بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 28 Juli 2025.
Menyambung Tadabbur QS Al-Jāsiyah: 23 sebelumnya, kali ini Lumira ingin mengajakmu menyelami kedalaman makna yang selaras dari QS Al-A'raf ayat 175–176. Kedua ayat ini seperti benang merah yang menyingkap betapa bahayanya mengikuti hawa nafsu hingga melupakan hidayah dan petunjuk Allah. Ayat ini datang sebagai peringatan sekaligus cerminan diri bagi kita semua, terutama bagi jiwa-jiwa yang sedang bermuhasabah dalam senyap.
TADABBUR QURAN: Al A'RAF 175 - 176
Allah Yang Maha Kasih tak pernah lelah menunjukkan jalan kepada hamba-Nya: melalui peristiwa hidup, ilmu yang terbuka di hadapan mata, nasihat yang menyapa telinga, dan terutama lewat ayat-ayat suci yang penuh cahaya. Tapi kadang hati kita yang keruh menolaknya hanya karena terasa tidak selaras dengan keinginan atau terlihat "klise" di mata duniawi.
Padahal seringkali, pertolongan Allah bukan datang dalam bentuk jalan pintas atau solusi instan. Pertolongan itu hadir dalam bentuk proses—petunjuk yang menuntun kita langkah demi langkah. Namun, karena kita tidak sabar dan merasa tahu lebih baik, kita abaikan petunjuk itu.
Kita mengira Allah membiarkan kita sendiri, padahal kitalah yang memalingkan wajah dari-Nya. Ayat ini mengajarkan bahwa siapa pun yang menolak ayat-ayat Allah setelah mengetahuinya, akan perlahan-lahan dikuasai oleh hawa nafsu dan godaan setan, hingga akhirnya terjerumus dalam kesesatan.
Melepaskan Diri dari Ayat-ayat Allah: Awal Kejatuhan
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ الَّذِيْٓ اٰتَيْنٰهُ اٰيٰتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَاَتْبَعَهُ الشَّيْطٰنُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِيْنَBacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka (tentang) berita orang yang telah Kami anugerahkan ayat-ayat Kami kepadanya. Kemudian, dia melepaskan diri dari (ayat-ayat) itu, lalu setan mengikutinya (dan terus menggodanya) sehingga dia termasuk orang yang sesat.Al-A‘rāf [7]:175
QS Al-A'raf: 175 mengisahkan seseorang yang pernah diberi ilmu oleh Allah—pengetahuan tentang ayat-ayat-Nya, dalil-dalil keesaan-Nya, dan jalan lurus yang semestinya dia tempuh. Namun, alih-alih menjaga ilmu itu sebagai cahaya penuntun, dia justru memilih untuk menanggalkannya.
Dalam Tafsir Tahlili, Allah menggambarkan sikap ini dengan kata "insalakha" yang berarti keluar seperti ular melepaskan kulitnya. Bayangkan, sebuah gambaran yang begitu kuat tentang seseorang yang meninggalkan kebenaran setelah mengetahuinya. Ini bukan hanya soal tidak tahu, tapi tentang tahu dan memilih untuk tidak peduli.
Beberapa mufasir seperti Qatadah dan Ikrimah menjelaskan bahwa ayat ini tidak mesti menunjuk pada satu tokoh sejarah tertentu, melainkan bersifat universal. Ini adalah gambaran manusia yang mengenal petunjuk, bahkan telah berinteraksi langsung dengan ayat-ayat Allah, tetapi akhirnya tunduk pada hawa nafsunya.
Dalam konteks modern, ini seperti orang yang sudah banyak belajar ilmu agama, mengikuti kajian, membaca Al-Qur'an, tapi kemudian tergelincir karena ambisi, cinta dunia, atau bisikan ego. Ia tahu, tapi memilih mengabaikan.
