TADABBUR QURAN: AL JASIYAH 23

TADABBUR QURAN: AL JASIYAH 23

Hai pencari cahaya! ✨🌝 

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan  25 Juli 2025,

Kadang, dalam perjalanan mengenal Al-Qur’an, kita merasa terpanggil untuk membagikan setitik cahaya yang kita dapat kepada orang lain. Bukan untuk merasa lebih tahu, apalagi menggurui, tapi semata karena dorongan cinta dan kepedulian. 


TADABBUR QURAN: AL JASIYAH 23

Kita berharap, apa yang menggetarkan hati kita dari ayat-ayat Allah juga akan menyentuh hati mereka. Namun kenyataan tak selalu berjalan seindah harapan. Ada jiwa-jiwa yang nampaknya mendengar, bahkan menanggapi dengan sopan, tapi tak ada yang berubah dari perilakunya. Bahkan ada pula yang menolak mentah-mentah, menganggap dirinya sudah cukup tahu, merasa tak butuh cahaya tambahan.

Dalam momen-momen seperti itulah QS Al-Jāṡiyah: 23 terasa begitu nyata. Kita menjadi saksi bahwa sebagian manusia bisa begitu tenggelam dalam hawa nafsunya hingga tidak lagi tersentuh oleh kebenaran. 

Maka kita pun merenung dalam-dalam—jangan-jangan kita juga seperti itu, hanya saja belum menyadarinya. Ayat ini menjadi cermin yang menelanjangi tabir ketidaksadaran kita: adakah kita menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan?

Ketika Nafsu Menjadi Tuhan


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُ وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةًۗ فَمَنْ يَّهْدِيْهِ مِنْۢ بَعْدِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ

Tahukah kamu (Nabi Muhammad), orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan dibiarkan sesat oleh Allah dengan pengetahuan-Nya, Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya, siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Apakah kamu (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?

Al-Jāṡiyah [45]:23

Ayat ini dibuka dengan pertanyaan retoris yang mengguncang: "Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya?" Kalimat ini bukan sekadar menggambarkan penyimpangan akidah, tapi juga bentuk paling ekstrem dari kerusakan jiwa: ketika seseorang menempatkan dorongan emosional dan keinginan pribadinya di atas segala nilai, akal, dan wahyu. Dalam bahasa lain, ia telah menyembah keinginannya sendiri.

Menurut Tafsir Tahlili, ayat ini turun merespons dialog antara Abu Jahal dan Al-Walid bin Al-Mughirah. Abu Jahal mengakui kebenaran Nabi Muhammad ﷺ, tapi menolaknya karena gengsi dan citra sosial. Ia lebih memilih popularitas dan status di mata manusia daripada kebenaran yang sudah diakui hatinya. Ini adalah potret klasik dari manusia yang mempertuhankan hawa nafsu: mengetahui kebenaran, tapi tetap berpaling karena tak mau tunduk pada konsekuensinya.

Sikap seperti ini bukan hanya milik para tokoh Quraisy masa lalu. Hari ini pun, banyak orang yang sebenarnya tahu apa yang benar dan baik, tapi menolaknya demi mempertahankan zona nyaman. Nafsu yang berwujud ego, ambisi dunia, atau rasa takut kehilangan status sering kali lebih berkuasa daripada iman. Maka, pertanyaan besar bagi kita: apakah kita sudah bebas dari penghambaan semacam itu? Ataukah kita terjebak di dalamnya?

Segel Ilahi pada Hati dan Indra

Ayat ini melanjutkan dengan konsekuensi yang mengerikan: Allah mengunci pendengaran dan hati mereka, serta meletakkan penutup pada penglihatan mereka. Dalam istilah tafsir, ini disebut sebagai bentuk khathampenguncian spiritual karena penolakan terus-menerus terhadap kebenaran. Bukan karena Allah zalim, tapi karena mereka sendiri yang menutup pintu hidayah.

Tafsir Kemenag menjelaskan bahwa orang-orang seperti ini sebenarnya telah diberi cukup bukti dan pengetahuan, tapi karena terus-menerus menolak, maka Allah membiarkan mereka larut dalam kesesatan

Ilmu yang seharusnya menyelamatkan malah menjadi saksi atas kehancuran mereka. Ini adalah bentuk azab yang paling sunyi: tidak terasa, tapi sangat dalam dan mematikan.

Refleksi ini membuatku sering bertanya pada diriku sendiri: apakah hatiku masih peka? Apakah aku masih bisa mendengar teguran halus dari Allah, atau justru sudah terlalu terbiasa dengan maksiat dan pembenaran diri hingga tak merasa bersalah lagi? Ayat ini seperti tamparan agar kita senantiasa membersihkan hati dari kerak hawa nafsu yang mengeras.

