TADABBUR QURAN: AL ANFAL 22

TADABBUR QURAN: AL ANFAL 22

Hai pencari cahaya! ✨🌝

Bismillah...

Tadabbur ayat kali ini, sifatnya sangat personal bagi Lumira, gaes. Karena kemarin saat mencatat dan mentadaburri ayat ini, rasanya tuh sangat menusuk hati. Terkadang, kita menolak kebenaran, hanya karena yang menyampaikannya adalah orang yang tidak kita sukai. 

Padahal, hakikatnya Allah SWT mengirimkan orang tersebut untuk "mengajari" atau pun menyampaikan sesuatu yang baik untuk kita. Namun kecenderungan hati kita yang lebih dominan dalam hal tidak "menyukai" membuat kita enggan mendengarkannya, walaupun itu merupakan hal yang benar. 

TADABBUR QURAN: AL ANFAL 22

Pernahkah kita berpikir, bagaimana mungkin manusia yang diciptakan sebagai makhluk paling mulia bisa lebih rendah dari binatang? Al-Qur'an menyentuh kenyataan ini dengan sangat tajam dalam Surat Al-Anfal ayat 22. Allah berfirman:

"Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang tuli dan bisu yang tidak mengerti apa pun." (QS. Al-Anfal: 22)

Ayat ini tidak sedang menghina fisik orang-orang yang memiliki keterbatasan pendengaran dan ucapan. Sebaliknya, ini adalah peringatan tajam kepada mereka yang menolak untuk mendengar kebenaran dan enggan berkata benar, padahal mereka memiliki akal dan potensi untuk memahami. Artikel ini mencoba membedah makna ayat ini dari berbagai perspektif—tafsir, filsafat, psikologi, sains, hingga tasawuf—agar kita bisa merenungkan posisi kita sebagai manusia.

Manusia Memiliki Pilihan

TADABBUR QURAN: AL ANFAL 22 Part 1

Menurut Tafsir Kementerian Agama RI, ayat ini menyindir mereka yang memiliki kemampuan mendengar dan berpikir, namun tidak digunakan untuk menerima kebenaran. Allah mengibaratkan mereka sebagai makhluk yang paling buruk karena mereka 'tuli' terhadap kebenaran dan 'bisu' dalam menyampaikan nilai-nilai baik. 

Sekalipun Allah mampu memberikan mereka hidayah, Dia mengetahui bahwa tidak ada sedikit pun keinginan dalam diri mereka untuk berubah. Bahkan jika diberi kemampuan mendengar dan memahami, mereka tetap akan berpaling karena tunduk pada hawa nafsu. Ini menjadi bukti bahwa manusia sebenarnya diberikan pilihan untuk bertindak dan berperilaku, oleh sebab itu pula, kelak ia akan diminta pertanggungjawaban atas pilihannya. 

Manusia dan Sifat Kebinatangan

TADABBUR QURAN: AL ANFAL 22 Part 2

Perspektif tafsir ini juga sejalan dengan pandangan para filsuf klasik, baik dari dunia Islam maupun Barat, tentang kodrat dan tanggung jawab moral manusia. Filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga lapisan jiwa:
  • Nafs nabatiyyah (jiwa tumbuhan),
  • nafs hayawaniyyah (jiwa binatang), dan
  • nafs natiqah (jiwa rasional).

Ketika manusia lebih dikendalikan oleh jiwa hewani (nafsu syahwat, amarah, keserakahan), ia kehilangan kemuliaannya sebagai makhluk berakal. Maka, penggambaran dalam ayat ini bukan berarti manusia tidak punya akal, tetapi tidak menggunakannya. Dalam konteks ini, mereka lebih buruk daripada binatang, karena binatang memang tidak memiliki akal, sedangkan manusia memilih untuk tidak menggunakannya.

Dalam filsafat Barat, Aristoteles menyebut manusia sebagai animal rationale—makhluk rasional. Ketika manusia hidup tanpa nalar dan hanya mengikuti naluri, ia sebenarnya meninggalkan kodratnya. 

Immanuel Kant pun menekankan bahwa tindakan bermoral hanya mungkin dilakukan jika manusia menggunakan akal secara otonom. Maka, manusia yang tahu mana yang benar tetapi tetap memilih yang salah sedang mengkhianati kemanusiaannya sendiri. Ini sangat relevan dengan Al-Anfal 22: bukan tak mampu, tetapi tak mau.

Sudut Pandang Tasawuf Dan Modern

Dalam perspektif tasawuf, orang yang 'tuli dan bisu' dalam ayat ini adalah mereka yang hatinya tertutup dari cahaya ilahi. Menurut Imam Al-Ghazali, hati yang tertutup oleh dosa dan kelalaian tidak bisa lagi merasakan kebenaran. Mereka hidup dalam ghaflah (kelalaian) dan zulumat (kegelapan batin). Walau memiliki indera fisik yang utuh, mereka kehilangan indera ruhani yang lebih penting.

