بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 6 Juli 2025,
Berhubung kemarin Lumira membahas tentang do'anya Nabi Ibrahim A.S, kali ini dilanjutkan ke ayat selanjutnya lagi, ya? Biar kita bisa tadabbur Do'a Nabi Ibrahim sepenuhnya di Surat Asy Syu'ara'. Kali ini lanjutan do'anya sangat luar biasa sekali, karena kita meminta pada Allah agar menjadi pewaris surga di kehidupan yang kekal kelak. Yuk, mulai belajar!
TADABBUR QURAN: ASY SYU'ARA' 85
Sebelum masuk ke dalam pembahasan tafsir QS Asy-Syu’ara ayat 85, Lumira ingin merenungkan sejenak pergeseran makna dari doa-doa Nabi Ibrahim A.S. yang sebelumnya sudah ditadabburi. Dalam ayat 83 dan 84, Nabi Ibrahim memohon hikmah dan kedudukan di tengah orang-orang saleh—dua hal yang bisa dirasakan manfaatnya di dunia.
Permohonan itu mencerminkan bahwa meski beliau seorang nabi, tetap ada kebutuhan mendalam untuk hidup dengan ilmu dan berada dalam lingkungan yang saleh selama menjalani misi dakwahnya. Namun, ketika sampai pada ayat 85, Lumira melihat ada perubahan nuansa: Nabi Ibrahim kini memohon sesuatu yang jauh lebih abadi—warisan dari kenikmatan akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:وَاجْعَلْنِيْ مِنْ وَّرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيْمِ ۙJadikanlah aku termasuk orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan.Asy-Syu‘arā' [26]:85
Peralihan ini membuka mata Lumira bahwa dalam berdoa, kita tidak hanya dituntun untuk memohon apa yang tampak dan terasa secara duniawi, tetapi juga mengarahkan hati untuk melihat jauh ke depan, yakni ke kehidupan yang kekal.
Doa Nabi Ibrahim menjadi pengingat bahwa hidup ini tidak selesai di dunia, dan setiap permohonan yang kita panjatkan seharusnya mencakup keselamatan dan kenikmatan yang lebih hakiki di akhirat. Inilah titik di mana tadabbur menjadi jembatan, bukan hanya untuk memahami isi ayat, tapi juga untuk menyelaraskan arah hidup—dari yang fana menuju yang abadi.
Tafsir Tahlili
Dalam QS Asy-Syu'ara ayat 85, Nabi Ibrahim A.S. memanjatkan doa yang menunjukkan orientasi akhirat: “Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan.”
Setelah sebelumnya ia memohon hikmah dan nama baik di kalangan generasi setelahnya—dua hal yang memiliki dampak besar dalam kehidupan dunia—kini beliau berdoa agar diberikan balasan yang kekal di akhirat.
Doa ini menunjukkan keseimbangan antara harapan terhadap kebaikan dunia dan keselamatan akhirat. Dalam Tafsir Tahlili dijelaskan bahwa permohonan ini bukan hanya bentuk pengharapan, tapi juga cerminan keyakinan penuh terhadap hari pembalasan.
Kata "mewarisi surga" dalam ayat ini memiliki makna simbolik yang mendalam. Tafsir Tahlili menjelaskan bahwa kenikmatan surga dianalogikan seperti warisan kerajaan yang diperoleh seorang raja dari ayahnya—penuh kemuliaan, kelapangan, dan kehormatan. Ini menggambarkan betapa besar dan agungnya kenikmatan yang disediakan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh.
Penggunaan kata "warisan" juga menunjukkan bahwa surga itu adalah hak yang disiapkan untuk orang-orang tertentu—mereka yang telah memenuhi syarat iman, ikhlas, dan kebaikan amal semasa hidupnya di dunia.
Permohonan Nabi Ibrahim untuk menjadi bagian dari ahli surga memperlihatkan keteguhan hati seorang Nabi dalam menyusun orientasi hidupnya. Beliau tidak hanya ingin dikenang di dunia, tetapi juga ingin diterima dan dimuliakan di akhirat.
Doa ini menjadi pelajaran penting bagi setiap mukmin, termasuk Lumira, bahwa dalam menjalani kehidupan, kita perlu mengarahkan hati untuk tidak hanya mengejar kebaikan dunia, namun juga mengutamakan balasan akhirat yang kekal. Surga bukan sekadar harapan, melainkan tujuan hidup yang seharusnya menjadi pusat doa, amal, dan arah perjalanan spiritual kita.