Kisah ini menggambarkan awal mula kejatuhan spiritual seseorang. Bukan karena ia tidak tahu, tetapi karena ia menolak untuk berjuang melawan keinginan nafsunya. Akhirnya, setan pun mengikutinya dan membimbingnya semakin jauh dari jalan yang lurus. Tafsir Kemenag menegaskan bahwa inilah awal dari kesesatan yang hakiki: mengetahui kebenaran tapi melepaskannya seperti tidak pernah diberi cahaya sama sekali.
Terlena pada Dunia: Saat Nafsu Menggantikan Akal
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنٰهُ بِهَا وَلٰكِنَّهٗٓ اَخْلَدَ اِلَى الْاَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوٰىهُۚ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ الْكَلْبِۚ اِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ اَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْۗ ذٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَاۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَSeandainya Kami menghendaki, niscaya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung pada dunia dan mengikuti hawa nafsunya. Maka, perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikian itu adalah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka, ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.Al-A‘rāf [7]:176
Ayat berikutnya (QS Al-A'raf: 176) mengungkap kondisi lanjutan orang tersebut. "Kalau Kami mau, niscaya Kami tinggikan derajatnya dengan ilmu itu," Firman Allah. Tapi ia memilih untuk "condong ke bumi"—cinta dunia—dan menuruti hawa nafsunya.
Gambaran perumpamaannya pun sangat tragis: seperti anjing yang selalu menjulurkan lidah, apakah diusir atau tidak. Tafsir Kemenag menyebut ini sebagai simbol dari kondisi jiwa yang tidak pernah tenang, selalu haus, dan tergila-gila pada kenikmatan dunia yang fana.
Tafsir Tahlili menggambarkan individu ini sebagai seseorang yang sebelumnya berpotensi menjadi ulama besar atau manusia luhur karena ilmunya, namun justru jatuh ke dalam kebodohan spiritual karena rakus terhadap dunia. Ia mengabaikan nilai-nilai luhur yang semestinya tumbuh dari ilmunya. Ini relevan sekali dengan fenomena hari ini: ketika ilmu tidak lagi membawa seseorang kepada keikhlasan dan ketakwaan, tapi malah menjadi alat mengejar ketenaran, kekuasaan, dan pengaruh.
Gambaran seperti anjing bukan untuk merendahkan secara fisik, melainkan menunjukkan kondisi psikologis yang lelah tapi tidak pernah kenyang. Ia terus menjulurkan lidah karena hasrat duniawinya tak pernah puas. Tidak peduli diberi atau tidak, tetap saja ia mengejar dan terus mengejar.
Inilah potret manusia yang menjadikan dunia sebagai tuhan palsu—selalu merasa kurang, selalu merasa ingin lebih, dan lupa bahwa ketenangan sejati datang dari menerima hidayah dan berjalan di jalan-Nya.
Nafsu, Ilmu, dan Kesempatan yang Terbuang
Salah satu pelajaran penting dari dua ayat ini adalah bahwa ilmu tidak selalu menyelamatkan seseorang, jika tidak disertai dengan kesungguhan menjaga hati dan menundukkan nafsu. Bahkan orang yang alim pun bisa tergelincir jika ilmunya tidak ia jaga dengan ketakwaan. Dalam tafsir disebutkan bahwa orang ini sebenarnya memiliki peluang besar untuk meraih derajat tinggi di sisi Allah, namun ia sendiri yang memilih untuk menolaknya.
Seringkali kita lupa bahwa setiap ilmu yang Allah titipkan bukan hanya untuk diketahui, tapi untuk diamalkan.
Ketika kita membaca ayat, mendengar nasihat, atau mendapatkan pemahaman, saat itu pula kita sedang diuji: apakah akan kita jaga dan rawat, ataukah kita lepas begitu saja? Setiap kali kita menolak untuk mengikuti petunjuk itu, kita menyingkir sedikit demi sedikit dari jalan hidayah. Hingga akhirnya, seperti orang dalam ayat ini, kita pun bisa tersesat dan lupa arah.
