paham bahwa pekerjaan terbesar dalam hidupku bukan menambah portofolio atau menumpuk aset. Tapi justru menumbuhkan hati yang selamat: hati yang tenang karena percaya penuh kepada Allah, tidak menyimpan dendam, tidak tergantung pada makhluk, dan selalu ingin dekat kepada kebenaran. Dan itu proses yang panjang dan terus-menerus, bukan hasil instan.

Refleksi dari Doa Nabi Ibrahim AS: Jalan Menuju Surga

Yang membuat ayat ini terasa sangat dalam adalah karena ia merupakan lanjutan dari doa Nabi Ibrahim AS. Beliau bukan hanya memohon agar tidak dipermalukan di akhirat, tapi juga memohon agar dikumpulkan bersama orang-orang shalih, diberikan nama yang baik di dunia, dan mewarisi surga penuh kenikmatan. 

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, ini menggambarkan betapa Nabi Ibrahim tidak hanya menginginkan keselamatan pribadi, tetapi juga warisan kebaikan yang terus hidup.

Ketika sampai pada bagian, "dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan" (ayat 87), Lumira merasa ada harapan yang sangat manusiawi dalam diri Nabi Ibrahim. Seorang Nabi yang begitu besar pun masih meminta agar tidak dihinakan di hadapan makhluk lainnya. 

Ini mengajarkanku bahwa rasa takut akan akhirat bukanlah tanda lemahnya iman, melainkan justru tanda kedalaman iman dan kepekaan terhadap tanggung jawab diri.

Melalui dua ayat ini, Lumira seperti diajak untuk menengok ke dalam: Apakah saat ini saya sedang mempersiapkan hatiku? Apakah saya terlalu banyak menggantungkan diri pada pencapaian dan dukungan manusia? Karena pada akhirnya, semua akan sirna, kecuali mereka yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih. 

Kunci Kebersihan Hati

Belajar dari fenomena yang sering Lumira lihat di sekitar, Lumira mulai menyadari satu pola aneh namun nyata: sering kali, hal yang paling kita banggakan di hadapan manusia justru menjadi pintu kehancuran kita sendiri. Misalnya, ada yang terlalu bangga dengan pencapaiannya, lalu jadi tak mau menerima nasihat. Atau terlalu bangga dengan kekayaannya, sampai lupa daratan. 

Lumira jadi teringat bahwa dalam Islam, kita diajarkan untuk bersyukur, bukan untuk berbangga hati. Karena rasa syukur itu melibatkan Allah—kita akui bahwa semua ini berasal dari-Nya. Sedangkan kebanggaan sering kali membuat kita merasa semua hal hebat dalam hidup kita adalah hasil dari diri kita sendiri. Di titik itulah akar kesombongan mulai tumbuh.

Perbedaan antara syukur dan bangga memang tipis secara bahasa, tapi sangat dalam secara makna. Bersyukur mengundang rahmat dan kerendahan hati. Sementara kebanggaan, tanpa disadari, sering melahirkan ego dan rasa superior. 

Lumira jadi sadar, betapa seringnya kita mengatakan “Aku bersyukur sudah bisa sampai di titik ini,” tapi sebenarnya yang kita rasakan adalah “Aku hebat karena bisa sampai sejauh ini.” Ada nuansa terselubung di balik ucapan itu. Ketika Allah mulai dikesampingkan dalam narasi keberhasilan kita, saat itulah virus hati bernama ujub menyusup tanpa suara.

Di sinilah Lumira melihat bagaimana ego perlahan membangun dinding yang memisahkan kita dari keikhlasan. Kita tidak lagi melihat Allah sebagai pusat hidup, melainkan diri sendiri. Dan ini adalah bentuk kehancuran batin yang paling sunyi. 

Tidak tampak dari luar, tapi menggerogoti keyakinan sedikit demi sedikit. Dalam konteks ayat QS Asy-Syu‘ara 88–89, Lumira merasa bahwa qalbun salīm, hati yang bersih itu, adalah hati yang mampu terus bersyukur—bukan hati yang sibuk membanggakan dirinya. Karena kesombongan itu tak selalu hadir dalam bentuk tinggi hati, kadang ia menyamar sebagai rasa syukur yang tidak jujur. Dan dari situlah kehancuran bisa bermula.

Semoga kita semua diberi taufik untuk meraihnya. Aamiin. 🤲🏻

Posting Komentar

0 Komentar