Bismilllah...
Lumira baru sadar, seharusnya Ayat yang kita tadabburi hari ini menjadi ayat postingan pertama tentang series Tadabbur Quran di blog ini. Namun, karena Lumira sering membahas tentang ayat ini, jadi berasa sudah membahas sebelumnya. Padahal ayat ini menjadi ayat pertama yang diwahyukan kepada Rasul oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril.
TADABBUR QURAN: AL ALAQ 1
Merenungi Al Quran itu amatlah luas bahasannya. Melalui 1 ayat saja kita akan mendapatkan banyak pengetahuan di dalamnya. Termasuk ayat yang akan saya bahas kali ini. Sebelumnya saya menggunakan ayat ini dalam konteks menulis dan journaling. Kali ini saya ingin membahasnya dalam konteks perkembangan sains dan teknologi.
Surat Al-‘Alaq Ayat 1 dalam Perspektif Sains dan Filsafat
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚBacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!Al-‘Alaq [96]:1
Ayat ini selalu menggugah hati saya setiap kali membacanya. Ini bukan hanya kata pembuka dalam wahyu pertama kepada Rasulullah ﷺ, tapi juga merupakan panggilan suci untuk memulai perjalanan ilmu yang akan terus berkembang sepanjang zaman. Satu kata: Iqra’ (bacalah), menjadi gerbang revolusi spiritual, intelektual, dan peradaban manusia.
Sebagai seorang pencari makna di zaman digital seperti sekarang, saya melihat bahwa perintah membaca ini bukanlah sekadar tentang mengeja huruf atau memahami teks. Dalam kedalaman maknanya, "Iqra’" adalah perintah untuk belajar, meneliti, mengamati, dan mengeksplorasi alam semesta. Dan semua itu harus dilakukan bi ismi rabbik—dengan menyebut nama Tuhan—artinya dengan niat yang lurus dan akhlak yang terjaga.
Ilmu Pengetahuan: Jembatan antara Wahyu dan Kenyataan
Apa yang membuat saya semakin terpesona adalah bagaimana ayat ini mendahului zaman. Al-Qur’an diturunkan di tengah masyarakat Arab yang saat itu belum mengenal peradaban sains modern. Namun, ayat-ayatnya telah menggambarkan berbagai fenomena ilmiah—mulai dari asal-usul penciptaan manusia, siklus hujan, hukum gravitasi, hingga ekspansi alam semesta. Hal-hal yang baru dipahami lewat lensa ilmu pengetahuan ratusan atau bahkan ribuan tahun setelahnya.
Misalnya, ayat-ayat tentang penciptaan manusia dari segumpal darah (QS. Al-‘Alaq: 2), tentang orbit planet (QS. Yasin: 40), atau tentang perluasan langit (QS. Adz-Dzariyat: 47) kini dibuktikan oleh embriologi, astrofisika, dan kosmologi modern. Ayat demi ayat menjadi potongan mozaik kebenaran yang dahulu misterius, kini mulai tersingkap oleh kemajuan teknologi.
Bagi Lumira, ini bukan kebetulan. Ini adalah bukti bahwa Al-Qur’an adalah induk pengetahuan (ummul ma‘rifah). Ia bukan buku sains, tapi ia menjadi cahaya bagi sains. Ia bukan kitab teori ilmiah, tapi ia memberikan kerangka berpikir untuk meneliti dan merenung dengan akal yang bersih dan hati yang jernih.
Pandangan Para Filsuf: Ilmu dan Iman Tak Boleh Dipisah
Pandangan ini didukung pula oleh para filsuf Muslim klasik. Al-Farabi dan Ibnu Sina memandang bahwa ilmu adalah jalan menuju kesempurnaan manusia, dan bahwa akal adalah anugerah tertinggi yang diberikan Allah untuk mengenal-Nya dan mencintai-Nya.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan bahwa semua ilmu yang membawa manusia kepada pemahaman terhadap diri dan Tuhannya adalah ilmu yang mulia. Bahkan ilmu tentang dunia (ilmu kedokteran, astronomi, pertanian, dan lain-lain) tidak ditolak, selama itu diarahkan untuk kemaslahatan dan dijalankan dengan akhlak.