Ilmu tanpa adab dan iman bisa menjadi alat kehancuran spiritual. Apalagi jika digunakan untuk pembenaran hawa nafsu. Maka ayat ini menjadi pengingat keras: bahwa Allah tak akan memaksakan hidayah. Bila kita tak menjaganya, Allah bisa mencabut cahaya itu, dan membiarkan kita tersesat dalam gelap yang kita pilih sendiri.
Ketika Ilmu Tidak Lagi Menuntun, tetapi Membinasakan
Pada ayat-ayat ini, Allah menampilkan potret tragis seorang manusia yang awalnya telah Allah anugerahi ilmu dan ayat-ayat-Nya, namun kemudian justru tergelincir karena memperturutkan hawa nafsunya.
Potret ini bukan hanya kisah masa lalu, tetapi peringatan keras bagi siapa saja yang belajar agama namun tidak menundukkan hawa nafsunya kepada petunjuk Allah. Ayat-ayat ini mengajak kita untuk merenung: apakah ilmu yang kita peroleh semakin mendekatkan kita kepada Allah, atau justru menjadi alat untuk kesombongan dan hawa nafsu?
1. Ilmu yang tidak diamalkan akan menjadi bumerang
Allah mengingatkan kita dalam QS Al-A'raf:175, bahwa ada orang yang telah diberi ayat-ayat Allah, namun melepaskan diri darinya, lalu diikuti oleh setan hingga menjadi orang yang sesat. Tafsir dari Li Yaddabbaru Ayatih (Markaz Tadabbur) menyatakan bahwa ini adalah gambaran seseorang yang menuntut ilmu bukan untuk mendekat kepada Allah, melainkan sebagai sarana kesombongan, konflik, dan kehancuran. Ilmu menjadi kendaraan hawa nafsu, bukan alat keselamatan.
2. Ilmu tidak menjamin ketinggian derajat tanpa ketundukan
Masih dalam tafsir yang sama, disebutkan bahwa ilmu semata tidak menjamin kemuliaan. Allah telah memberikan ayat-ayat kepada hamba itu, tetapi tidak meninggikannya karena ia tidak tunduk. Bahkan disebut dalam ayat 176: “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya.” Derajat manusia tergantung pada sejauh mana ia menundukkan dunia dan nafsunya kepada ilmu, bukan sebaliknya.
3. Perumpamaan tragis: seperti anjing yang terjulur lidahnya
Perumpamaan orang yang memperturutkan hawa nafsunya setelah diberi ilmu adalah seperti anjing: “jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya, ia menjulurkan lidahnya juga” (QS Al-A'raf: 176). Artinya, orang ini tidak mengambil manfaat dari peringatan maupun pembiaran; kondisinya selalu mengikuti hawa nafsu. Menurut Tafsir Li Yaddabbaru Ayatih, ini adalah gambaran orang yang tidak bisa dikendalikan oleh ilmunya, sehingga kekejian menjadi wataknya.
4. Perbandingan dengan keledai pembawa kitab
Allah membandingkan dua perumpamaan: anjing dan keledai. Dalam QS Al-Jumu’ah: 5, disebutkan bahwa orang yang diberi Taurat namun tidak mengamalkannya seperti keledai yang membawa kitab-kitab berat. Ini adalah peringatan serius bahwa tanpa pengamalan, ilmu hanya akan menjadi beban. Orang yang hanya menghafal dan mengetahui, tapi tidak berubah dalam perilaku dan hati, tidak berbeda dengan binatang yang membawa kitab namun tidak tahu maknanya.
5. Tafsir Ibnu Katsir: Bal'am bin Ba'ura sebagai cermin pengkhianatan ilmu
Menurut Tafsir Ibnu Katsir (dalam ringkasan Fathul Karim), sosok Bal'am adalah tokoh nyata dari Bani Israil yang diberi ilmu dan doa yang makbul. Namun ketika kaumnya meminta agar ia berdoa melawan Musa, ia enggan, karena tahu akibatnya. Namun karena desakan hawa nafsu dan tekanan sosial, ia akhirnya berdoa, dan Allah mencabut seluruh karunia itu. Setan menguasainya sepenuhnya, hingga ia tidak lagi memiliki daya pikir sehat dan mengikuti setiap bisikan keburukan.
