TADABBUR QURAN: AL FATIHAH 6

TADABBUR QURAN: AL FATIHAH 6

Hai pencari cahaya! ✨🌝

Setelah kemarin kita bahas Surat Al Fatihah Ayat 5 yang menjadi batas bagian pemujaan dan kemuliaan Allah SWT. Sekarang kita bahas ayat selanjutnya, di mana kita sebagai seorang hamba diberi kesempatan untuk memohon pada Allah SWT. 

TADABBUR QURAN: AL FATIHAH 6

Masih dari sumber yang sama, Dr. Omar Soelaiman, kita akan membahas tentang keutamaan Surat Al Fatihah yang menjadi rukun wajib dalam setiap rakaat sholat. Terkadang saking hafal pelafalannya, kita mengabaikan makna di balik setiap katanya. 

Lumira jadi teringat kajian dari Ustadz Adi yang mempertanyakan kepada kita agar merenungi apa yang kita lakukan. Beliau mengatakan, "berapa banyak dari kita yang sadar dan memahami apa yang kita ucapkan dan lakukan saat sholat?" Saking hafalnya, kadang kita tidak lagi melakukannya "dengan mindful/sadar" karena sifatnya menjadi autopilot

Bahkan, yang terjadi (kadang-kadang) gerakan kita jadi lebih cepat dan tergesa-gesa tanpa meresapi terlebih dahulu apa yang terucap. Ini menjadi kelalaian yang sering kita abaikan, padahal ini hal penting yang perlu diperhatikan. Karena saat kita sudah mampu memenuhi kuantitas ibadah yang seharusnya, maka level selanjutnya adalah memperbaiki kualitasnya, termasuk dengan cara memahami dan meresapi apa yang sedang kita kerjakan. 

Memohon Jalan Yang Lurus

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ

Bimbinglah kami ke jalan yang lurus.

Al-Fātiḥah  [1]:6

Setelah kita memuja dan memuliakan Allah SWT melalui Surat Al Fatihah Ayat 1 hingga 5, kini kita meminta Kepada Allah bimbingan menuju jalan yang lurus. Dan permohonan ini tidak hanya kita minta satu kali, tetapi berulang kali dalam setiap rakaat dan setiap kita membaca Al Fatihah. 

Kalimat "ṣirāṭal-mustaqīm(a)" artinya adalah jalan yang lurus (tidak ada penyimpangan) atau pun jalan yang membawa kita menjauh dari jalan Allah SWT. Orang yang beriman kepada Allah SWT akan selalu berusaha menapaki "jalan yang lurus" menuju Allah SWT. 

Bila kita perhatikan dalam konteks sejarahnya, bimbingan dan jalan lurus yang kita ucapkan dalam Al Fatihah, sudah dijawab Allah SWT di QS. Al Baqarah Ayat 2

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ

Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, 

Al-Baqarah  [2]:2

Sayangnya, banyak dari kita yang tidak menggunakan Al Quran sebagai petunjuk dan pedoman hidup sehari-hari. Sehingga beberapa dari kita sering merasa bahwa "kita jarang mendapatkan petunjuk" padahal bukan kita yang tidak mendapatkan petunjuk itu, tetapi kita-lah yang mengabaikannya. 

Dahulu, Lumira hanya membaca Al Quran tanpa punya keinginan untuk belajar memahami maknanya, apalagi mencari pelajaran dan hikmah dalam setiap ayat-ayat yang ada di dalamnya. Kita tahu bahwa sebenarnya Al Quran adalah Kalamullah yang merupakan sebuah "monolog" yang disampaikan Allah memalui wahyu kepada Rasulullah. 

Namun, karena kita hanya fokus pada "mengejar pahala" setiap hurufnya, kita jadi lupa bahwa di dalam Al Quran itu sendiri merupakan petunjuk kehidupan yang diberikan Allah SWT pada umat manusia. Itulah mengapa, Lumira belajar tentang Quran Journaling dan Tadabbur Quran, karena Lumira ingin menjadikan ayat-ayat Allah SWT sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. 

Tafsir Tahlili Al Fatihah 6

TADABBUR QURAN: AL FATIHAH 6 Part 1

Dalam tafsir tahlili dijelaskan makna "Ihdi": pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah. Arti “hidayah” ialah menunjukkan suatu jalan atau cara menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya, dengan baik. 