Sedangkan dalam filsafat Barat, Francis Bacon, pelopor metode ilmiah modern, menyatakan bahwa "knowledge is power"—ilmu adalah kekuatan. Namun, dalam sudut pandang Qur’ani, saya percaya bahwa ilmu bukan hanya kekuatan, tapi juga amanah dan petunjuk.
Immanuel Kant, salah satu pemikir besar dari Jerman, percaya bahwa akal manusia memiliki batas. Maka, di titik di mana akal tak sanggup lagi menjawab, kita memerlukan moral dan keyakinan. Bagi saya, di sinilah iman mengambil peran—melengkapi keterbatasan logika dengan kebijaksanaan wahyu.
Teknologi Sebagai Amanah, Bukan Alat Kesombongan
Kemajuan teknologi yang kita lihat hari ini—dari kecerdasan buatan, bioteknologi, hingga penjelajahan luar angkasa—semua adalah buah dari "Iqra’". Namun ironisnya, kemajuan ini terkadang menjauhkan manusia dari Allah. Ilmu dijadikan alat kesombongan, bukan jalan penghambaan.
Padahal, ayat ini jelas menuntun kita: membaca dengan nama Tuhanmu. Artinya, ilmu dan teknologi harus diarahkan untuk kebaikan, bukan penghancuran. Untuk menolong sesama, bukan mengeksploitasi. Untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan menjauhkan.
Misalnya saja teknologi AI yang sekarang berkembang, saya percaya bahwa apa pun yang terjadi di dunia ini, hakikatnya diijinkan oleh Allah SWT untuk terjadi, termasuk adanya perkembangan AI dan digital. Masalahnya, sebagai manusia yang hidup di era masa kini, apakah kita akan memanfaatkan AI untuk tujuan mendekatkan diri KepadaNya atau justru menjauh DariNya.
Misalnya, saya memilih menggunakan AI ini untuk membuat hubungan saya dengan Allah SWT semakin dekat dengan membuat seri Tadabbur Al Quran ini. Beberapa desain yang saya gunakan untuk membuat image dalam blog ini, saya mengggunakan bantuan AI agar lebih cepat dan efisien.
Pun beberapa riset penulisan, yang saya bisa dapatkan dari AI untuk kemudian dicek relevansinya guna melengkapi pengetahuan yang ada. Ini menjadi sala satu pilihan apakah kita memanfaatkan teknologi untuk menjadi lebih dekat pada Allah SWT atau sebaliknya.
Ketika saya merenungkan ayat ini di tengah arus digital dan banjir informasi, saya teringat bahwa ayat ini mengajarkan prioritas: belajar tidak hanya untuk tahu, tapi untuk menjadi bijak dan berakhlak. Kita belajar bukan agar unggul semata, tapi agar tunduk dan bersyukur kepada Yang Maha Tahu.
Akhirnya, Kita Kembali Menjadi Hamba
Surat Al-‘Alaq dimulai dengan kata Iqra’ dan ditutup dengan seruan untuk sujud dan mendekatlah (QS. Al-‘Alaq: 19). Seolah Allah sedang berkata: "Bacalah, pelajarilah, telitilah… lalu jangan lupa sujudlah."
Karena pada akhirnya, semua pengetahuan akan terasa hampa jika tidak membawa kita kepada Sang Pemilik Pengetahuan. Maka, setiap kali saya belajar sesuatu yang baru—baik tentang sains, teknologi, atau filsafat—saya selalu berusaha mengingat bahwa semua ini adalah jalan untuk mengenal-Nya lebih dalam.
Sering kali kita bertanya, "bagaimana nasib manusia kelak bila digantikan dengan AI?" Pada dasarnya, manusia yang tak bisa digantikan oleh AI adalah manusia yang selalu mengingat Allah SWT.
Bila yang membedakan manusia dengan binatang adalah akalnya, maka yang membedakan manusia dengan AI adalah spiritualitas dan relasinya dengan Tuhan Semesta Alam.
Al-Qur’an adalah cahaya yang tak pernah padam, dan “Iqra’” adalah pelita awalnya.
Saya mengajak kita semua untuk terus membaca, meneliti, dan belajar. Tapi jangan lupa untuk bertanya:
“Apakah ilmu yang kupelajari ini sudah mengantarkanku pada kerendahan hati dan pengakuan terhadap keagungan-Nya?”
Jika iya, maka berarti kita sedang melangkah dalam cahaya "Iqra’" itu sendiri.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