OVERSHARING: PENGERTIAN, PENYEBAB DAN DAMPAKNYA!

OVERSHARING: PENGERTIAN DAN DAMPAKNYA!

[ewafebri.com] | OVERSHARING: PENGERTIAN, PENYEBAB DAN DAMPAKNYA!

Belakangan ini media sosial sedang tidak baik-baik saja. Terutama linimasa Threads yang tak lain mirip dengan X (Twitter), di mana semua orang bebas membagikan pendapat, opini, kisah dan seterusnya. 

Yang menjadi highlight saya adalah beberapa orang yang memilih untuk membagikan detail perkara dalam rumah tangganya, lingkungannya dan hidupnya tanpa batasan sama sekali. Apa sih oversharing itu? Mengapa mereka melakukannya? Dan apa dampaknya? 

OVERSHARING: PENGERTIAN, PENYEBAB DAN DAMPAKNYA!


Postingan ini hanyalah sebuah curhatan dan pandangan tentang bagaimana saya menghadapi oversharing yang semakin hari semakin intense dan mudah dilakukan. Terutama dengan adanya platform media sosial. 

Zaman dahulu, orang menggunakan blog untuk berbagi, namun saat ini banyak yang menggunakan microblogging untuk berbagi kisah hidup mereka. 

Mengapa Oversharing ? 

Sebelum saya membahas tentang definisi dan dampaknya, terlebih dahulu saya ingin membagikan alasan mengapa oversharing bisa terjadi. 

Setiap orang tentu memiliki pertimbangan dan alasan sendiri mengapa mereka lebih memilih membagikan permasalahannya di media sosial dibandingkan diselesaikan dengan tenang tanpa sorotan. 

Alasan yang saya tulis di sini berdasarkan pengalaman saya pribadi ya, jadi bila ada kesamaan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan kalian, tentu itu hanya kebetulan semata. Dan berikut ini, beberapa alasan mengapa saya dahulu suka membagikan informasi secara berlebihan:
  • Salah satu alasan mengapa saya oversharing adalah kondisi yang sering tidak didengar atau diabaikan pendapatnya oleh orang sekitar. Sehingga saya membutuhkan tempat atau media untuk bercerita atau mengungkapkan apa yang terjadi dalam hidup.
  • Kebutuhan validasi dan diakui (entah itu dengan tujuan untuk dipuji atau sekadar cari sensasi) tapi yang jelas saya membutuhkan faktor luar untuk memvalidasi apa yang terjadi dalam hidup saya. 
  • Haus akan kasih sayang dan perhatian orang tua. Kehadiran orang tua dalam perkembangan jiwa menjadi salah satu faktor penting dalam proses kehidupan. Saat seorang anak terpenuhi kebutuhan emosionalnya, maka dia tidak akan lagi mencarinya di luar lingkungan hidupnya. 
  • Kurangnya rasa menghargai dan menghormati diri sendiri (self awareness). Mungkin ini menjadi alasan yang paling ironis, sebab kita sering kali berpikir bahwa membagikan segala sesuatu tentang diri kita (achievement terutama) merupakan bentuk penghargaan diri. Tapi sayangnya kita sering kali melewati batasan-batasan yang seharusnya tidak perlu dibagikan. 
  • FOMO atau rasa takut tertinggal seperti orang lain, sehingga kita sering membagikan hal-hal yang dilakukan oleh orang lain juga. 
  • Yang terakhir adalah pembuktian pada khalayak bahwa "aku bisa!" atau "aku gak begitu!' sehingga merasa lebih lega karena orang lain tahu tentang bagaimana usaha kita mendapatkan atau memiliki sesuatu. 
Bahasan di atas adalah beberapa alasan yang sering saya gunakan tanpa sadar saat membagikan informasi berlebihan kepada orang lain. Tentu setiap orang memiliki jawaban yang berbeda tentang topik ini.

Apa Sih Oversharing? 

Untuk memahami alasannya,  kita tentu ingin tahu apa pengertian dari oversharing itu sendiri. 

Oversharing adalah kebiasaan berbagi informasi pribadi secara berlebihan, baik secara langsung mau pun di media sosial. 

Kondisi ini terjadi ketika seseorang tidak bisa membatasi diri sendiri dalam membagikan informasi pribadinya kepada publik.

Bentuk oversharing ini tidak hanya dengan informasi yang dibagikan di media sosial saja. Tetapi juga dalam bentuk curhatan yang terkesan frontal dan terlalu apa adanya, sehingga publik bisa mengetahui apa yang terjadi dalam hidup kita. 

Saya menyadari menjadi seorang blogger berpotensi menjadi orang yang melakukan tindakan overshare. Apalagi blog ini adalah platform yang bersifat personal sehingga kita bebas membagikan momen dan peristiwa yang terjadi dalam hidup. 