Tafsir Sa'di
Dalam Tafsir As-Sa’di, ayat ke-85 dari Surah Asy-Syu'ara menunjukkan permohonan Nabi Ibrahim A.S. agar dijadikan bagian dari golongan yang akan mewarisi surga yang penuh kenikmatan. Ungkapan “yang mewarisi surga” bukan berarti surga diwariskan secara turun-temurun, melainkan bentuk ungkapan bahwa surga tersebut menjadi milik sah dan layak bagi hamba-hamba pilihan Allah.
Ini menegaskan bahwa keberhasilan masuk surga adalah karunia Allah yang diberikan kepada mereka yang beriman dan taat, sebagai hasil dari amal dan taufik yang Allah anugerahkan selama hidup di dunia.
Menurut As-Sa’di, doa Nabi Ibrahim ini dikabulkan oleh Allah. Beliau dimasukkan ke dalam surga Na’im—surga yang penuh dengan kenikmatan abadi, sebagai penghargaan atas kesetiaan dan keteguhannya dalam tauhid.
Permohonan ini sekaligus menggambarkan bagaimana seorang Nabi tetap merasa perlu untuk memohon kepada Allah, tidak mengandalkan statusnya, dan menunjukkan bahwa masuk surga bukanlah hal yang otomatis, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan dan dimohonkan dengan penuh harap.
Penafsiran ini memperkuat kesadaran bahwa surga adalah cita-cita tertinggi setiap orang beriman. Bagi Lumira, ayat ini menjadi pengingat bahwa sehebat apa pun perjuangan atau pengaruh yang dimiliki seseorang di dunia, semua itu seharusnya mengarah pada satu tujuan utama: diterima Allah di akhirat.
Surga bukan sekadar tempat kembali, tapi puncak dari pengakuan cinta dan ridha-Nya. Maka, tak ada salahnya jika dalam setiap doa, kita senantiasa menyisipkan harapan agar kelak bisa menjadi bagian dari pewaris surga, seperti yang dipanjatkan oleh Ibrahim A.S.
Perspektif Lain Tentang Pentingnya Ilmu Dalam Menggapai Kebahagiaan
Ilmu, bagi Lumira, bukan sekadar kumpulan informasi atau hafalan teori, tetapi cahaya yang menuntun langkah menuju kebahagiaan sejati. Dengan ilmu, seseorang dapat memahami arah hidup, menyadari tujuan penciptaannya, serta mampu membedakan mana yang benar dan mana yang menyesatkan.
1. Filsafat Klasik: Kebahagiaan melalui Pengetahuan
Dalam filsafat Yunani kuno, tokoh seperti Socrates dan Plato percaya bahwa ilmu (episteme) adalah jalan menuju eudaimonia (kebahagiaan sejati atau hidup yang baik). Bagi mereka, seseorang tidak bisa bahagia tanpa mengetahui kebenaran tentang diri, dunia, dan nilai-nilai moral. Socrates bahkan berkata, "The unexamined life is not worth living" — hidup yang tidak direfleksikan (tanpa pengetahuan) bukanlah hidup yang layak dijalani.
Sementara Aristoteles lebih praktis, mengatakan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) dicapai melalui aktualisasi potensi tertinggi manusia, yakni akal (nous). Menurutnya, kebahagiaan bukan kesenangan sesaat, tetapi hasil dari hidup yang selaras dengan kebajikan (virtue) dan kebijaksanaan—yang semua itu hanya bisa dicapai melalui ilmu dan latihan.
2. Filsafat Islam: Ilmu sebagai Jalan Menuju Tuhan
Dalam tradisi filsafat Islam, tokoh seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali melihat ilmu sebagai jalan utama menuju kebahagiaan karena ilmu mendekatkan manusia kepada hakikat dan kepada Allah.
Bagi Al-Ghazali, ilmu adalah cahaya (nur) yang menuntun hati manusia kepada kebenaran. Kebahagiaan tidak mungkin diraih tanpa mengenal Tuhan—dan pengenalan itu hanya bisa dicapai lewat ilmu yang benar.
