IBNU SINA: FARMAKOLOGI JIWA DARI FILSAFAT KE PSIKOLOGI MODERN

IBNU SINA: FARMAKOLOGI JIWA DARI FILSAFAT KE PSIKOLOGI MODERN

Hai pencari cahaya! ✨🌝 

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Belakangan ini saya sedang mendalami pemikiran Ibnu Sina, terutama terkait konsep terapi mental untuk menjaga akal sehat. Yang menarik, saat minggu lalu saya membahas literasi buku sebagai salah satu bentuk terapi mental, pikiran saya langsung terhubung dengan teori beliau. Apalagi setelah membuat tadabbur Al-Qur’an tentang betapa pentingnya menjaga akal, saya merasa topik ini saling bertautan. Akhirnya, saya pun terdorong untuk menuliskannya di sini sebagai refleksi sekaligus catatan perjalanan belajar.

IBNU SINA: FARMAKOLOGI JIWA DARI FILSAFAT KE PSIKOLOGI MODERN

Tokoh-tokoh inspiratif selalu menarik untuk dibicarakan, apalagi jika dikaitkan dengan catatan pribadi atau eBook yang sedang saya rencanakan. Sebelumnya, saya pernah menulis tentang Marcus Aurelius, Walt Whitman, Da Vinci, dan beberapa tokoh lain yang memiliki keterkaitan erat dengan praktik journaling mereka. 

Kali ini, saya ingin mengangkat sosok yang tidak hanya lekat dengan perspektif Islam, tetapi juga vokal dalam menyuarakan pentingnya pengetahuan sains. Sosok itu adalah Ibnu Sina. Inilah salah satu alasan mengapa saya merasa perlu menuliskan catatan ini—sebagai jembatan antara tradisi filsafat klasik Islam dan refleksi modern tentang literasi dan kesehatan mental.

Artikel ini akan mengulas bagaimana konsep klasik Ibnu Sina bisa bertemu dengan praktik modern seperti biblioterapi, sekaligus memberi inspirasi bahwa literasi bukan hanya soal menambah wawasan, tapi juga menjaga kesehatan jiwa.

Siapa Ibnu Sina?

Siapa sebenarnya Ibnu Sina? Nama lengkapnya Abu Ali al-Husayn ibn Abd Allah ibn Sina, lahir di Afshana dekat Bukhara (sekarang Uzbekistan) pada tahun 980 M. Di Barat, ia lebih dikenal sebagai Avicenna. Sejak kecil, Ibnu Sina menunjukkan kecerdasan luar biasa: usia 10 tahun ia sudah menghafal Al-Qur’an, dan sebelum remaja sudah mendalami ilmu kedokteran, filsafat, hingga logika. Tak heran kalau ia sering disebut sebagai polymath Muslim terbesar di abad pertengahan, seorang ilmuwan yang tidak hanya ahli dalam satu bidang, melainkan lintas disiplin.

Karya monumentalnya, Al-Qanun fi al-Tibb (The Canon of Medicine), selama berabad-abad menjadi rujukan utama dalam dunia kedokteran, baik di dunia Islam maupun Eropa. Namun, Ibnu Sina bukan hanya bicara soal penyakit fisik. Ia juga menggarap aspek psikologi, jiwa, dan keseimbangan batin dalam karyanya Kitab al-Shifa (The Book of Healing). Baginya, kesehatan sejati bukan hanya terbebas dari sakit tubuh, tapi juga kondisi jiwa yang tenang, berimbang, dan selaras dengan akal sehat.

Relevansinya makin terasa di zaman modern, di mana stres, kecemasan, dan gangguan mental jadi isu global. Banyak orang kembali mencari pendekatan holistik, yang tidak hanya mengobati fisik, tapi juga menyentuh sisi spiritual dan mental. Dalam konteks ini, gagasan Ibnu Sina soal bacaan, refleksi, dan ilmu pengetahuan sebagai “obat jiwa” kembali menemukan tempatnya. 

Konsep Jiwa (An-Nafs) Menurut Ibnu Sina dan Kesehatan Jiwa

Ibnu Sina mendefinisikan jiwa (nafs) sebagai substansi spiritual yang hidup; ia berbeda dari tubuh fisik tetapi saling berkaitan. Jiwa menurutnya bukan hanya kumpulan naluri atau keinginan, melainkan juga pusat kesadaran, akal, dan potensi moral. 

Dalam karya-psikologi klasiknya, Ibnu Sina berbicara tentang tiga jenis jiwa: vegetatif (yang mengurus pertumbuhan, nutrisi, reproduksi), binatang/hewan (yang mencakup indera, gerak, emosional), dan rasional (akal/intellect) yang memungkinkan manusia berpikir abstrak, membuat moral, dan memahami kebenaran yang universal. 