Itulah mengapa 4 tahun belakangan ini saya belajar untuk menyaring apa yang perlu saya bagikan dan tidak.

Dampak Oversharing? 

Penyebab oversharing

Apa yang saya dapatkan setelah oversharing? Tidak lain adalah masalah!

Saat kita membagikan sesuatu pada publik, terkadang kita lupa bahwa apa yang kita bagikan tersebut berpotensi menjadi viral dan mendapatkan banyak feedback dari orang lain. 

Nah, masalahnya kadang kita tidak siap dengan feedback yang berseberangan dengan apa yang kita harapkan. Walhasil justru menimbulkan kecemasan dan trauma. 

Dalam kondisi yang berkelanjutan, kecemasan ini akan berubah menjadi depresi yang juga akan mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Pada akhirnya,  hidup kita tidak baik-baik saja. 

Apalagi jika kita terlalu terbuka dalam memberikan informasi pribadi, bisa saja data tersebut disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Sehingga terwujud tindak kriminalitas.

Belum lagi jika apa yang kita bagikan membuat iri dan dengki pada diri seseorang. Bisa jadi hal tersebut menjadi pemicu tindak-tindak kejahatan fisik atau pun metafisik. 

Tak hanya itu, oversharing terkadang malah tidak memberikan solusi yang aman bagi sebuah permasalahan. Kecuali jika masalah tersebut memang sudah dalam tindak kriminal yang parah; hukum sosial dan keterlibatan masayarakat bisa menjadi jembatan untuk menghasilkan solusi.

Cara Mengendalikan Diri

Penting untuk memahami mana yang harus disampaikan dan mana yang tidak perlu dibagikan. Terutama hal yang sifatnya personal. Pun jika ingin berbagi pengalaman, alangkah baiknya jika dirangkai dengan keilmuan dan pengetahuan baru, sehingga kesan "curhatan" pun tidak begitu mencolok.

Selain itu, saya lebih memilih membagikan pengalaman atau peristiwanya tanpa banyak mengekspos pelakunya. 

Misal: jika pelaku tindak ketidaknyamanan tersebut adalah keluarga atau kerabat dekat, saya lebih memilih untuk tidak mencantumkan nama atau keterlibatannya. Tetapi cukup mengambil hikmah kebijaksanaannya saja. 

Kita juga perlu menyaring hal yang tidak perlu dibagikan ke khalayak, misal: 
  • Data pribadi (KTP, SIM atau apa pun yang mencantumkan identitas diri. Kecuali dibutuhkan sebagai pelengkap administrasi)
  • Foto pribadi yang berlebihan.
  • Kisah hidup yang dibicarakan secara frontal, karena bisa jadi feedback yang kita dapatkan justru memperparah masalah yang ada.
  • Hal-hal yang sensitif lainnya.
Saat kita sedang marah, kecewa, sebel biasanya cenderung berkeinginan untuk bercerita apa adanya tanpa filter. Kita berpikir, agar orang lain tahu apa yang sebenarnya terjadi. Padahal, bisa jadi suatu hari kita akan menyesali dan malu terhadap apa yang kita lakukan tersebut. 

Belajar Merespons, Bukan Bereaksi

Belakangan ini, saya justru banyak belajar merespons tanpa banyak bereaksi. Respons dan reaksi meski terkesan sama tetapi memiliki dampak yang berbeda. 

Saat kita merespons, artinya kita sadar dan memahami apa yang sedang terjadi tanpa memberikan feedback secara langsung pada trigger. Sementara reaksi adalah umpan balik langsung yang kita berikan pada trigger (sumber peristiwa). 

Terkadang saat kita bereaksi inilah, kita tidak memikirkan dampak yang terjadi, karena prosesnya terlalu cepat. Jika kita merespons artinya kita memberikan ruang pada diri kita untuk berpikir sebelum bertindak. Dengan begitu kita lebih "mindful" dalam memberikan feedback pada trigger

Begitulah beberapa cara yang sering saya gunakan dalam menghadapi masalah dan kehidupan. Tidak membagikan hal terlalu banyak, bisa mengurangi kecemasan dalam diri kita. 

Mengadu pada Tuhan dan tawakal adalah cara pertama yang saya gunakan untuk menghadapi masalah sebelum meminta pertolongan pada makhluk-Nya.

Belajar meregulasi emosi dan merespons bisa menjadi solusi dalam menghadapi masalah dan kehidupan yang lebih tenang. 

Tapi, satu yang paling penting adalah melibatkan Tuhan apa pun masalah yang kita hadapi. 

Di satu sisi kita belajar mengendalikan diri, secara bersamaan kita juga harus meminta Bimbingan dan PetunjukNya, agar bisa menghadapi kehidupan dengan tenang, sabar dan taqwa. In Shaa Allah.

Post a Comment

0 Comments