3. Psikologi Modern: Makna dan Kesadaran Diri
Dalam ilmu psikologi modern, terutama psikologi positif (Positive Psychology), pengetahuan diri (self-awareness) dan pemahaman tentang makna hidup merupakan faktor penting dalam menciptakan well-being. Martin Seligman, tokoh utama psikologi positif, menjelaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya berasal dari kesenangan (pleasure), tetapi juga dari engagement (keterlibatan penuh dalam aktivitas bermakna) dan meaning (merasa hidup ini punya tujuan). Untuk bisa mencapai dua hal terakhir, seseorang membutuhkan pengetahuan—tentang diri, relasi, dan dunia.
4. Sosiologi dan Pendidikan: Ilmu sebagai Alat Pembebasan
Dalam sosiologi pendidikan, pemikir seperti Paulo Freire menekankan bahwa ilmu membebaskan. Ilmu membuat seseorang sadar akan posisi dirinya dalam struktur sosial dan mampu mengambil tindakan yang transformatif. Orang yang terdidik, menurut Freire, bukan hanya memiliki informasi, tetapi punya kesadaran kritis (critical consciousness) yang memungkinkan ia memperjuangkan keadilan, yang pada akhirnya menjadi fondasi kebahagiaan kolektif.
Baik dalam filsafat kuno, Islam, psikologi, maupun sosiologi, ilmu selalu dilihat sebagai kunci kebahagiaan sejati—bukan karena ilmunya semata, tapi karena ilmu mengantar manusia pada kesadaran, makna, dan hubungan yang benar dengan dirinya, sesama, dan Tuhan. Maka, ketika Nabi Ibrahim memulai doanya dengan permohonan hikmah (ilmu yang diamalkan), beliau sedang meletakkan fondasi yang paling kokoh bagi kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.
Pelajaran Penting Bagi Lumira
Doa Nabi Ibrahim A.S. dalam QS Asy-Syu’ara yang dimulai dari permohonan hikmah (ilmu yang bermanfaat dan diamalkan), kemudian dilanjutkan dengan permohonan agar ditempatkan di tengah orang-orang saleh, dan baru setelah itu meminta kenikmatan surga, menyusun sebuah urutan makna yang sangat dalam: bahwa kebahagiaan sejati dan keselamatan abadi tidak datang secara instan atau semata karena faktor duniawi, melainkan dimulai dari ilmu—pemahaman yang benar tentang kehidupan, tentang Allah, dan tentang diri sendiri.
Ilmu dalam konteks ini bukan sekadar pengetahuan akademis, tetapi cahaya petunjuk yang membuat kita mampu membedakan mana yang benar dan salah, mana yang kekal dan fana. Dengan ilmu yang tepat, seseorang akan tahu jalan mana yang harus diambil. Ia akan mencari lingkungan yang mendukung pertumbuhan imannya—yakni berkumpul dengan orang-orang saleh.
Dan dengan fondasi itu, seseorang akan sampai kepada tujuan akhir yang hakiki: surga dan ridha Allah. Tanpa ilmu, bahkan harta atau kekuasaan pun tidak menjamin arah hidup seseorang—bisa saja ia justru tersesat, meski terlihat "berhasil" secara duniawi.
Itulah sebabnya Nabi Ibrahim tidak memulai doanya dengan permintaan harta atau kemuliaan dunia, karena harta adalah alat, bukan tujuan. Harta bisa memperdaya atau memperkuat, tergantung siapa yang memegangnya dan dengan niat apa ia digunakan.
Tapi ilmu—jika benar dan dibimbing wahyu—akan membawa seseorang pada kebijaksanaan, kesadaran, dan tindakan yang selaras dengan kehendak Allah. Maka, doa beliau menjadi pelajaran bahwa kebahagiaan sejati tidak dibangun dari apa yang kita miliki, tetapi dari apa yang kita pahami dan amalkan dengan sadar untuk mendekat kepada Tuhan.
Ilmu menghadirkan ketenangan karena ia menumbuhkan makna, menyingkap hikmah di balik ujian, dan menuntun hati agar tidak mudah goyah oleh gemerlap dunia. Bagi siapa pun yang mencarinya dengan tulus, ilmu bisa menjadi jembatan antara keresahan jiwa dan kedamaian yang hakiki.
Maka, tak heran jika para Nabi memulai perjuangan mereka bukan dengan harta atau kekuasaan, tetapi dengan permohonan akan hikmah—karena di sanalah awal mula kebahagiaan yang sesungguhnya.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