Penolakan terhadap kebenaran bisa juga merupakan hasil dari struktur sosial atau budaya. Emile Durkheim dan Pierre Bourdieu menunjukkan bahwa norma dan nilai yang tertanam dalam masyarakat bisa membentuk pola pikir yang menolak informasi baru. Maka, ketulian dalam ayat ini bisa juga dibaca sebagai kebutaan sosial, di mana seseorang tidak mampu membedakan benar dan salah karena telah dikondisikan oleh lingkungan.

Alasdair MacIntyre mengkritik manusia modern dengan sebutan kehilangan "kompas moral objektif".Melalui etika kebajikan dan kritiknya terhadap moralitas modern, ia menekankan bahwa penilaian moral sejati bersumber dari karakter baik yang dibentuk dalam tradisi sosial yang bermakna. Artinya, moralitas bukan sekadar soal preferensi pribadi, tetapi berpijak pada standar yang lebih objektif dan mendalam dalam konteks budaya dan sejarah tertentu.

Jika semua dianggap relatif dan tak ada kebenaran tunggal, maka manusia akan kehilangan arah. Ia tidak lagi bisa membedakan kebenaran dari kebatilan, dan akhirnya hidup mengikuti hawa nafsu. Di sinilah ayat Al-Anfal 22 kembali terasa relevan.

Ketulian Kognitif dan Disonansi Moral

TADABBUR QURAN: AL ANFAL 22 Part 3

Teori disonansi kognitif menyebutkan bahwa ketika seseorang tahu suatu tindakan salah tapi tetap melakukannya, akan terjadi konflik batin. Untuk meredamnya, ia bisa mulai membenarkan perilaku salah tersebut. Ini bisa membuat seseorang secara psikologis 'tuli' terhadap nasihat dan 'bisu' terhadap kebenaran. 

Ada juga fenomena motivated reasoning, di mana seseorang sengaja mengabaikan informasi yang bertentangan dengan keyakinan atau keinginannya. Mereka bukan tidak tahu kebenaran, tapi menolaknya karena sudah terperangkap dalam ego dan hawa nafsu.

Sementara dalam neurosains, otak manusia terdiri dari bagian rasional (prefrontal cortex) dan emosional (amygdala). Saat seseorang bereaksi berdasarkan emosi tanpa refleksi rasional, maka terjadi apa yang disebut amygdala hijack

Perilaku impulsif dan irasional ini menjelaskan bagaimana manusia bisa bertindak lebih destruktif dari binatang. Evolusi memberi manusia potensi untuk belajar, berpikir simbolik, dan mengembangkan moralitas. Tapi jika semua ini tidak digunakan, maka eksistensi manusia terjatuh ke titik terendah.

Konsekuensi Moral dari Kebebasan Berkehendak

Hari Pembalasan (Yaumul Hisab) adalah bentuk keadilan absolut dari Allah SWT, di mana setiap manusia akan mempertanggungjawabkan pilihan-pilihan yang ia ambil selama hidupnya. Surat Al-Anfal ayat 22 menjadi salah satu dasar kuat mengapa hari itu perlu ada. 

Dalam ayat tersebut, Allah menyebutkan bahwa makhluk yang paling buruk adalah manusia yang “tuli dan bisu” karena tidak mau menggunakan akal untuk mendengar, memahami, dan menyampaikan kebenaran. Ini menunjukkan bahwa manusia diberi potensi dan kebebasan untuk memilih, namun banyak yang dengan sadar memilih untuk menolak kebenaran dan larut dalam hawa nafsu.

Maka, keadilan Allah menuntut adanya hari di mana semua pilihan itu dipertanggungjawabkan, karena jika tidak, manusia akan menyia-nyiakan karunia akal dan wahyu tanpa konsekuensi.

Selain itu, keberadaan Hari Pembalasan menjadi penyeimbang dari ujian kebebasan dalam hidup. Al-Anfal 22 secara implisit menegaskan bahwa manusia bukan sekadar makhluk pasif, melainkan agen moral yang sadar. Mereka yang memilih untuk tidak menggunakan anugerah akal dan hati nurani bukan karena tidak mampu, tetapi karena tidak mau. 

Hari Pembalasan adalah momen ketika seluruh lapisan kemanusiaan—akal, hati, lisan, dan perbuatan—akan ditanya: untuk apa ia digunakan? Dengan demikian, ayat ini memberi pesan kuat bahwa tanggung jawab atas potensi dan pilihan hidup tidak berakhir di dunia, tetapi akan dibuka dan diadili dengan seadil-adilnya di akhirat.

Surat Al-Anfal ayat 22 bukan hanya potret manusia zaman Nabi, tapi juga potret kita hari ini. Dalam dunia yang penuh informasi, kita bisa memilih untuk mendengar atau mengabaikan. Kita bisa bicara yang benar, atau memilih diam demi kenyamanan. Ayat ini adalah pengingat bahwa kemuliaan manusia bukan pada potensi, tapi pada penggunaan potensi itu untuk kebenaran.

Maka, mari bertanya pada diri sendiri:

"Apakah aku sudah menggunakan pendengaranku untuk mencari kebenaran? Apakah lisanku digunakan untuk menyampaikan kebaikan? Dan apakah akalku benar-benar kugunakan untuk mendekat kepada-Nya?"

Wallahu a'lam bish-shawab.

Posting Komentar

0 Komentar