Hari ini saya ingin membahas tentang Al Mu'minun 51 yang membahas tentang makanan dan amal salih. Saya penasaran mengapa makanan yang baik-baik disandingkan dengan amal salih? Jujur, kadang kita terlalu menyepelakan makanan yang kita makan (kecuali yang jelas-jelas diharamkan). Konteks yang saya maksud bukan masalah halal dan haramnya dalam bentuk fisik semata (misal babi, darah, yang tidak disebutkan nama Allah saat menyembelihnya, dan lain-lain) tetapi juga bagaimana kita mendapatkannya.
TADABBUR QURAN: AL MU'MINUN 51
Beberapa tahun lalu saya memiliki kisah yang membuat saya mulai memperhatikan apa yang saya makan, atau yang saya pergunakan untuk diri saya sendiri. Jadi, saya tinggal di desa yang mayoritas masyarakatnya merupakan petani. Nah, terkadang di masa-masa panen tertentu, harga jual hasil panen itu sangat anjlok karena banyak orang yang memanen secara bersamaan. Singkat cerita, ada seorang petani yang entah karena marah atau sedih, beliau membuang hasil panennya di pinggir sawah.
Kebetulan hasil panen kala itu adalah buat tomat yang harga perkilonya hanya Rp.2000,- saja. Mungkin Si Petani berpikir, "kalau saya jual pasti merugi banyak dan kecewa, seperti nggak ada harganya, jadi mending dibuang saja." atau siapa pun yang membuangnya di tempat itu memiliki motif yang berbeda.
Sebagai masyarakat yang tinggal di wilayah itu, kami tidak mengetahui motifnya, karena tomat berkarung-karung itu di tinggal begitu saja tanpa ada ijab apa pun. Ijab di sini maksudnya adalah apakah disedekahkan atau tidak. Karena ketidakjelasan ini, saya pribadi tidak berani iku-ikutan yang lain untuk mengambil dan memakannya. Khawatir barang tersebut adalah "syubat" yang membuat saya ragu akan halal atau tidaknya.
Singkat cerita beberapa orang yang sudah mengambil dan memanfaatkan barang temuan itu mengalami musibah beberapa hari setelahnya. Ya, mungkin terlihat tidak saling berhubungan. Namun, sebagai orang yang senang mengobservasi dan berusaha tidak sembarangan makan, saya ingin mempelajari dampak yang terjadi terhadap mereka.
Saya berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang kita dapatkan dengan cara yang tidak benar, maka akan berdampak tidak baik dalam hidup kita. Entah itu secara langsung atau dalam sisi spiritual kita. Oleh sebab itu, saya tidak ingin mengambil dan memanfaatkan apa pun yang bukan milik saya.
Dari kejadian ini kemudian saya belajar tentang hukum-hukum barang yang bisa digunakan apabila menemukannya. Dan apabila kita merasa ragu, akan lebih baik jika kita tidak menggunakannya sama sekali.
Surah Al-Mu’minūn ayat 51 berisi seruan Allah kepada para rasul agar mereka hanya mengonsumsi makanan yang halal dan baik serta melakukan amal saleh. Perintah ini menunjukkan bahwa para rasul sebagai pembawa risalah ilahi wajib menjaga kesucian lahir dan batin, karena mereka adalah teladan umat. Dalam ayat ini, Allah juga menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui segala perbuatan manusia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Penjelasan tafsir tahlili menekankan bahwa perintah ini tidak hanya berlaku bagi para nabi, tetapi juga untuk seluruh umat. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Allah memerintahkan para mukminin hal yang sama seperti kepada para rasul: hanya mengonsumsi yang halal dan baik. Menurut riwayat yang diterima dari Rasulullah, beliau pernah bersabda:
Kebetulan hasil panen kala itu adalah buat tomat yang harga perkilonya hanya Rp.2000,- saja. Mungkin Si Petani berpikir, "kalau saya jual pasti merugi banyak dan kecewa, seperti nggak ada harganya, jadi mending dibuang saja." atau siapa pun yang membuangnya di tempat itu memiliki motif yang berbeda.
Sebagai masyarakat yang tinggal di wilayah itu, kami tidak mengetahui motifnya, karena tomat berkarung-karung itu di tinggal begitu saja tanpa ada ijab apa pun. Ijab di sini maksudnya adalah apakah disedekahkan atau tidak. Karena ketidakjelasan ini, saya pribadi tidak berani iku-ikutan yang lain untuk mengambil dan memakannya. Khawatir barang tersebut adalah "syubat" yang membuat saya ragu akan halal atau tidaknya.
