TADABBUR QURAN: ASY SYU'ARA' 87

TADABBUR QURAN: ASY SYU'ARA' 87

Hai pencari cahaya! ✨🌝 

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 8 Juli 2025,

Masih dalam tadabbur doa Nabi Ibrahim A.S, kali ini Lumira ingin mengajakmu menyelami makna dari QS Asy-Syu‘arā' ayat 87, doa yang meminta agar dijauhkan dari kehinaan pada hari kebangkitan. Di tengah kehidupan ini, kita sering kali diuji oleh hinaan manusia lain, hanya karena kita berbeda atau tidak sesuai dengan ekspektasi mereka.

TADABBUR QURAN: ASY SYU'ARA' 87

Yang membuat luka itu lebih dalam adalah ketika hinaan datang dari orang yang kita anggap paling mengerti, orang yang kita harapkan menjadi pendukung, bukan penentang. Tapi semakin ke sini, Lumira belajar satu hal: tidak semua hinaan itu pantas ditelan mentah-mentah. 

Kadang, justru di balik kata yang menyakitkan, ada pelajaran besar dari Allah yang ingin membuka kesadaran kita. Dari renungan itu, Lumira jadi teringat akan pengalaman yang dulu terasa seperti hinaan, namun ternyata menyimpan makna tersendiri..

Makna “Hinaan” dalam Hidup: Ujian atau Jalan Kesadaran?

Bertahun-tahun lalu, saat Lumira memutuskan untuk menjadi penulis dan menekuni dunia journaling, ada satu pertanyaan yang masih terngiang sampai sekarang. Seorang kerabat bertanya sinis, “Kamu nulis gini, bukunya nanti buat apa?” Waktu itu, kalimat itu menusuk sekali. Rasanya seperti ditampar bahwa apa yang Lumira lakukan itu sia-sia. Tapi di tengah kesedihan, Lumira tidak berhenti menulis.

Menulis adalah terapi bagi jiwa yang sering penuh sesak oleh overthinking. Dan meskipun waktu itu Lumira belum tahu arah dan tujuannya, ternyata tulisan-tulisan di buku jurnal itu menjadi pondasi penting dalam menciptakan eBook yang sekarang bisa teman-teman baca di blog ini. Dulu Lumira sempat merasa ditertawakan. Sekarang, justru dari proses itulah lahir karya.

Dari situ Lumira belajar, bahwa tidak semua hinaan adalah bentuk kebencian. Kadang itu adalah ujian untuk melihat: apakah yang kita lakukan sungguh-sungguh karena Allah, atau hanya demi validasi orang lain? Hinaan dunia bisa saja jadi batu loncatan untuk bertumbuh—jika kita bijak meresponnya. Tapi bagaimana jika hinaan itu datangnya bukan dari manusia, melainkan dari Allah di akhirat nanti?

Karena, tidak semua hinaan bersumber dari manusia. Ada kisah yang jauh lebih berat, yakni ketika Nabi Ibrahim A.S. tidak bisa menyelamatkan ayahnya sendiri dari murka Allah di hari akhir.

Saat Ayahnya Tidak Bisa Diselamatkan: Luka dalam Doa Nabi Ibrahim

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلَا تُخْزِنِيْ يَوْمَ يُبْعَثُوْنَۙ

"Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan."

(QS Asy-Syu‘arā’ [26]:87)

Salah satu makna paling dalam dari QS Asy-Syu‘arā’ ayat 87 adalah ketika Nabi Ibrahim A.S. menyadari bahwa meskipun ia adalah seorang nabi, ia tidak mampu menyelamatkan ayahnya sendiri dari nasib yang tragis di akhirat. 

Menurut penjelasan dari Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, ayat ini tak hanya sekadar doa umum untuk keselamatan, tetapi muncul dari kecemasan pribadi seorang anak terhadap nasib orang tuanya yang kufur terhadap Allah.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, disebutkan bahwa di hari kiamat kelak, Nabi Ibrahim A.S akan bertemu dengan ayahnya, Azar, dalam kondisi muram dan kusut. Ketika Ibrahim mengingatkan kembali ajarannya di dunia, sang ayah mengatakan bahwa kali ini ia tidak akan menyelisihi. 

