SELF JOURNEY (PERJALANAN DIRI)

Self Journey Perjalanan Diri Ebook


[ewafebri.com] | SELF JOURNEY

Rangkaian perjalanan diri atau self journey adalah proses hidup manusia menemukan dirinya sehingga ia mampu memahami dan mendapatkan makna dari setiap hal dalam hidupnya. Makna hidup inilah nantinya yang akan ia gunakan dalam setiap perilakunya. Manusia yang belum menemukan makna hidupnya sering kali merasa gamang dengan aktivitas yang dijalaninya. Ia hanya berperilaku mengikuti arus tanpa mengetahui tujuan dan batas akhirnya. Sehingga yang terjadi dalam dirinya hanyalah menjadi jiwa yang lelah dan hampa.

SELF JOURNEY (PERJALANAN DIRI)


Saya bisa memahami bahwa tidak semua manusia memiliki kesempatan untuk melakukan perjalanan diri, karena setiap kondisi dan latar belakang kita dalam memandang hidup juga sangat berbeda-beda. Saya menyusun buku ini sebagai media untuk mendukung siapa pun yang ingin melakukan perjalanan diri dan ingin memperlihatkan gambaran timeline dari hal-hal yang akan kita lewati dalam proses perjalanan ini.

Banyak yang tidak menyadari bahwa kita sedang dalam perjalanan menemukan diri dan kita merasa bingung harus berbuat apa. Awal saya mengalami fenomena perjalanan diri justru saya memang tidak menyadarinya sama sekali. Ada rasa takut yang besar dalam diri saya tentang apa yang sedang terjadi. Terlebih, saat saya mulai melakukan perjalanan ini dan menapaki satu langkah demi satu langkah, tak ada seorang pun yang bisa menjadi sumber yang saya gunakan untuk bertanya. Bahkan saya merasa sendiri karena orang-orang yang selama ini saya kenal terasa sangat jauh dan tidak bisa dipercaya. Mereka seolah menjadi orang-orang yang mengintimidasi dalam setiap pergerakan yang saya lakukan. Sehingga cara saya memandang mereka pun juga berubah, tidak seperti biasanya.

PERTOBATAN


Sekarang saya bisa memahami mengapa di awal perjalanan diri saya merasa begitu sendiri dan sepi. Situasi ini sengaja Allah ciptakan agar kita berlari dan mencari perlindungan serta pertolongan KepadaNya saja. Orang-orang yang terlihat menjauhi kita, sesungguhnya dijadikan pertanda dan petunjuk dari Allah agar kita tidak meminta pertolongan dan perlindungan mereka. Tetapi agar kita fokus mencari dan kembali kepada Allah SWT, karena jiwa kita sedang membutuhkanNya.

Allah SWT memberikan banyak cara dan pertanda sebagai pesan kepada manusia bahwa jiwanya sedang membutuhkan Rabbnya. Salah satunya adalah ketika kita merasa bahwa segala yang ada dalam kehidupan ini menjadi beban tersendiri bagi jiwa kita. Terutama hal-hal yang berhubungan dengan ambisi dan keinginan duniawi yang tiada akhir. Ketika kita terlalu menggebu-gebu untuk mewujudkan segala ambisi dan keinginan yang tidak pernah berakhir tanpa memahami maknanya, di situlah kita sedang menyiksa jiwa kita.

Tanpa melibatkan makna, hidup kita ini tidak memiliki tujuan yang pasti walaupun dalam 24 jam kita memanfaatkan waktu dengan maksimal. Yang terjadi kita hanya terlihat sibuk, tetapi kita tidak mengetahui alasan mengapa kita melakukan. Ketiadaan alasan dan tujuan kita dalam melakukan sesuatu inilah yang semakin lama hanya akan membuat jiwa kita terasa lelah. Jika dalam hidup selalu diliputi dengan pikiran-pikiran, “hidup kok kayak gini-gini aja ya ?”, itu sudah menjadi salah satu pertanda bahwa kita membutuhkan makna dan tujuan.

Hal mendasar dalam perjalanan diri adalah fase pertobatan di mana fase ini merupakan area abu-abu yang akan mengubah hidup kita secara total. Ketika kita menindaklanjuti rasa sepi dan kosong dengan kembali KepadaNya, maka kita juga harus siap dengan perubahan dalam hidup. Tetapi jika ketakutan kita akan perubahan yang menjadi pemenang, maka hidup kita akan terus berada pada “fase yang itu-itu” saja. Momen inilah yang cukup vital dalam proses perjalanan diri.

Jika kita tak mampu memahami apa yang disampaikan jiwa kita melalui pesan penderitaannya, maka yang terjadi adalah kita hanya akan mencari pertolongan dan perlindungan dari selain Allah SWT. Padahal hal ini justru akan lebih membebani jiwa kita di masa mendatang. Manusia yang kita datangi untuk mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari rasa takut, pada dasarnya hanya akan menambahkan trauma baru pada diri kita. Sementara jika kita memutuskan untuk meminta perlindungan dan pertolongan Allah SWT saja, maka luka dan trauma kita selama ini bisa disembuhkan.

PERUBAHAN DIRI


Perjalanan diri pada dasarnya adalah kembalinya jiwa kita pada Rabbnya dalam bentuk sense (rasa). Dari pengalaman pribadi, rasa ingin kembali pada Allah itu akan mulai muncul ketika usia kita memasuki umur 35 tahun hingga 40 tahun dengan fenomena yang berbeda-beda dan bertahap setiap waktu. Bagi beberapa tokoh spiritual dan psikologi, fenomena ini disebut dengan spiritual awakening. Di mana jiwa kita sudah mulai memiliki keinginan untuk meninggalkan hal-hal yang bersifat materi dan merindukan hal-hal yang berbau rohani (mental) dan spiritual.

Secara psikologi klinis hal ini juga telah diungkapkan oleh beberapa ahli psikologi, di antaranya Carl Jung, di mana ia membagi beberapa tahapan perkembangan diri manusia berdasarkan usia (dibahas di Bab Filsafat Kepribadian). Ini artinya masa-masa perubahan diri manusia itu akan terjadi ketika kita menginjak usia 35 tahun hingga 40 tahun. Meskipun dalam beberapa kasus, usia perubahan diri manusia ini relatif tidak sama karena dipengaruhi oleh berbagai macam faktor.