Singkat cerita beberapa orang yang sudah mengambil dan memanfaatkan barang temuan itu mengalami musibah beberapa hari setelahnya. Ya, mungkin terlihat tidak saling berhubungan. Namun, sebagai orang yang senang mengobservasi dan berusaha tidak sembarangan makan, saya ingin mempelajari dampak yang terjadi terhadap mereka.
Saya berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang kita dapatkan dengan cara yang tidak benar, maka akan berdampak tidak baik dalam hidup kita. Entah itu secara langsung atau dalam sisi spiritual kita. Oleh sebab itu, saya tidak ingin mengambil dan memanfaatkan apa pun yang bukan milik saya.
Dari kejadian ini kemudian saya belajar tentang hukum-hukum barang yang bisa digunakan apabila menemukannya. Dan apabila kita merasa ragu, akan lebih baik jika kita tidak menggunakannya sama sekali.
Makna Menurut Tafsir Tahlili
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبٰتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًاۗ اِنِّيْ بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ ۗ
Allah berfirman, “Wahai para rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan beramalsalehlah. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Al-Mu'minūn [23]:51
Surah Al-Mu’minūn ayat 51 berisi seruan Allah kepada para rasul agar mereka hanya mengonsumsi makanan yang halal dan baik serta melakukan amal saleh. Perintah ini menunjukkan bahwa para rasul sebagai pembawa risalah ilahi wajib menjaga kesucian lahir dan batin, karena mereka adalah teladan umat. Dalam ayat ini, Allah juga menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui segala perbuatan manusia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Penjelasan tafsir tahlili menekankan bahwa perintah ini tidak hanya berlaku bagi para nabi, tetapi juga untuk seluruh umat. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Allah memerintahkan para mukminin hal yang sama seperti kepada para rasul: hanya mengonsumsi yang halal dan baik. Menurut riwayat yang diterima dari Rasulullah, beliau pernah bersabda:
اِنَّ اللّٰهَ تَعَالَى لَايَقْبَلُ عِبَادَةَ مَنْ فِى جَوْفِهِ لُقْمَةٌ مِنْ حَرَامٍ. وَصَحَّ اَيْضًا- اَيُّمَا لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ اَوْلَى بِهِ. (رواه مسلم والترمذي)Sesungguhnya Allah tidak menerima ibadah orang yang dalam perutnya terdapat sesuap makanan yang haram. Dan diriwayatkan dengan sahih pula bahwa Nabi saw bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram maka neraka lebih berhak membakarnya.” (Riwayat Muslim dan at-Tirmizi)
Dalam hadist ini menyebutkan bahwa ibadah seseorang tidak akan diterima jika ia mengonsumsi makanan haram, bahkan daging yang tumbuh dari makanan haram lebih layak bagi neraka. Doa pun tidak akan dikabulkan bila seseorang mengabaikan aspek kehalalan dalam hidupnya.
Contoh nyata ditunjukkan dalam riwayat ketika Rasulullah menolak menerima susu dari seorang sahabat sebelum memastikan asal-usulnya benar-benar halal. Peristiwa ini menggarisbawahi betapa pentingnya kehati-hatian dalam memilih konsumsi dan tindakan. Kesucian lahiriah melalui konsumsi halal harus seiring dengan amal saleh sebagai wujud ketaatan kepada Allah. Karena itu, ayat ini menjadi dasar penting dalam akhlak dan etika Islam, menegaskan bahwa hanya amal dari sumber yang baik yang akan diterima di sisi-Nya.
Contoh nyata ditunjukkan dalam riwayat ketika Rasulullah menolak menerima susu dari seorang sahabat sebelum memastikan asal-usulnya benar-benar halal. Peristiwa ini menggarisbawahi betapa pentingnya kehati-hatian dalam memilih konsumsi dan tindakan. Kesucian lahiriah melalui konsumsi halal harus seiring dengan amal saleh sebagai wujud ketaatan kepada Allah. Karena itu, ayat ini menjadi dasar penting dalam akhlak dan etika Islam, menegaskan bahwa hanya amal dari sumber yang baik yang akan diterima di sisi-Nya.
Menurut Markaz Tadabbur Li Yaddabbaru Ayatih
Ringkasan dari tadabbur ayat 51 Surah Al-Mu’minūn oleh Markaz Tadabbur di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil menggarisbawahi pentingnya keterkaitan antara makanan yang halal dan baik dengan amal saleh.