Kesehatan jiwa, berdasarkan pandangan Ibnu Sina, tergantung pada keseimbangan antara aktivitas jiwa-rasional, aktivitas emosional, dan kondisi fisik tubuh. Gangguan jiwa muncul bila ada ketidakseimbangan — misalnya terlalu banyak pengaruh emosional/tubuh tanpa penyaluran rasional atau refleksi. Dari sana, bacaan (termasuk pengetahuan & moral) bisa menjadi sarana untuk mengatur kembali keseimbangan jiwa.

Bacaan sebagai “Obat Jiwa” & Quwwah Mutakhayyilah (Daya Imajinasi)

Salah satu aspek yang kadang kurang dibahas: bagaimana Ibnu Sina melihat peran imajinasi (quwwah mutakhayyilah) dalam kemampuan jiwa untuk memproses realitas, mimpi, kenangan, dan bacaan. Ia membagi indera batin (inner senses) termasuk imajinasi, estimasi, representasi, dan ingatan yang memungkinkan seseorang menyimpan, membayangkan, dan merefleksikan bacaan atau pengalaman. 

Menurut Ibnu Sina,
imajinasi bukan cuma fantasi kosong; ia bisa menjadi medium melalui mana teks atau kisah bisa “masuk” ke jiwa, membangkitkan emosi & pemikiran yang mendalam.

Dengan menggunakan teks moral, hikmah, atau cerita inspiratif, seseorang dapat merangsang imajinasi yang sehat untuk menata ulang pola pikir yang rusak oleh stres, trauma, atau kebiasaan konsumsi konten cepat (shallow). Topik ini kadang jarang dibahas secara spesifik: bagaimana imajinasi klasik ini bisa menjadi jembatan antara teks & penyembuhan.

Bacaan sebagai obat jiwa menurut Ibnu Sina ialah bacaan yang mengaktifkan pemikiran rasional & refleksi moral, bukan hanya hiburan. Sama seperti obat fisik yang harus sesuai dosis, bacaan harus sesuai “kondisi jiwa”: ringan jika jiwa lelah, berat jika jiwa mencari pemahaman mendalam. Konsep ini mirip biblioterapi modern yang memilih teks sesuai kebutuhan pengguna (misalnya fiksi, filosofi, spiritual).

Kesamaan Biblioterapi Modern & Hikmah Klasik Islam

Biblioterapi modern: sudah ada penelitian yang menunjukkan membaca teks dengan refleksi dapat mengurangi kecemasan, depresi ringan, meningkatkan empati dan kesejahteraan emosional. Model seperti membaca + diskusi + refleksi sangat mirip dengan tradisi klasik Islam seperti halaqah ilmu, tafsir, pengajian, dan membaca kitab hikmah.

Kesamaan pentingnya: kedua pendekatan — klasik & modern — menekankan bahwa membaca bukan aktivitas pasif. Ada aspek refleksi, dialog (baik internal lewat kesadaran atau eksternal lewat diskusi), dan moral/spiritualitas. Keduanya melihat jiwa bukan terpisah dari konteks sosial, budaya, dan spiritual.

Untuk pembaca masa kini, konsep ini sangat relevan:
  • Di era digital, banyak yang merasa “terlalu banyak input, sedikit makna”; bacaan yang mendalam & spiritual bisa memberikan pengantar ketenangan.
  • Stress, burnout, kecemasan meningkat; pendekatan yang menggabungkan tradisi & psikologi modern bisa lebih menyeluruh.

Selain itu, dalam konteks Indonesia atau budaya Asia, ada tradisi membaca kitab, karya klasik, puisi sufi, hikmah lokal yang bisa dimanfaatkan sebagai “terapi literasi” karena sudah dekat dengan kultur & kepercayaan lokal.
 

Refleksi Diri

Coba deh renungkan: buku apa terakhir kali yang membuatmu benar-benar berhenti sejenak, berpikir ulang, atau melihat hidupmu dari sudut berbeda? Mungkin bukan yang paling terkenal, tapi yang membuat hatimu bergetar atau pikiranmu terganggu karena ada gagasan yang menohok.

Kadang kita terlalu fokus ke “apa yang viral” atau “apa yang disukai orang lain”, hingga lupa bahwa membaca bisa jadi obat pribadi. Buku yang cocok untuk orang lain belum tentu cocok untukmu — tergantung keadaan jiwa, latar belakang, spiritualitasmu.

Mungkin kamu bisa mulai: satu buku klasik atau spiritual, baca satu bab, renungkan apa arti isi itu bagimu, sambil menulis sedikit di jurnal. Dengan cara ini, literasi bukan hanya aktivitas intelektual — tapi penyembuhan jiwa lintas zaman yang melibatkan perspektif klasik seperti Ibnu Sina dan kebutuhan psikologismu hari ini.

Posting Komentar

0 Komentar