Dalam perspektif Islam, usia 40 tahun itu adalah umur yang sangat istimewa. Di mana usia ini merupakan gerbang manusia memasuki dimensi hidup yang berbeda dari apa yang diyakininya selama ini. Masalah tidak banyak orang yang mau berubah meski tanda-tanda tentang perubahan itu datang dan memenuhi segala gerak langkah kita. Yang terjadi, justru kita bersikap keras kepala dan menyangkal terhadap tanda-tanda yang dikirimkan oleh Tuhan melalui fenomena di sekitar kita.

Ketika kita bisa memahami dan merasa rendah diri di hadapan Ilahi, maka kita akan dibawa pada jalan kebaikan dan kebajikan yang nantinya akan kita habiskan selama sisa hidup kita di dunia ini. Akan tetapi, jika kita mengabaikan dan merasa bahwa kesuksesan dan kebaikan datang dari kemampuan dan usaha kita sendiri, serta mengingkari KekuasaaNya, maka yang terjadi dalam hidup adalah seolah kita tetap berjalan dalam lorong gelap, meski kita menguasai banyak ilmu pengetahuan. Kita sulit mengenali mana petunjuk yang benar dan mana petunjuk yang menyesatkan.

Di dalam Al Quran, Allah juga berfirman tentang betapa istimewanya umur 40 tahun. Dalam QS. Al Ahqaf ayat 15 , Tuhan berfirman :

“Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan. Sehingga apabila dia (anak) tumbuh dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa, “ Ya Tuhanku, berilah petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmatMu yang telah engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai, dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak-cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada Engkau, dan sungguh aku termasuk orang muslim.”

Dari ayat di atas kita bisa belajar memahami bahwasanya :

  • Usia empat puluh tahun adalah usia di mana seseorang itu seharusnya sudah sadar bahwa hidup itu tentang rasa bersyukur. Rasa syukur manusia atas kehadirannya di dunia melalui orang tua kita, sehingga untuk menghargai mereka, kita bisa melantunkan doa-doa agar hidup mereka pun dipenuhi oleh kebajikan. Rasa syukur hanya akan timbul apabila kita belajar mengelola diri dengan baik dan memperbaiki serta menghapus hal-hal negatif atau kebiasaan buruk yang selama ini kita jalani.
  • Artinya kita harus mulai sadar untuk berubah menjadi karakter yang lebih baik dari sebelumnya.
  • “...agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai...” >> dalam hidup ini terkadang kita salah mengartikan bentuk kebaikan. Jenis kebaikan itu memang banyak macamnya, namun tak semua yang kita anggap baik itu mendapatkan ridhoNya. Apalagi jika kebaikan yang kita lakukan berdasarkan sifat narsisme atau egoisme. Untuk bisa membedakan mana kebaikan murni dan yang bertendensi, kita harus mengubah mindset duniawi menjadi mindset Ilahi. Maka segala sesuai niatnya harus untuk Allah dan karena Allah SWT saja.
  •  “...berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak-cucuku.“ >> Tidak semua jenis kebaikan bisa terus mengalir kepada anak cucu. Banyak kebaikan yang terhenti pada keuntungan untuk diri kita sendiri, sehingga tidak sampai kepada mereka. Salah satunya adalah kebaikan dalam bentuk duniawi, jabatan, harta benda, kehormatan, dan lainnya. Sementara kebaikan yang bisa terus mengalir hingga lintas generasi biasanya bersifat non material, seperti ilmu pengetahuan, amal saleh, dan lainnya.
  • Sungguh, aku bertobat kepada Engkau...” >> kalimat ini menandakan bahwa Allah SWT menginginkan kita untuk melakukan pertobatan dengan sungguh-sungguh (jihad), yaitu terjadinya proses perubahan hidup dari yang negatif menuju ke yang positif. Berbahagialah mereka yang semasa hidupnya dari kecil hingga usia memasuki umur 40 tahun selalu dijalani dengan hal-hal positif, artinya ia tidak perlu melakukan perubahan hidup yang sangat ekstrem. Ya paling-paling, tetap meningkatkan kualitas diri saja. Sementara mereka yang diselimuti dengan hal-hal yang negatif dalam hidupnya, akan mengalami perubahan yang sangat signifikan. Dan itu sangat menyakitkan.
  • Bagaimana agar kita mengetahui mana yang negatif dan mana yang positif ? Tentu saja dengan belajar memahami diri sendiri, apakah hidup kita selama ini di dominasi hal yang positif atau sebaliknya ? Inilah pentingnya perjalanan diri.
  • “... dan sungguh aku termasuk orang muslim.” >> Ciri menjadi orang muslim itu adalah orang yang selalu berserah diri kepada Allah SWT. Itu artinya setiap hal dalam hidup, meskipun kita yang berusaha, tetapi tetap saja, semua kembali atas KuasaNya. Ketika manusia berserah diri, maka ia akan ridho terhadap segala ketetapanNya. Ketika ia sudah ridho, maka jiwanya akan diliputi ketenangan dan kestabilan (thuma’ninah). Dan ketika manusia ridho akan takdir Allah SWT, maka Allah pun akan ridho kepadanya.
Tujuan utama perjalanan diri adalah mencapai jiwa yang tenang dan stabil (thuma’ninah) sehingga ia tidak mudah dikuasai dunia, tidak mudah terjebak dalam tipu daya dunia, fokus menjalani hidup dengan rasa syukur, serta tidak merasa enggan untuk berbagi dengan yang lainnya. Jiwa-jiwa ini sudah tidak lagi membutuhkan dukungan dan pengakuan dari makhluk lain. Yang ia butuhkan hanya dukungan, perlindungan dan pengakuan yang datangnya dari Allah SWT saja.