Firman Allah tentang lidah yang terjulur itu menjadi gambaran bahwa ia tidak lagi bisa mendapat manfaat dari nasihat maupun ancaman. Sebagaimana disebut dalam QS Al-Baqarah: 6 dan QS At-Taubah: 80, jenis manusia seperti ini telah tertutup hatinya karena kesengajaan mereka dalam menyimpang.
6. Kisah Qur'ani bukan hiburan, tetapi cermin tajam untuk perenungan
Penutup ayat ini (QS Al-A'raf: 176–177) menegaskan: “Maka ceritakanlah kepada mereka kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” Kisah Qur'ani bukan sekadar dongeng, tetapi realita umat-umat terdahulu agar kita belajar. Tafsir Li Yaddabbaru Ayatih menekankan bahwa kisah-kisah itu hadir sebagai sarana tafakkur dan tadabbur mendalam, bukan konsumsi emosi sesaat. Kisah Bal'am adalah cermin: apakah kita sedang mendekat kepada Allah melalui ilmu, atau tergelincir oleh hawa nafsu di balik label keilmuan?
Ilmu adalah amanah dan cahaya, namun bisa menjadi kutukan bila tidak dibarengi ketundukan hati kepada Allah. Ayat-ayat ini menjadi tamparan keras bagi siapa saja yang merasa "sudah tahu", tetapi tak berubah dalam sikap dan perilaku. Dan peringatan ini paling keras saya tujukan kepada diri saya sendiri.
Dalam dunia yang penuh informasi dan akses ke ilmu agama, justru tantangannya adalah menjaga hati tetap jernih dan tidak menjadikan ilmu sebagai alat kepentingan pribadi. Kisah Bal'am bin Ba'ura menjadi gambaran tragis bahwa keilmuan bukan jaminan selamat, bahkan bisa menjadi pintu kebinasaan jika tidak dibingkai dengan ketakwaan dan kendali terhadap hawa nafsu.
Refleksi Diri
Kedua ayat dalam QS Al-A'raf ini datang sebagai cermin. Bukan untuk menuding orang lain, tapi untuk mengintrospeksi diri sendiri. Adakah kita sedang perlahan-lahan menjauh dari ayat-ayat Allah? Adakah kita sedang membiarkan dunia dan nafsu menggiring kita, tanpa sadar, menuju kebinasaan spiritual? Semoga Allah melindungi hati-hati kita dari kekerasan dan kesombongan yang membuat kita enggan tunduk pada kebenaran.
Bagi saya pribadi, sering kali ujian yang datang dari lingkungan sekitar justru menjadi momen penting untuk menguji sejauh mana ilmu yang saya pelajari benar-benar hidup dalam diri saya. Allah SWT seolah memberi ruang untuk menguji pemahaman melalui praktik nyata, agar ilmu itu tidak hanya berhenti sebagai teori di kepala.
Ketika dihadapkan pada konflik, ketidaknyamanan, atau situasi yang menantang kesabaran, saya mulai sadar bahwa inilah ladang tempat ilmu diuji dan diwujudkan dalam bentuk akhlak dan pilihan hidup. Tanpa ujian, ilmu hanya akan menjadi tumpukan konsep, bukan cermin keimanan yang hidup dalam keseharian.
Allah masih memberi waktu. Masih memberi cahaya. Selama kita mau berpaling, kembali, dan berpegang pada ayat-ayat-Nya, maka masih ada harapan. Mari terus menjaga hati, menundukkan hawa nafsu, dan merawat cahaya iman agar tidak padam. Karena sesungguhnya, hidayah itu bukan hanya soal diberi, tapi juga soal dijaga dan diamalkan.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