Dalam nasihat Sufyan ats-Tsauri, disebutkan bahwa terlalu banyak berangan-angan dapat menggiring seseorang pada kemaksiatan. Ia mengingatkan bahwa Allah tidak meridhai nabi-Nya jatuh dalam dosa, dan oleh karena itu memerintahkan para rasul untuk mengonsumsi makanan yang baik dan beramal saleh, sebagaimana juga diperintahkan kepada orang-orang beriman dan seluruh manusia.
Ayat ini menjadi bantahan terhadap mereka yang enggan menjaga kualitas konsumsi dan amal. Allah memerintahkan agar para rasul memakan yang halal dan baik, dan ini menunjukkan bahwa konsumsi yang benar adalah dasar bagi pelaksanaan amal yang diterima.
Lebih lanjut, perintah ini juga merupakan teguran terhadap tiga golongan manusia:
Allah menyandingkan antara perintah mengonsumsi makanan yang halal dan perintah beramal saleh untuk menegaskan bahwa makanan yang baik akan mempermudah seseorang dalam beramal dengan benar. Sebaliknya, makanan yang haram dan rusak akan menjadi penghalang dalam melaksanakan kebaikan. Maka, menjaga sumber makanan bukan hanya soal kesehatan jasmani, tetapi juga berkaitan langsung dengan keberkahan amal ibadah seorang hamba.
Menurut Tafsir Sa'di tadabbur ayat 51 Surah Al-Mu’minūn ini menjelaskan bahwa perintah Allah kepada para rasul untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik adalah bentuk bimbingan agar mereka selalu menjaga kesucian lahir dan batin. Rizki yang halal bukan hanya menjaga tubuh, tetapi juga memperbaiki hati dan amal, serta berdampak pada kehidupan dunia dan akhirat.
Perintah ini juga merupakan ajakan untuk bersyukur kepada Allah melalui amal saleh yang menjadi bukti ketaatan dan kesalehan para utusan-Nya. Allah mengingatkan bahwa Dia Maha Mengetahui seluruh amal dan usaha para rasul, dan akan membalasnya dengan balasan yang paling sempurna dan adil.
Tadabbur ini juga menegaskan bahwa seluruh rasul telah sepakat dalam hal kehalalan makanan yang baik dan keharaman makanan yang buruk. Kesepakatan ini meluas pula pada pokok-pokok ajaran amal saleh, meskipun terdapat perbedaan dalam rincian syariat sesuai zaman masing-masing.
Ayat ini menjadi bantahan terhadap mereka yang enggan menjaga kualitas konsumsi dan amal. Allah memerintahkan agar para rasul memakan yang halal dan baik, dan ini menunjukkan bahwa konsumsi yang benar adalah dasar bagi pelaksanaan amal yang diterima.
Lebih lanjut, perintah ini juga merupakan teguran terhadap tiga golongan manusia:
- Mereka yang menikmati nikmat tanpa bersyukur,
- Mereka yang beramal tapi tidak ikhlas karena mencari pujian manusia,
- Mereka yang berbuat kebaikan tapi tidak mengikuti sunnah.
Allah menyandingkan antara perintah mengonsumsi makanan yang halal dan perintah beramal saleh untuk menegaskan bahwa makanan yang baik akan mempermudah seseorang dalam beramal dengan benar. Sebaliknya, makanan yang haram dan rusak akan menjadi penghalang dalam melaksanakan kebaikan. Maka, menjaga sumber makanan bukan hanya soal kesehatan jasmani, tetapi juga berkaitan langsung dengan keberkahan amal ibadah seorang hamba.
Tafsir Sa'di
Perintah ini juga merupakan ajakan untuk bersyukur kepada Allah melalui amal saleh yang menjadi bukti ketaatan dan kesalehan para utusan-Nya. Allah mengingatkan bahwa Dia Maha Mengetahui seluruh amal dan usaha para rasul, dan akan membalasnya dengan balasan yang paling sempurna dan adil.
Tadabbur ini juga menegaskan bahwa seluruh rasul telah sepakat dalam hal kehalalan makanan yang baik dan keharaman makanan yang buruk. Kesepakatan ini meluas pula pada pokok-pokok ajaran amal saleh, meskipun terdapat perbedaan dalam rincian syariat sesuai zaman masing-masing.