HEALING PROCESS

Perjalanan diri


Perjalanan diri pada dasarnya adalah proses healing (kesembuhan) jiwa terhadap segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan yang terjadi di dunia ini kepada kita. Selama empat puluh tahun kehidupan atau sebelum masa perjalanan diri itu datang, tentu kita sering mendapatkan banyak perlakuan yang tidak menyenangkan dan tidak adil ya ? Perjalanan diri adalah karunia Tuhan agar kita bisa sembuh dari trauma itu. Masalahnya tidak semua orang mau mengambil kesempatan ini, sehingga mereka mengabaikan pesan yang dikirimkan oleh jiwa melalui rasa sakit dan penderitaan pada kesadaran kita (akal).

“Kita sering mengabaikan pesan jiwa, karena kita menganggap pesan-pesan yang dikirimkan itu tidak sesuain dengan logika akal. “

Pada saat kita melakukan perjalanan diri, biasanya kita akan mengalami kesakitan yang luar biasa dalam diri kita. Segala trauma dan luka yang selama ini kita abaikan dan kita sembunyikan dalam alam bawah sadar, perlahan akan mencuat kembali. Luka dan trauma ini muncul bukan semata-mata ingin menghantui, tetapi ingin disembuhkan. Itulah mengapa perlahan mereka akan mencuat dalam kesadaran kita.

Banyak luka dan trauma dari masa lalu yang sering kita abaikan, alias tidak diberikan perhatian dan kesempatan untuk disembuhkan. Padahal luka dan trauma ini butuh dikenali, dirasakan, dipahami baru kemudian kita bisa mengantar kepergiannya (letting go), sehingga ia tidak akan kembali menghantui kita lagi. Bagi siapa pun yang sedang mengalami masa-masa sakit ini, jangan takut dan jangan diabaikan. Dengan tidak mengabaikannya, artinya kita sedang memberikan ruang pada luka itu untuk sembuh secara perlahan.

Proses perjalanan diri sejatinya adalah karunia Allah bagi hambanya agar hidup dengan dipenuhi rasa cinta. Self Journey adalah perjalanan manusia dalam menemukan cinta sejatinya, cinta yang hakiki, cinta yang melebihi materi, cintanya pada diri akan mengantarkan jiwanya pada cinta Ilahi !

MENUJU ILAHI ROJIUN


Obat paling mujarab dalam melakukan perjalanan diri adalah dengan tetap berpegang teguh kepada Allah SWT apa pun yang terjadi. Kita harus membangun keyakinan yang kuat pada diri bahwa segala sesuatu datangnya hanya dari Allah SWT dan yang bisa menyembuhkan hanya Allah SWT. Meskipun kalian merasa bahwa ada orang-orang yang menyakiti kalian dengan magic atau apa pun itu, kalian harus percaya dan yakin bahwa segala sesuatu tidak akan bisa menyentuh kita kecuali atas kehendakNya.

Ketika melakukan perjalanan diri biasanya kita akan menjumpai banyak kejadian tidak masuk akal (spiritual). Segala sesuatu akan datang dan berusaha menghalangi perjalanan kita agar tidak dilanjutkan lagi. Di saat hal ini datang, ingatlah bahwa tujuan kita hanyalah kepada Allah SWT saja. Dengan sering berpikir begitu, maka secara tidak langsung kita sedang membangun keyakinan akan KeEsaanNya (tauhid).

Meski begitu, fase ini adalah fase di mana cara berpikir spiritual harus dilibatkan dalam hidup kita. Karena bagaimana pun juga, sebagai makhluk rohani kita tidak bisa dipisahkan dengan hal-hal yang berbau spiritual. Sementara dimensi akal tidak lagi sanggup membahas dan menjelaskannya. Maka iman adalah kunci agar perjalanan diri menjadi aman. Seberapa pun godaan yang akan kamu temui nanti, percayalah bahwa Allah SWT akan selalu hadir, menyaksikan dan membimbingmu.

Berapa lama yang harus kita tempuh dalam melakukan perjalanan diri ?

Well, mungkin ini jawaban yang tidak ingin kamu dengar, tetapi perjalanan diri itu adalah sebuah perjalanan yang akan terus kita lakukan sepanjang hidup di dunia, hingga kita kembali dalam kekekalan. Karena sejatinya perjalanan diri di dunia adalah proses kita dalam menyiapkan diri untuk hidup dalam kekekalan. Ketika jiwa kita sudah tenang di dunia ini, maka kita tidak lagi merasa takut untuk kembali kepadaNya, karena kita sudah ridho dengan apa pun yang terjadi dalam hidup kita. Maka ketika kita memasuki dimensi kekekalan, jiwa kita tidak lagi merasa terguncang.

UNSUR DALAM SELF JOURNEY


Dalam perjalanan diri, kita akan menemui berbagai peristiwa dan aspek-aspek berikut ini. Walaupun aspek ini tidak mutlak terjadi pada semua orang, tetapi setidaknya hal ini yang paling umum terjadi :

JIWA YANG LELAH


Awal terjadinya self journey biasanya akan didahului dengan perasaan yang lelah akan dunia ini. Terlebih ketika kita sudah melakukan banyak hal namun kita tidak melihat adanya perubahan yang berarti. Kita merasa lebih mudah kehilangan energi dan yang muncul dalam diri kita, tak lebih dari keluhan dan keluhan dari waktu ke waktu.

Hidup itu rasanya cuma dari satu target ke target lainnya (never ending story), bahkan rasanya kita tak mampu melihat ujung akhirnya. Pun kita mulai melihat segala sesuatu di sekeliling kita dengan pandangan yang buruk dan negatif. Kita mulai dipenuhi iri dan dengki, walau pun kita tidak menyadarinya. Kita juga merasa kesulitan menemukan hal-hal yang positif dan membuat kita bersyukur.

Ketika tanda-tanda tentang kelelahan jiwa ini muncul, maka ada sebagian orang yang tergerak untuk menyembuhkan dirinya melalui berbagai macam cara. Bisa dengan mengikuti penyembuhan secara instan melalui konseling, atau justru sadar dan mulai menyembuhkan diri sendiri dengan cara-cara yang mudah diikuti, walaupun membutuhkan rentang waktu yang panjang. Seperti contohnya menerapkan gaya hidup mindfull, meditasi atau pun journaling.