Dalam Tafsir Sa'di ayat ini menggambarkan kondisi tragis seseorang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan—ia mengikuti setiap keinginan tanpa peduli apakah hal itu diridai Allah atau justru mengundang murka-Nya. Allah membiarkannya tersesat berdasarkan ilmu-Nya, karena orang itu tidak layak menerima hidayah dan tidak bersungguh-sungguh dalam mencari kebenaran. 

Sebagai konsekuensinya, Allah menutup pendengaran, hati, dan penglihatannya dari segala bentuk kebaikan dan petunjuk. Maka, setelah Allah membiarkannya dalam kesesatan, tidak ada satu pun yang bisa memberinya petunjuk. Allah tidak menzaliminya, tetapi ia sendiri yang menutup dirinya dari rahmat Allah. Ayat ini ditutup dengan peringatan agar manusia mengambil pelajaran, yakni membedakan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Nafsu: Anugerah atau Jerat?

Dalam Tafsir Tahlili dijelaskan bahwa hawa nafsu sejatinya adalah anugerah. Ia bukan musuh, melainkan bagian dari fitrah manusia. Namun ketika nafsu tidak dikendalikan oleh akal dan wahyu, ia berubah menjadi jerat yang menyesatkan. Maka, manusia terbagi menjadi dua golongan: yang menundukkan hawa nafsunya, dan yang ditundukkan oleh nafsunya.

Ibnu ‘Abbas bahkan berkata bahwa setiap kali hawa nafsu disebut dalam Al-Qur’an, Allah selalu mencelanya. Ini bukan tanpa alasan. Nafsu yang liar bisa membuat manusia lupa pada tugas kekhalifahan, meremehkan azab akhirat, bahkan menolak nasihat dengan angkuh. 

Seperti yang digambarkan dalam Surah al-A‘rāf ayat 176, mereka diibaratkan seperti anjing yang menjulurkan lidahnya tanpa henti—simbol kelelahan dalam mengejar dunia yang tak ada habisnya.

Namun, ada harapan. Allah juga memuji orang yang mampu menahan nafsunya dalam Surah an-Nāzi‘āt ayat 40–41. Mereka yang takut kepada kebesaran Allah dan mampu menundukkan nafsu dijanjikan surga. Ini adalah kabar gembira bagi siapa saja yang sedang berjuang dalam jihad terbesar: melawan dirinya sendiri.

Ketika Kita Harus Melepaskan

Dalam pengalaman pribadiku, sering kali saya ingin membantu seseorang yang sedang gelap dalam batinnya. Saya mencoba membacakan ayat, mengajak bicara dari hati ke hati, bahkan berdoa agar ia tersadar. Namun hasilnya nihil. Bukan hanya tidak berubah, ia malah menolakku dan menganggapku terlalu mencampuri hidupnya. Di titik itulah aku mulai mengerti makna ayat ini dari sisi yang berbeda: tidak semua jiwa mau disembuhkan.

Ayat ini menunjukkan bahwa ada batas sampai mana manusia bisa memberi pengaruh. Pada akhirnya, hanya Allah yang bisa membukakan hati seseorang. Ketika Allah telah membiarkan mereka tersesat, tidak ada satu pun makhluk yang mampu memberi petunjuk. Maka, kadang yang terbaik bukan lagi berbicara atau membujuk, tapi diam dan berjarak—membiarkan takdir dan waktu yang mengambil alih.

Di titik ini, saya tak hanya berduka karena gagal menolong jiwa lain. Saya juga gemetar karena takut, jangan-jangan syalah orang yang menolak kebenaran dengan cara yang lebih halus. Ayat ini tidak hanya tentang mereka, tapi juga tentang kita. 

Dan mungkin, refleksi terdalam adalah bertanya pada diri sendiri: apakah aku sudah tunduk pada wahyu, ataukah aku masih hamba dari nafsuku sendiri?

QS Al-Jāṡiyah: 23 bukan hanya mengisahkan tentang orang-orang yang tersesat karena hawa nafsunya, tapi juga mengajarkan kita untuk berkaca. Dalam kehidupan sehari-hari, bisa saja kita menolak kebenaran tanpa sadar—karena ego, takut berubah, atau terlalu nyaman dengan pola lama. Padahal, penolakan seperti ini perlahan akan menutup hati dan membuat kita tak lagi peka terhadap cahaya kebenaran.

Semoga Allah senantiasa menjaga hati kita agar tetap hidup, telinga kita agar terus peka, dan mata kita agar bisa melihat tanda-tanda kebesaran-Nya. Dan semoga kita tidak termasuk golongan yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan, tapi menjadi hamba yang benar-benar tunduk pada Rabb-nya.

Posting Komentar

0 Komentar