Contoh kesepakatan yang kekal dari masa ke masa mencakup tauhid, memurnikan ibadah hanya untuk Allah, cinta dan takut kepada-Nya, berlaku jujur, menyambung silaturahmi, berbakti kepada orang tua, dan berbuat baik kepada sesama makhluk. Nilai-nilai ini menjadi fondasi ajaran semua nabi yang Allah utus kepada umat manusia.
Sebagai bukti kebenaran kerasulan Nabi Muhammad ﷺ, disebutkan pula bahwa ajaran beliau sejalan dengan nabi-nabi sebelumnya dalam memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran. Hal ini diakui oleh tokoh-tokoh dari Ahlul Kitab, seperti Heraklius. Mereka mengenali tanda-tanda kenabian beliau berdasarkan kecocokan misi dan nilai ajaran. Ini berbeda dengan para nabi palsu yang justru menyuruh kepada keburukan dan melarang kebaikan, menunjukkan bahwa kemurnian ajaran adalah bukti kerasulan yang sejati.
Saat saya menemukan QS Al-Mu’minun ayat 51, rasanya seperti mendapatkan penguatan dari Allah atas apa yang selama ini saya coba jalani. Dalam ayat itu, Allah memerintahkan para rasul-Nya untuk makan dari yang thayyib (halal dan baik), lalu beramal shalih. Ada kaitan yang erat antara keduanya. Seolah-olah Allah sedang mengingatkan kita bahwa amal yang bersih dan tulus, tumbuh dari sumber yang bersih juga.
Sebagai bukti kebenaran kerasulan Nabi Muhammad ﷺ, disebutkan pula bahwa ajaran beliau sejalan dengan nabi-nabi sebelumnya dalam memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran. Hal ini diakui oleh tokoh-tokoh dari Ahlul Kitab, seperti Heraklius. Mereka mengenali tanda-tanda kenabian beliau berdasarkan kecocokan misi dan nilai ajaran. Ini berbeda dengan para nabi palsu yang justru menyuruh kepada keburukan dan melarang kebaikan, menunjukkan bahwa kemurnian ajaran adalah bukti kerasulan yang sejati.
Pelajaran Yang Saya Dapatkan
Dari pengalaman itu, saya jadi lebih berhati-hati dan belajar untuk tidak sembarangan dalam mengonsumsi sesuatu, terutama jika asal-usulnya tidak jelas. Bukan semata karena takut mengalami musibah, tapi lebih karena saya ingin menjaga apa yang saya masukkan ke dalam tubuh ini—karena saya percaya, apa yang kita konsumsi bisa memengaruhi cara kita berpikir, merasa, bahkan beramal.Saat saya menemukan QS Al-Mu’minun ayat 51, rasanya seperti mendapatkan penguatan dari Allah atas apa yang selama ini saya coba jalani. Dalam ayat itu, Allah memerintahkan para rasul-Nya untuk makan dari yang thayyib (halal dan baik), lalu beramal shalih. Ada kaitan yang erat antara keduanya. Seolah-olah Allah sedang mengingatkan kita bahwa amal yang bersih dan tulus, tumbuh dari sumber yang bersih juga.
Meski awalnya saya belum mengetahui tentang ilmu hikmah yang sebenarnya, namun Allah membimbing saya agar merasa tidak nyaman mendekati hal-hal yang saya tidak tahu hukumnya. Dengan begitu saya bisa berhati-hati dalam mengambil tindakan.
Buat saya pribadi, ini jadi pengingat yang dalam. Bahwa menjaga diri dari yang syubhat atau tidak jelas bukan semata soal hukum, tapi soal upaya memperbaiki diri dan menjaga hati agar tetap peka. Saya tidak merasa lebih baik dari siapa pun, hanya saja ini adalah prinsip yang ingin saya pegang. Dan tadabbur ayat ini membantu saya melihat bahwa pilihan untuk berhati-hati itu memang sejalan dengan ajaran Allah kepada para nabi-Nya.
Buat saya pribadi, ini jadi pengingat yang dalam. Bahwa menjaga diri dari yang syubhat atau tidak jelas bukan semata soal hukum, tapi soal upaya memperbaiki diri dan menjaga hati agar tetap peka. Saya tidak merasa lebih baik dari siapa pun, hanya saja ini adalah prinsip yang ingin saya pegang. Dan tadabbur ayat ini membantu saya melihat bahwa pilihan untuk berhati-hati itu memang sejalan dengan ajaran Allah kepada para nabi-Nya.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