ILMU PENGETAHUAN


Tahapan selanjutnya adalah haus akan pengetahuan yang berhubungan dengan penyembuhan diri sendiri. Kita akan mulai sering bergerilya mencari pengetahuan yang berhubungan dengan kesembuhan melalui ilmu psikologi. Secara perlahan, orang yang melakukan perjalanan diri biasanya akan tertarik pada ilmu-ilmu yang berbau psikologi atau kejiwaan. Karena ilmu ini akan menyasar pada cara penyembuhan jangka panjang dan bisa diterapkan pada diri sendiri secara bertahap.

Orang yang melakukan perjalanan diri cenderung pribadi yang mendadak tertarik untuk mendapatkan pengetahuan tentang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan pengembangan diri. Misalnya saja tentang :

  • Bagaimana mengurangi rasa amarah ?
  • Bagaimana mengurangi kebiasaan mengeluh ?
  • Bagaimana cara menghadapi kesedihan ?
  • Bagaimana cara agar bisa bersyukur ?
  • Bagaimana cara berdoa ?
  • Bagaimana cara mendamaikan pikiran ?
  • Bagaimana agar hidup kita bisa menjadi berarti ? Dan sebagainya.

Kita akan terpancing untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang sebelumnya tidak pernah kita pikirkan. Biasanya pertanyaan yang muncul ini berhubungan dengan cara-cara yang akan mengubah hidup kita menuju arah yang lebih baik. Untuk memudahkan proses mencari jawaban, biasanya kita jadi tertarik untuk menuliskannya dalam buku, maka kemudian lahirlah kebiasaan journaling. Pada fase ini manusia sedang berusaha menyembuhkan trauma melalui proses berpikir (akal) sehingga ia gemar menggali banyak pengetahuan tentang kejiwaan.

JOURNALING


Menulis adalah cara Allah SWT mengajarkan segala sesuatu pada diri manusia tentang apa yang tidak diketahuinya, termasuk tentang dirinya sendiri. Hal ini juga telah tercantum dalam QS Al Alaq ayat 4 dan 5, di mana Allah berfirman :

“Yang mengajar (manusia) dengan pena.” ~ QS Al Alaq ayat 4
“Dia mengajarkan manusia tentang apa yang tidak diketahuinya.” ~ QS Al Alaq ayat 5

Dalam proses menulis, manusia tidak hanya mentransfer kata-kata yang muncul dalam isi kepalanya ke atas sebuah media lainnya (kertas atau tablet) tetapi di dalam otak tersebut sesungguhnya ada proses kognitif yang sedang terjadi sebelum ia menghasilkan kalimat yang bisa dituliskan ke dalam buku.

Katakanlah kita sedang ingin curhat tentang suatu peristiwa dalam journal, yang terjadi di dalam pikiran kita itu sebenarnya banyak hal juga. Yang pertama tentu kita akan mengingat peristiwanya terlebih dahulu, baru kemudian menggaris-bawahi kejadian yang kita anggap penting untuk diceritakan dalam journal. Tanpa kita sadari, saat kita menulis peristiwa itu kembali, kita akan menganalisa kejadian tersebut, mengobservasi, memahami konteks kejadiannya dan mencari kalimat atau diksi yang tepat untuk mengungkapkan apa yang kita alami dalam bentuk tulisan.

Walau pun terlihat sederhana, proses kognitif yang terjadi dalam otak kita itu sangat kompleks, meski hanya untuk bercerita kembali melalui bahasa tulis. Hal ini berbeda dampaknya ketika kita menceritakan melalui media sosial. Journaling membuat kita lebih jujur dalam mengungkapkan apa yang terjadi karena sifatnya “privat’ dan tak seorang pun tahu tentang apa yang ingin kita ungkapkan, sehingga kita tidak akan mendapatkan feedback dari orang lain.

Sementara saat kita curhat melalui media sosial, maka yang terjadi adalah (sedikit atau banyak) kita akan membuat cerita dan peristiwa yang terjadi dikemas sedemikian rupa karena kita sadar bahwa ada orang lain yang akan membaca. Maka sifat tulisan (caption) yang kita susun tak sejujur saat kita menuliskannya di buku journal.

Journal menjadi media kita untuk mengenali diri kita sendiri. Dalam journal itu kita akan mengenali bagaimana cara berpikir kita selama ini ? Apa saja yang hal yang membuat kita perhatian (concern), dengan cara memahami benang merah dari setiap tulisan yang telah kita buat ? Seperti apa stage perasaan kita selama ini ? Dan hal-hal yang berkaitan dengan diri sendiri. Semakin kita menuliskan hal detail dalam diri kita, maka semakin kita lebih mampu membaca dan mengenali diri kita sendiri. Karena ada aspek-aspek tersembunyi dalam diri kita yang selama ini tidak kita sadari.

Mengapa manusia itu sulit mengenali dirinya dibandingkan mengenali orang lain ?

Manusia memiliki kemampuan mencermati. Masalahnya objek yang sering dicermati justru bukan dirinya sendiri, melainkan orang lain. Itulah mengapa manusia lebih mudah mengkritik dan menghakimi orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Mereka lebih mudah melihat kekurangan yang ada pada diri orang lain dibandingkan kekurangan pada dirinya sendiri. Apalagi ada beberapa orang yang memang dengan sadar menyembunyikan kekurangannya dengan cara menghakimi orang lain agar kekurangan mereka tidak terekspos yang lain.

Itulah mengapa menulis menjadi salah satu cara manusia agar ia mengenali dirinya, emosinya, tingkah lakunya dengan menganalisa isi tulisan yang telah dibuatnya itu. Selain itu menulis menjadi salah satu cara agar beban pikiran kita berkurang, sehingga yang tertinggal di otak kita adalah hal-hal yang kita anggap signifikan dan penting. Maka tidak heran, jika orang yang gemar menulis akan mudah fokus dalam mencari solusi atas permasalahannya. Karena isi pikirannya telah terorganisir dengan baik dipenuhi dengan data dan informasi yang tepat guna saja. Sementara informasi atau data yang dianggap tidak terlalu penting dalam proses kognitif, telah ia pindah ke dalam buku jurnal.