Namun, semua itu sudah terlambat. Ibrahim pun berseru kepada Allah, “Bukankah Engkau telah berjanji bahwa Engkau tidak akan menghinakanku di hari mereka dibangkitkan?” Ia menganggap menyaksikan ayahnya masuk neraka adalah bentuk kehinaan yang paling menyakitkan baginya.

Lalu Allah menjawab: “Aku telah mengharamkan surga bagi orang-orang kafir.” Dalam lanjutan kisahnya, Allah menunjukkan kepada Ibrahim seekor anjing hutan jantan yang diseret ke neraka. Azar telah diubah menjadi makhluk itu. 

Ini bukan semata kisah simbolik, tapi sebuah peringatan keras: bahwa hubungan darah tidak menjadi jaminan keselamatan, jika seseorang menolak kebenaran. Bahkan seorang nabi pun tidak bisa menyelamatkan orang terdekatnya, jika orang itu tidak mau beriman.

Hinaan yang Sesungguhnya

Doa ini diucapkan Nabi Ibrahim A.S. sebagai bentuk kerendahan hati yang luar biasa. Meski beliau adalah kekasih Allah, seorang nabi, pemimpin umat, dan ayah dari para nabi—ia masih takut dan memohon agar tidak dihinakan di hadapan seluruh umat manusia di hari akhir. Ini adalah pelajaran besar tentang kerendahan hati di hadapan Tuhan.

Menurut Tafsir Tahlili, doa ini menunjukkan betapa dalamnya rasa takut Nabi Ibrahim terhadap kehinaan di akhirat. Bahkan setelah segala prestasi spiritual yang beliau capai, ia masih khawatir bila bertemu ayahnya—yang enggan menerima kebenaran—di hadapan Allah. 

Di dalam kisah tersebut, Nabi Ibrahim berkata dengan penuh harap, “Ya Tuhanku, bukankah Engkau telah menjanjikan bahwa aku tidak akan dihinakan?” Allah pun menjawab bahwa surga diharamkan bagi orang-orang kafir.

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim berdoa agar tidak dihinakan di hadapan seluruh umat manusia pada hari kebangkitan. Rasa takutnya berpangkal dari kenyataan bahwa ayahnya (Azar) tetap kafir dan akan masuk neraka. Beliau menganggap peristiwa itu sebagai bentuk kehinaan paling menyakitkan.

Hinaan yang dimaksud dalam ayat ini bukan sekadar celaan verbal, tetapi sebuah kondisi kekal yang mempermalukan seseorang di hadapan seluruh makhluk karena ditolak oleh Allah. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada itu. Inilah yang seharusnya kita waspadai: bukan hinaan manusia yang seringkali fana dan sementara, tapi kehinaan di akhirat yang bersifat abadi.

Menghindari Hinaan Akhirat: Saatnya Introspeksi Diri

Dari doa ini, Lumira merasa seperti diingatkan. Kalau hinaan dari manusia saja bisa begitu menyakitkan dan menguras mental, bagaimana dengan kehinaan dari Sang Pencipta? Saat semua topeng jatuh, semua kepura-puraan terbuka, dan kita berdiri tanpa pembela di hadapan-Nya—sanggupkah kita menanggungnya?

Maka, selama masih diberi waktu hidup di dunia, ini saatnya kita memperbaiki niat dan amal. Jangan menunggu dihinakan nanti, saat tidak ada lagi ruang untuk bertobat. Periksa lagi untuk siapa kita melakukan sesuatu. Perbaiki hubungan kita dengan Allah, bukan hanya di permukaan, tapi dari dalam hati yang paling dalam.

Lumira berdoa, semoga kita semua termasuk orang-orang yang ditutupi aibnya oleh Allah, diangkat derajatnya, dan disambut dengan ridha di hari kebangkitan. Karena tak ada yang lebih indah daripada dijaga dan dimuliakan oleh Allah SWT.

Hinaan di dunia bisa menjadi ladang introspeksi. Tapi hinaan di akhirat adalah peringatan yang tidak bisa ditawar. 

Mari menjadikan doa Nabi Ibrahim ini sebagai dzikir harian kita, sebagai pengingat agar kita tidak terlalu silau dengan penilaian manusia, tapi justru sibuk memperbaiki nilai kita di mata Allah.

Semoga tadabbur hari ini memberi sedikit cahaya bagi perjalanan jiwa kita, ya. 

Sampai bertemu di catatan selanjutnya. 🌙

~ Lumira ~

Posting Komentar

0 Komentar