بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 7 Juli 2025,
Tadabbur hari ini terasa begitu pribadi bagi Lumira. Beberapa hari terakhir, hati ini sempat digelisahkan oleh satu hal yang cukup mendalam. Lahir dari keluarga yang bukan muslim memberikan warna yang berbeda dalam perjalanan hidup—sebuah kondisi yang kadang terasa seperti paradoks.
Di satu sisi, ada keinginan kuat untuk menjadi anak yang salih, namun di sisi lain ada keraguan agar tidak melanggar batas yang telah Allah tetapkan. Keduanya sama-sama penting, dan pada akhirnya Lumira memilih untuk tetap berusaha sebaik-baiknya, lalu menyerahkan hasilnya sepenuhnya kepada Allah SWT.
TADABBUR QURAN: ASY SYU'ARA' 86
Ayah Lumira wafat ketika usia Lumira belum genap empat tahun. Terlalu dini untuk menyimpan kenangan, apalagi mengingat wajahnya dengan utuh. Sosok beliau hanya bisa kutemukan lewat selembar foto lama yang mulai pudar warnanya, terselip di antara halaman-halaman album keluarga. Kisah tentang hidupnya pun hanya kudengar dari potongan-potongan cerita tetangga atau saudara jauh. Tidak pernah utuh, tidak pernah cukup.
Sejak masih bayi hingga usia empat tahun itu, kami pun tak tinggal bersama. Ayah tinggal di luar kota, dan kami hanya sesekali bertemu. Kadang-kadang, terselip tanya yang mengendap dalam hati: “Apakah aku memang anak yang tidak diinginkan? Apakah karena itu kami harus terpisah jauh sejak awal?” Perasaan sedih dan rasa terabaikan itu sempat menetap cukup lama dalam hidupku.
Namun semuanya berubah saat Lumira bertemu dengan ayat-ayat Allah yang seakan berbicara langsung ke dalam ruang hatiku yang terdalam. Surat Ad-Dhuha ayat 6 membuatku berhenti bertanya dan mulai merasa tenang: “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?”
Kalimat itu menyentuh dengan kelembutan yang tak bisa dijelaskan. Allah-lah yang selama ini menjagaku, mencukupiku, dan mengirimkan banyak pertolongan—meski aku sendiri mungkin tidak selalu menyadarinya.
Dan saat ayat itu menetap dalam jiwaku, luka perlahan sembuh. Aku merasa dilindungi, bukan ditinggalkan. Disayangi, bukan diabaikan. Meski ayat itu diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, tetapi ia juga menyapa hatiku yang rapuh.
Sejak saat itu, aku ingin hidup dengan rasa syukur yang mendalam, seperti pesan di akhir surat yang sama: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS Ad-Dhuha: 11). Karena hanya dengan bersyukur, aku bisa mengubah kehilangan menjadi kekuatan.
Namun, rasa syukur itu bukan berarti menghapus pertanyaan-pertanyaan yang pernah tumbuh dalam hati—tentang siapa ayahku, seperti apa hidupnya, dan bagaimana akhir perjalanannya. Ketika luka telah berubah menjadi kekuatan, muncullah dorongan untuk memahami lebih dalam apa arti menjadi anak, terutama ketika kenangan pun tak mampu menjadi jembatan untuk mengenalnya.
Di sinilah tadabbur terhadap kisah Nabi Ibrahim dalam QS Asy-Syu’ara ayat 86 membuka lembar baru dalam perenungan. Sebuah ayat yang tidak hanya mencatat sejarah, tapi juga membisikkan makna bagi mereka yang tumbuh tanpa jejak orang tua.
Memori Yang Hilang
Ketika membaca ayat “Dan ampunilah bapakku. Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang sesat” (QS Asy-Syu’ara: 86), hatiku terhenti sejenak. Ayat ini terasa begitu dekat, begitu pribadi.
Dalam perjalanan hidup, Lumira tidak pernah benar-benar mengenal siapa sebenarnya ayah. Ia meninggal saat Lumira masih kecil, terlalu dini untuk menyisakan memori atau jejak yang utuh.
Tak ada cerita lengkap tentang kepergiannya, bahkan kabar tentang apa yang ia perjuangkan dalam hidup pun samar. Anehnya, ketidaktahuan itu bukan membawa luka, tetapi justru terasa seperti bentuk perlindungan dari Allah SWT—agar Lumira bisa tumbuh tanpa beban keburukan masa lalu.
Ketika membaca bahwa Nabi Ibrahim tetap mendoakan ayahnya meskipun ia tahu bahwa sang ayah adalah penyembah berhala, saya belajar bahwa hubungan ayah dan anak tidak selalu bergantung pada kepercayaan yang sama, tapi pada ketulusan niat. Meskipun akhirnya Nabi Ibrahim berlepas diri ketika tahu ayahnya memusuhi Allah (QS At-Taubah: 114), namun awalnya ia tetap berdoa karena rasa cinta. Di titik ini aku merasa sejajar—aku ingin tetap menjadi anak yang salih, meski aku tidak tahu bagaimana akhir dari hidup ayahku.