MUHASABAH


Melalui rangkaian kalimat dalam tulisan, seseorang mampu mengetahui tentang kebaikan dan keburukan dirinya. Masalahnya, proses ini jangan hanya berhenti pada pengenalan saja, tetapi harus ditindaklanjuti dengan proses-proses muhasabah. Kita harus sadar tentang tingkatan kondisi jiwa kita. Apakah jiwa kita masih berada di level amarah, lawamah, mulhamah, atau mutmainah ? Penjelasan tentang level dan proses muhasabah, sudah saya bahas di bab sebelumnya.

Muhasabah menjadi jalan utama kita untuk mengalami perubahan menjadi jiwa yang lebih kuat serta jiwa yang lebih autentik. Proses Muhasabah yang dilakukan secara terus menerus akan membawa kita pada kondisi jiwa yang tenang. Sehingga ketika jiwa kita kembali kepadaNya, kita akan merasa ridho terhadap segala ketetapan yang telah kita jalani di dunia ini. Pun saat kita masih di dunia, hidup kita akan dipenuhi dengan rasa syukur yang berlimpah.

MENTALITAS & SPIRITUALITAS


Rangkaian perjalanan diri, mau tidak mau akan membuat kita lebih perhatian terhadap kondisi mental dan spiritual. Karena perjalanan diri adalah proses peningkatan kualitas diri yang berhubungan dengan mentalitas dan spiritualitas. Jadi secara penglihatan dengan panca indra, perkembangan kualitas diri ini tidak terlihat nyata. Namun ketika kita dihadapkan pada situasi dan kondisi tertentu, maka mental kita akan lebih siap menerima dan merespons dengan cara yang lebih bijaksana.

Sementara dalam sisi spiritualitas, perjalanan diri akan membuka ruang-ruang yang selama ini kita anggap tidak masuk akal, tetapi ternyata kita mampu menyaksikannya. Salah satunya adalah fenomena sinkronisme, di mana hanya beberapa orang yang mampu menyaksikan realitas ini. Sinkronisme adalah sesuatu yang sulit dijelaskan melalui akal. Itulah mengapa kita tetap membutuhkan cara berpikir spiritualitas, karena ruang ini dibutuhkan untuk memahami hal-hal yang sulit diungkap melalui akal pikiran.

Perkembangan akal manusia yang selalu membutuhkan sebuah bukti, membuat beberapa ilmuwan tertantang untuk mengungkapkannya dengan metode akademis. Salah satunya melalui ilmu psikologi (ilmu tentang jiwa manusia/ the science of the soul).

Salah satu tokoh yang paling berpengaruh dan pada akhirnya dikembangkan kembali oleh para ilmuwan modern adalah gagasan yang ditulis oleh Ibn Sina dalam kitab Al-Shifa (kitab pengobatan). Di mana di dalamnya tidak hanya membahas tentang materi yang berhubungan dengan matematika dan ilmu astronomi saja tetapi juga tentang metafisika. (Khan, Aisha. Avicenna (Ibnu Sina). Hal. 93) i

Beberapa abad kemudian, gagasan tentang sinkronisme lahir karena manusia butuh penjelasan yang bersifat ilmiah dan teruji, serta lebih uptodate 1, tentang hal-hal yang bersifat metafisika. Di sinilah kemudian seorang Carl Jung menjadikan fenomena metafisika sebagai gagasan dalam ilmu pengetahuan yang baru. Padahal secara konsep, fenomena keajaiban ini sudah kita pelajari dalam ajaran-ajaran keagamaan. Bahkan berabad-abad lalu juga sudah disampaikan Para Nabi dan Rosul melalui wahyu.

Jadi pada akhirnya kita akan memahami bahwa perjalanan diri ini, akan membuka banyak pengetahuan dalam berbagai dimensi alam. Dan semakin dalam, kita akan semakin merasakan Kekuasaan dan KehadiranNya dalam kehidupan kita.

IMAN KEPADA ALLAH (TAUHID)


Perjalanan diri adalah perjalanan akal menuju alam dimensi jiwa kita yang terdalam, itulah mengapa kita akan bersinggungan dengan ilmu pengetahuan tentang akal pikiran sekaligus tentang ilmu kejiwaan. Apabila secara mental kita memang belum siap melakukan perjalanan diri, ya jangan dilakukan. Karena dalam prosesnya kita akan menemukan banyak hal yang tidak masuk akal. Namun jika ternyata kita berada di tengah-tengah perjalanan ini tanpa kita menyadarinya, maka satu hal yang bisa saya utarakan, “Jangan pernah lari atau meninggalkan Tuhan !” meski banyak godaan yang akan datang. Tetaplah berpegang pada perlindungan dan pertolonganNya, agar kita tidak tersesat di tengah perjalanan.

Dari pengalaman pribadi, perjalanan diri biasanya terjadi karena Tuhan Yang Maha Kuasa menghendakinya. Bukan semata-mata hal yang bisa kita lakukan seorang diri. Karena sebelum adanya perjalanan diri, Tuhan akan memberikan trauma luar biasa untuk membuka hijab-hijab diri (kotoran dari dalam diri) agar trauma tersebut bisa muncul ke permukaan dan kemudian disembuhkan. Maka dari itu, sampai saat giliranmu tiba melakukan perjalanan diri, persiapkan jiwa kita terbebas dari angkara murka, agar pada saat proses itu datang, kita tidak terlalu merasa sangat menyakitkan.

“Jangan terjebak dengan petunjuk dari selain Allah SWT. Dengarkan suara hati dan intuisimu sendiri. Karena terkadang, apa yang kamu dengar tidak bersumber dari Tuhan.”

Salah satu alasan mengapa kita tidak boleh meninggalkan Tuhan adalah karena dalam proses perjalanan diri, dimensi yang selama ini tertutup akan terbuka pelan-pelan. Di masa ini banyak hal yang berusaha memanipulasi dan menguasai diri kita. Fase ini adalah fase di mana kita sedang dididik oleh Allah SWT agar hanya menggantungkan diri kepadaNya saja ! Apa pun yang kamu putuskan, ingatlah untuk selalu berpusat “dari Allah dan hanya untuk Allah” saja, meski trigger itu datangnya dari orang lain.

