MONOLOG SERIES: PEREMPUAN PANUTAN

MONOLOG SERIES: PEREMPUAN PANUTAN.


[ewafebri.com] |MONOLOG SERIES: PEREMPUAN PANUTAN.

Mengidolakan seseorang secara berlebihan biasanya akan menimbulkan banyak kecewa dan luka. Setidaknya itu pelajaran yang—selama usia saya yang mencapai lebih dari 40 tahun—saya dapatkan. 

Saat kita begitu mengidolakan seseorang, Tuhan akan menunjukkan sifat-sifat aslinya yang membuat kita kecewa. Di situlah, Tuhan mengingatkan, "Jangan bersandar dan cenderung pada manusia, nanti kalian akan terluka." Cukup Allah saja tempat kita bersandar.

MONOLOG SERIES: PEREMPUAN PANUTAN


Kalian pernah nggak mendengar kalimat, "penyebab luka terdalam justru datang dari orang terdekat." Mungkin kalimat ini terdengar tidak masuk akal, namun keadaan ini sering kali terjadi. 

Orang terdekat di sini bisa keluarga, kekasih, sahabat atau siapa pun yang memiliki relasi dekat dengan emosional kita, termasuk idola dalam konteks selebritas atau seseorang yang menjadi acuan kita dalam berperilaku.

Hal ini bisa terjadi karena kita memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap mereka, sehingga dalam pikiran kita meyakini bahwa mereka tidak akan menyakiti. 

Dari keyakinan inilah justru yang membuat kita terluka dalam saat mengetahui apa yang mereka lakukan tidak seperti yang kita inginkan, terutama pada diri kita.

Oleh sebab itu penting untuk menyadari bahwa sedekat apa pun kita, mereka tetaplah manusia yang berpotensi melakukan kesalahan ataupun perbuatan yang bertolak belakang dengan yang kita inginkan. 

Dengan begitu, kita bisa membatasi kekaguman kita padanya dalam level sewajarnya. Ingat segala seseuatu yang berlebihan itu tidak baik, se positif apa pun itu, kecuali dalam konteks ingin mendekatkan diri kita pada Allah SWT.

Berikut, salah satu kisah yang terjadi dalam diri saya tentang kekecewaan pada perempuan panutan.

Kecewa

Perempuan Panutan

(Lara memandang jauh ke arah Angkasa senja, angin lembut menyentuh wajahnya. Dia merenung, mengingat sosok wanita yang pernah dia kagumi.)

Usia senja tak selalu sejalan dengan kebijaksanaan. Seperti Mbah Jarwati, sosok yang di luar tampak anggun dan dihormati. Dulu, aku sangat mengidolakannya.

Dalam benakku aku selalu berharap, kelak saat dewasa, aku ingin memiliki kehidupan seperti beliau. Dia terlihat sempurna, wanita yang penuh etika, berkelas dan memiliki kemampuan materi dan non-materi yang luar biasa. Setidaknya itulah yang terlihat di luar.

Namun, topeng itu luruh saat aku mengenalnya lebih dekat. Kata-katanya yang lembut ternyaa menyimpan banyak sindiran. Seperti dia lebih suka memilih kosakata yang akan menyakiti orang lain agar dia terlihat memiliki kuasa. Zaman sekarang, Mbah Jarwati ini bisa dibilang pelaku bullying yang dia ramu menjadi "becanda".

Semakin kudengar, ceritanya pun penuh dengan kebohongan yang berniat untuk merusak karakter orang lain—termasuk karakterkku. Dia pernah menyebarkan fitnah keji tentangku, yang membuatku kehilangan banyak hal dalam hidup.

Rupanya kepercayaan diri Mbah Jarwati ini berasal dari cara dia merampok kepercayaan diri orang lain—dengan senjata verbal abused-nya. Jadi rasa percaya diri-nya bukan tumbuh dari pencapaian yang dia dapat dalam proses yang panjang.

Sebagian orang percaya pada cerita-cerita bohongnya, sementara yang lain tak peduli. Tapi bagi mereka yang jadi sasarannya, seperti aku, fitnah itu lebih dari sekadar cerita biasa. Itu merupakan sumber luka yang tak mudah sembuh. Luka yang tak hanya bisa terlupakan dengan kata permintaan maaf semata.

Semakin aku perhatikan, pamor Mbah Jarwati semakin tua jadi semakin meredup. Setidaknya kemuliaan yang ia bangun di atas penderitaan orang lain, telah menjadi sumber penderitaan bagi jiwanya. Terlebih saat ini Mbah Jarwati sudah semakin sepuh. Rasa hausnya akan pemenuhan ego dan validasi membuatnya semakin terpuruk dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya sendiri.

Anehnya, meski sering diberikan banyak solusi agar tidak terjebak dalam penderitaan yang panjang, Mbah Jarwati tak mampu keluar dari ruang lingkup itu. Jadi dia terjebak dalam penjara egonya sendiri.

Dari Mbah Jarwati, aku belajar bahwa panutan sejati bukanlah sosok sempurna. Bukan mereka yang tampak baik di luarnya saja. Atau mereka yang mencitrakan dirinya mulia.
Panutan adalah mereka yang menginspirasi kita menjadi lebih baik, bukan yang bersembunyi di balik topeng kebohongan. Siapa pun mereka.

Mungkin itulah mengapa kita jangan mengidolakan manusia secara berlebihan, karena kelak Tuhan akan menampakkan sebab-sebab kekecewaan. Sukai sewajarnya, hormati sewajarnya, dan waspadai sewajarnya. Cukup Allah dan Rasul-Nya yang menjadi acuan dan teladan.

Post a Comment

0 Comments