Sebagai anak dan hamba, aku hanya bisa berusaha sebaik-baiknya untuk menjalani peranku—yaitu menjadi orang yang beriman, bertakwa, dan menjaga adab. Lumira berdoa bukan karena Lumira tahu atau menilai dosa-dosa ayahku, tapi justru karena Lumira tidak tahu sedikit pun tentangnya.
Lumira berdoa karena Allah memerintahkan untuk berbuat baik kepada orang tua. Dan apa pun yang terjadi dari doa ini, apakah ada syafaat atau pengabulan, sepenuhnya Lumira serahkan kepada Allah semata—Dia-lah yang Maha Tahu, Maha Adil, dan Maha Mengabulkan doa sesuai hikmah dan ridha-Nya.
Menjadi Anak Salih Karena Allah, Bukan Karena Balasan
Pilihan Lumira untuk tetap menjadi anak yang salih bukan semata karena ingin membalas jasa, atau karena didikan keluarga. Justru sebaliknya, karena tumbuh di luar keluarga muslim, maka semua nilai-nilai ini kudapat setelah Allah membuka jalanku kepada Islam.
Maka, berbakti dan mendoakan orang tua bukan dilandasi oleh kebiasaan tradisi atau ikatan emosional belaka, tapi karena ketaatan kepada perintah Allah SWT. Inilah bentuk ubudiyah sejati—melakukan kebaikan bukan karena siapa yang menerima, tapi karena siapa yang memerintah.
Ulama besar seperti Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa anak yang salih adalah amal jariyah orang tuanya, tetapi jika orang tuanya belum muslim, maka anak tetap bisa beramal untuk dirinya sendiri dan menunjukkan adab Islam terhadap orang tua.
Al-Hasan al-Bashri bahkan pernah ditanya tentang apakah boleh seorang anak muslim berbuat baik kepada ibu musyriknya. Ia menjawab, “Berbuat baiklah kepadanya, karena itu termasuk akhlak Islam.” Dalil kuatnya juga ada dalam QS Luqman: 15, di mana Allah berfirman:
"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu menaati keduanya, namun pergaulilah mereka di dunia dengan baik.”
Maka menjadi anak yang salih bukan berarti menjamin keselamatan siapa pun. Tetapi ia adalah bentuk ketaatan pribadi sebagai seorang hamba. Lumira tidak tahu apakah doaku akan membawa syafaat, apakah ada pengaruhnya bagi ayahku. Tapi tugasku adalah terus berbuat baik dan mendoakan. Karena menjadi anak salih adalah panggilan dari Allah, bukan karena warisan, bukan karena jasa, tapi karena Allah layak ditaati dalam segala keadaan.
Doa, Harap, dan Pasrah: Berserah!
Sama seperti Nabi Ibrahim yang awalnya memohon ampun untuk ayahnya, aku pun kadang berbisik dalam doa-doaku yang paling rahasia. Bukan karena aku tahu nasib ayahku, tetapi karena aku ingin menunjukkan bahwa aku bersyukur telah dilahirkan, meski oleh seseorang yang aku tak pernah benar-benar tahu.
Namun akhirnya, Lumira harus meneladani Nabi Ibrahim juga dalam hal pasrah dan meletakkan keputusan hanya di tangan Allah. Karena tidak semua cinta bisa memaksa takdir, dan tidak semua doa harus menuntut hasil.
Syaikh as-Sa’di dalam tafsirnya menekankan bahwa Nabi Ibrahim adalah manusia yang sangat lembut hatinya—ia tetap berdoa sebelum akhirnya Allah memberitahu batasannya. Ini menunjukkan bahwa dalam cinta, sekalipun untuk orang tua, kita tetap harus mengedepankan ketaatan dan kehendak Allah. Lumira berdoa bukan untuk menyamakan semua orang ke dalam satu nasib, tapi sebagai bukti bahwa Lumira mencintai ayah dengan cara yang Allah izinkan.
Maka Lumira berdoa kepada Allah karena Dialah yang memintaku untuk terus bersyukur, berbuat baik, dan berserah. Bila ada kebaikan dari doaku, itu karena rahmat-Nya. Bila tidak, maka Lumira tetap ingin menjadi anak salih, karena Allah yang memerintahkannya, bukan karena Lumira tahu atau ingin memastikan balasan di akhirat bagi orang lain. Ini bukan tentang hasil—ini tentang niat yang ikhlas dan usaha yang lurus selama Allah SWT masih memberiku kesempatan hidup di dunia ini. .
“Pada akhirnya, menjadi anak salih bukanlah tentang membenarkan masa lalu, tapi memilih untuk taat kepada Allah di masa kini dan masa depan.”
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