FASE PERJALANAN DIRI


Fase perjalanan diri itu biasanya berasal dari kesadaran yang timbul dalam diri untuk mencari obat bagi jiwa kita yang terluka. Dalam proses yang pernah saya jalani, beberapa tahapan yang hadir akan terlihat seperti timeline berikut ini :

MUNCULNYA TRAUMA


“Munculnya trauma baru yang sangat menyakitkan dan memberikan kesan kecewa yang mendalam bagi diri kita merupakan awal perjalanan diri terjadi.”

Setiap orang memiliki alasan yang berbeda-beda tentang hal yang membuatnya trauma dan terluka. Sebagai contoh yang terjadi dalam diri saya itu, adalah krisis kepercayaan (trust issue). Sejak kecil saya memiliki masalah dengan kepercayaan. Hal ini terjadi karena saya merasa orang-orang yang berada dalam lingkungan saya tidak ada yang jujur. Mereka lebih sering berbohong dengan kepentingannya pribadi atau untuk menutupi kekurangannya tersebut.

Oleh sebab itu, ketika seseorang yang saya percaya, kemudian ketahuan bahwa ia membohongi saya, di situlah muncul trauma yang berlebihan. Saya merasa bahwa semua orang (bahkan diri saya sendiri) pun tidak bisa dipercaya. Mungkin isu kepercayaan ini tidak begitu menjadi masalah bagi yang lain, tetapi bagi saya, hal ini menjadi masalah yang sangat besar dan traumatis. Itulah mengapa saya merasa begitu sulit memiliki hubungan dengan orang lain, karena bagi saya setiap orang itu adalah pembohong.

Hingga suatu ketika, saya mulai melakukan perjalanan diri. Di sanalah kemudian saya menyadari bahwa hal yang paling membuat saya trauma adalah ketika saya justru membohongi diri saya sendiri, bukan kebohongan yang bersumber dari orang lain. Karena saya sadar bahwa bentuk kebohongan yang paling berpengaruh dalam hidup saya adalah ketika datang dari diri saya sendiri.

Apa yang terjadi dalam diri saya, mungkin tidak akan sama dengan apa yang terjadi pada diri orang lain. Karena concern 2 kita berbeda-beda. Ada orang yang sumber traumanya karena uang atau materi. Ada orang yang sumber traumanya berbentuk kehormatan atau jabatan, dan lain-lain.

MUNCULNYA KESADARAN DIRI


Fase berikutnya adalah munculnya kesadaran diri bahwa kita membutuhkan sesuatu agar bisa terlepas dari trauma yang sedang terjadi. Dalam fase ini, merupakan area yang sangat vital bagi kita. Karena pilihan yang kita lakukan akan mempengaruhi sepanjang hidup kita di masa mendatang.

Jika kita memiliki kesadaran bahwa diri ini sedang tidak baik-baik saja dan berusaha mencari obat dengan cara yang positif maka konsep hidup kita akan terus positif. Namun jika pilihan kita untuk terlepas dari trauma ini justru dengan cara negatif, maka sisa hidup kita akan dipenuhi dengan konsep diri yang negatif pula.

Misalnya saja, kita lebih memilih aktivitas journaling untuk menghadapi atau menahan luka dan trauma daripada menenggelamkan diri pada zat-zat terlarang, dengan alasan agar bisa terlepas dari sensasi rasa sakit yang ditimbulkan, maka kita bisa optimis untuk membangun konsep hidup yang positif di masa mendatang. Tetapi apabila kita justru memilih dengan cara menggantungkan diri pada zat, sesuatu atau orang lain, maka ke depannya kita akan terus mencari penggantinya bila kita kehilangan “zat, sesuatu atau sosok orang lain” itu.

Hal ini akan menimbulkan ketergantungan jenis baru bagi hidup kita dalam jangka panjang. Sementara ketergantungan merupakan penjara dalam bentuk transparan bagi jiwa kita. Kita akan terpenjara oleh sosok, sesuatu atau zat-zat yang kita butuhkan untuk mengobati rasa sakit. Padahal obat yang tidak memenjarakan adalah yang datang dari dalam diri kita, healing !

PERTOBATAN


Trauma akan membawa kita pada level pertobatan. Di mana kita berusaha untuk keluar dari kondisi ini dengan cara yang holistik 3. Bukan hanya berpusat pada jasmani saja, tetapi juga bersifat rohani dan spiritual. Pertobatan adalah proses awal seseorang yang berkaitan dengan hal metafisika dan akan dilanjutkan dengan proses yang berkaitan dengan mental sekaligus jasmaninya.

Pertobatan juga bisa diartikan bahwa kita berhenti melakukan perbuatan merugikan (dosa) yang sebelumnya dilakukan dan menggantinya dengan perbuatan yang bermanfaat (amal saleh). Tanpa pertobatan, seseorang yang sadar bahwa ia melakukan kesalahan akan tetap melakukan kesalahan lagi, karena meski sadar ia tidak menindaklanjuti perbuatan buruknya dengan cara berhenti.

MUHASABAH


Setelah melewati fase pertobatan, orang akan cenderung melakukan introspeksi diri, karena ia memiliki keinginan untuk mengubah diri agar menjadi lebih baik lagi. Maka ia akan menganalisa diri sendiri, serta mencari mana kelebihan dan kekurangan diri yang harus diperbaiki. Fase ini lah yang disebut dengan muhasabah. Dan menurut saya pribadi, fase ini yang cukup sulit sekaligus sangat menyakitkan karena kita (secara paksa) harus mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk menjadi amal saleh.

Dalam peristiwa khusus, kadang keburukan kita itu akan Tuhan perlihatkan di hadapan orang lain, sehingga terkadang kita harus mendengar kata-kata yang menyakitkan dari mulut mereka. Cacian dan hinaan akan menjadi makanan sehari-hari. Di sinilah kita akan melakukan jihad (perjuangan sungguh-sungguh) dalam menaklukkan ego kita.

Twin Flame adalah istilah yang berkembang di dunia spiritual terutama dalam dunia barat, di mana seseorang itu akan bertemu dengan kembarannya yang memiliki karakter sama persis dengan dirinya. Sang kembaran ini, Tuhan kirimkan sebagai sosok yang akan menstimulasi terjadinya perjalanan diri dalam individu. Namun pada kenyataannya, kedua orang yang terlibat dalam konsep twin flame ini akan saling menstimulasi perjalanan diri dan penyembuhan trauma dengan cara mengungkap “shadow” masing-masing individu dalam bentuk caci maki. Tentu ini sebenarnya sangat menyakitkan, namun di saat yang bersamaan ini adalah perjalanan suci jiwa dalam pengembaraannya memasuki dimensi muhasabah.

Dalam perspektif Islam, kita tidak mengenal istilah twin flame. Yang terjadi hanyalah kita akan berhadapan dengan seseorang yang mampu mengungkapkan sifat buruk dalam diri kita yang tak pernah kita sadari. Caci maki yang bertubi-tubi adalah cara Tuhan mengajarkan kepada kita untuk bersabar sekaligus memberi waktu bagi kita untuk belajar bagaimana cara merespons dan mengatasi hal tersebut. Dengan begitu, di masa mendatang, ketika kita menerima caci maki, kita tidak mudah tersulut dan terluka seperti apa yang terjadi di masa lalu kita.

Pada fase ini, kita akan menyadari tentang diri kita yang begitu lemah dan rendah di hadapan Tuhan. Jika kita melawan caci maki itu dengan amarah, maka yang terjadi justru kita akan menyakiti jiwa kita lebih dalam lagi. Itulah mengapa saya menyatakan bahwa fase muhasabah adalah fase terberat sekaligus menyakitkan. Ketika kita masuk pada fase ini, ingatlah untuk “tidak menyerah” apa pun yang terjadi, atau kita akan mengulang proses kesakitan yang sama berulang-ulang. Menyerah yang saya maksudkan di sini adalah dengan cara memenangkan amarah. Jangan sampai kita mengalah pada amarah, sehingga kita justru akan menghadapi siklus hidup yang menyakitkan secara berulang-ulang. Pastikan untuk memenangkan kesabaran agar kita terlepas dari belenggu amarah.

MEMPERDALAM ILMU PENGETAHUAN


Fase berikutnya adalah di mana kita akan merasa selalu haus akan ilmu pengetahuan terutama yang berhubungan dengan jiwa dan Ketuhanan (divine knowledge). Jenis-jenis ilmu yang membawa jiwa kita tenang dihadapanNya. Bentuknya pun bisa bermacam-macam, entah itu ilmu agama, kebijaksanaan (hikmah), filsafat, atau pun ilmu jiwa (psikologi), ilmu kebatinan (tasawuf) dan ilmu yang berhubungan dengan jiwa manusia lainnya.

Ilmu adalah makanan bagi jiwa kita agar ia merasa kenyang dan tenang. Serta agar kita bisa belajar tentang hal-hal yang dilarang atau yang diridhoi oleh Allah SWT. Kita akan belajar tentang mana yang benar dan yang salah di hadapan Allah SWT. Sehingga ke depannya kita tidak melakukan kesalahan yang sama secara berulang.

SELALU MERASA INGIN DEKAT DENGAN TUHAN


Ketika kita memperoleh pengetahuan yang banyak tentang Ketuhanan, biasanya kita akan merasa ingin selalu dekat pada Tuhan. Sehingga kita memiliki keinginan untuk mengamalkan ilmu kebenaran yang kita pelajari sebelumnya. Hal ini semata-mata karena kita selalu ingin membuat Allah senang dan menghindari kemarahanNya.

Dalam fase ini biasanya kesadaran kita dalam beribadah semakin berkualitas. Kita cenderung tidak lagi menginginkan balasan duniawi saja, tetapi lebih utama tentang akhirat. Pun dari waktu ke waktu akan semakin meningkat. Dari mulai berharap tentang pahala, surga, hingga keinginan tertinggi, yaitu ingin melihat dan bersama Allah dalam kekekalan. Dalam ilmu tasawuf fase ini disebut dengan maqam fana (peak experience), di mana seseorang hanya ingin bersama Allah dan rasanya tidak ingin kembali ke dimensi jasmani.

MEMILIKI KESADARAN BAHWA TUHAN SELALU HADIR DAN MENYAKSIKAN PROSES KEHIDUPAN KITA


Fase berikutnya adalah ketika manusia memilih untuk kembali ke dimensi jasmani dengan kesadaran penuh bahwa apa pun yang terjadi dalam hidupnya, ia selalu berada dalam LindunganNya, dan ia juga selalu merasakan KehadiranNya dalam setiap hal yang terjadi di dalam hidupnya. Sehingga ia tak lagi merasa takut dengan manusia. Ia hanya memiliki rasa takut kepada Allah SWT saja. Fase inilah di mana seseorang menyadari identitas dan tugasnya sebagai seorang hamba yang dikirimkan ke dunia. Dan ia mendapatkan kebebasannya sebagai makhluk dari makhluk lainnya. Pada fase ini seseorang hanya akan melakukan segala sesuatu karena Allah dan untuk Allah SWT saja.

KETENANGAN


Fase terakhir adalah ketika jiwa manusia telah merasa tenang. Ia tak lagi menggantungan dirinya pada apa pun, selain hanya pada Allah SWT. Ia tak lagi mencemaskan tentang rezeki, masalah, caci dan puji atau hal lain yang mencemaskannya. Namun di saat yang bersamaan ia tetap bekerja keras, semata-mata karena bentuk rasa syukur dan tanggung jawab dalam mengemban tugas sebagai seorang hamba.

DAMPAK DARI PERJALANAN DIRI


Setiap manusia memang memiliki masa awal dan proses yang berbeda-beda dalam perjalanan diri. Ada yang lebih awal dan ada juga yang telat, bahkan ada juga yang tidak berkesempatan melakukannya. Kapan pun masa dan prosesnya tidak menjadi soal. Yang penting kita bisa memahami apa saja hal yang akan kita dapatkan dalam proses perjalanan diri ini ?

  • Mampu merasakan kehadiran Allah SWT pada situasi apa pun. Hati kita akan selalu terpaut pada Allah SWT, sehingga apa pun yang terjadi, kita akan selalu merasa bersyukur dan damai.
  • Hidup menjadi lebih bermakna dan berarti. Segala profesi dan aktivitas kebajikan yang kita lakukan akan memiliki nilai dan makna sehingga meski tubuh kita merasa lelah, tetapi hati kita akan merasa puas dan bahagia.
  • Mampu mencintai dan dicintai dengan tulus. Perjalanan diri akan mengajarkan kita tentang cara mencintai dan juga cara untuk dicintai. Sehingga hidup kita akan diliputi dengan cinta yang sesungguhnya.
  • Kita mampu membaca makna dari suatu fenomena (hikmah), karena seseorang yang melakukan perjalanan diri biasanya adalah orang yang terlatih mengamati dan mencermati. Sehingga kebiasaan ini akan menjadi gaya hidupnya.
  • Rasa syukur dan ridho terhadap segala sesuatu yang terjadi.
  • Hidup akan lebih fokus pada nilai-nilai dibandingkan berpusat pada materi. Misalnya saja, kita akan berpikir bahwa bentuk kesuksesan tidak lagi dinilai melalui kepemilikan materi tetapi value.
  • Lebih bisa menikmati hidup karena kita akan menghargai setiap proses yang terjadi.
  • Kita memiliki tujuan dan gambaran yang jelas tentang kehidupan kita sendiri, sehingga saat menjalaninya kita akan bersungguh-sungguh sekaligus selalu merasa bersyukur.
  • Tidak mudah dipengaruhi oleh kritikan orang lain, namun di saat yang bersamaan memperlakukan kritikan sebagai masukan yang bisa dipertimbangkan dan menghargainya.
  • Tidak mudah putus asa, karena kita tahu dan sadar bahwa Allah SWT selalu bersama kita.
  • Memiliki konsep hidup yang positif.
  • Berusaha memperbaiki diri secara terus menerus, karena kita sadar bahwa manusia itu adalah makhluk yang sangat lemah dan dinamis. Di mana ia bisa saja kembali ke kehidupan kelamnya tanpa disadari. Itulah mengapa perjalanan diri tidak ada batas akhirnya, kecuali ketika kita mati.
  • Tidak suka menggantungkan dirinya pada manusia lain atau pun materi, bahkan pada dirinya sendiri. Ia hanya menggantungkan hidupnya kepada Ilahi. Namun di saat yang sama, ia harus mengerjakan tugas dan peran yang telah ditetapkan Allah dalam hidupnya dengan sungguh-sungguh sebagai tanggung jawab sekaligus rasa syukur karena karuniaNya.

Hidup setelah proses perjalanan diri terjadi, akan terasa sangat berbeda dengan kehidupan yang kita jalani sebelumnya. Kita akan melihat segala sesuatu dengan perspektif yang sangat berbeda. Walaupun prosesnya sangat menyakitkan dan menakutkan, tetapi jika sudah menjadi kehendak Tuhan untuk terjadi dalam hidup kita, maka yang terjadi akan tetap terjadi. Di saat itulah, kita menempatkan diri sebagai sosok yang pasrah total terhadap apa yang terjadi dalam hidup ini. Dan sadar bahwa ada Kuasa Tuhan yang mengelola kehidupan ini.

Hilangnya sifat ketergantungan dari sesuatu atau orang lain akan membuat kita menjadi pribadi yang autentik. Pribadi yang memang diciptakan oleh Allah dengan segala kemegahan desain yang ada dalam diri kita. Kita akan tetap terinspirasi oleh orang lain, akan tetapi kita tidak lagi memiliki keinginan menjadi seperti yang lain. Kita bisa lebih menerima dan menghargai apa pun yang telah Allah tetapkan dalam diri kita dan memanfaatkan segala karunia yang dilimpahkan kepada kita di jalanNya.

Kita akan memiliki kesadaran bahwa hidup kita ini selalu dalam naungan Tuhan, apa pun kondisinya. Entah itu menurut kaca mata awam baik atau buruk. Kita tidak lagi banyak protes terhadap apa pun yang terjadi dalam hidup. Justru kita lebih menikmati hidup dan bersyukur setiap hari.

Perjalanan diri bukan berarti meniadakan segala ujian dan cobaan hidup. Ujian ini akan tetap datang dan pergi seperti sebelumnya. Namun perspektif kita akan berbeda dalam memandang dan merespons setiap ujian yang datang. Kita tidak lagi merasa cemas dan gelisah yang berlebihan. Justru kita akan fokus dan berusaha menemukan hikmah kebijaksanaan, pelajaran dan jalan keluar yang lebih bijaksana. Alhamdulillah !

Bagi siapa pun yang sedang dalam fase dan proses perjalanan diri, semoga kita akan bertemu di ujung jalan menuju keabadian kelak dan saling menyapa dalam kekekalan. Semoga kita semua akan kembali sebagai jiwa-jiwa yang tenang dan bahagia bersama Rabbnya. Semoga kita adalah jiwa-jiwa yang mampu memandang Rabbnya dengan kekaguman dan rasa syukur yang kekal. Amin Allahuma Amin !

Alhamdulillah, pada akhirnya saya bisa berbagi perspektif dan sudut pandang dalam perjalanan diri. Semoga gambaran yang saya ungkapkan dalam buku ini, bisa menambah data dan informasi baru bagi kita semua. Sehingga kita memiliki perspektif yang berbeda dalam pandangan tentang rute perjalanan manusia dalam menentukan identitas dirinya, mengenali dirinya, memahami kelebihan dan kekurangannya, bermuhasabah dan menjadi jiwa yang tenang dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ulasan lengkap tentang Ebook Self Journey bisa kalian download di Nih Buat Jajan/ewafebri atau di ebook.ewafebri.com, GRATIS !

Post a Comment

0 Comments