Berdasarkan Tafsīr Al-Fātiḥah oleh Muhammad Abduh ada beberapa jenis hidayah yang perlu kita ketahui: 

1. Hidayah Naluri (Garīzah)

  • Merupakan sifat bawaan sejak lahir, ada pada manusia dan binatang.
  • Contoh: bayi menangis saat lapar, lebah membuat sarang.
  • Perbedaannya: naluri manusia bisa dididik dan diarahkan, sementara naluri binatang tidak berubah.
  • Naluri adalah potensi untuk kebaikan maupun keburukan, tergantung bagaimana diarahkan.

2. Hidayah Pancaindra

  • Pancaindra adalah alat untuk menerima informasi dari dunia luar.
  • Dikatakan sebagai "pintu-pintu pengetahuan".
  • Namun, pancaindra terbatas dan bisa salah persepsi (contohnya ilusi optik), sehingga perlu dibantu oleh akal.

3. Hidayah Akal (Pikiran)

  • Akal membantu menyaring, menilai, dan menyimpulkan pengetahuan dari naluri dan pancaindra.
  • Akal bisa membawa manusia mengenal Tuhan dan berpikir logis.
  • Namun, akal saja tidak cukup karena bisa dikalahkan oleh hawa nafsu, dan persepsi kebenaran bisa berbeda-beda.
  • Fitrah beragama: manusia cenderung merasa berutang budi kepada Zat Gaib (Tuhan), yang menciptakan alam.
  • Tetapi tanpa petunjuk wahyu, manusia bisa menyimpang, menyembah benda alam atau makhluk karena salah paham.
  • Akal bisa sampai pada konsep Tuhan dan akhirat, tetapi tidak cukup untuk menentukan jalan hidup yang benar.

4. Hidayah Agama (Wahyu)

  • Hidayah paling sempurna dan dibawa oleh para rasul.
  • Menuntun manusia kepada tauhid yang murni, kepercayaan kepada Allah, malaikat, hari akhir, dan hal-hal gaib lainnya.
  • Agama juga membawa hukum, aturan, dan akhlak sebagai pedoman hidup.
  • Ajaran para nabi berbeda dalam perincian hukum, tapi pokok akidahnya sama, yaitu iman kepada yang gaib dan tauhid.

Allah menganugerahkan kepada manusia empat tingkatan hidayah sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan: hidayah naluri yang menanamkan kecenderungan alami untuk mempertahankan diri, hidayah pancaindra yang memungkinkan manusia menangkap realitas dunia sekitar, hidayah akal yang membimbing manusia dalam berpikir dan mengambil keputusan, serta hidayah agama sebagai puncak dan penyempurna dari semua hidayah tersebut. 

Meskipun ketiga hidayah awal membekali manusia dengan kemampuan bertahan hidup dan berkembang, tanpa hidayah agama, manusia akan kehilangan arah hakiki dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat secara sempurna. Hidayah agama-lah yang menerangi hati, menuntun jiwa kepada kebenaran sejati, dan menghubungkan manusia dengan tujuan penciptaannya.

Mengapa Kita Masih Sering Tersesat?

TADABBUR QURAN: AL FATIHAH 6 Part 2

Pertanyaan ini menjadi sebuah renungan bagi kita sebagai hamba, yang mana meski setiap hari membaca Al Fatihah, tapi kita masih sering merasa tersesat dan terjebak dalam penderitaan-penderitaan baru. Ini bukan berarti Allah tidak mengabulkan doa saat kita memohon petunjuk jalan yang lurus, tetapi kadang kitalah yang menolak petunjuk itu sendiri. Terutama bila petunjuk tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi atau cara berpikir kita. 

Entah berapa banyak petunjuk dan hidayah Allah yang kita tolak dan abaikan karena tidak sesuai dengan ego dan kemauan kita. Misalnya saja ketika Allah melarang kita mendekati zina dengan cara berpacaran, berapa banyak dari kita yang masih menormalisasi dengan dalih, "ya gimana mau dapat jodoh kalau begitu? Dan seterusnya."

Atau saat kita dianjurkan untuk menuntut ilmu agar bisa memahami mana yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, namun dengan segala macam alasan kita menolak anjuran itu. Misalnya jarak majlis ilmu yang jauh, mata sudah tidak lagi awas saat membaca, nggak punya waktu dan alasan-alasan lain, yang membuat kita tidak mendapatkan petunjuk, 

Dan berapa banyak dari kita yang menolak nasihat, padahal kita berdoa ingin mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus. Bisa jadi, orang yang memberikan nasihat tersebut diutus Allah SWT untuk menasihati kita sebagai hadiah dari petunjuk yang kita minta. Hal semacam ini sering terjadi, tetapi kita sering mengabaikannya. Sehingga kita tidak lagi bisa menerima petunjuk yang diberikan Allah SWT di sekitar kita. 

Jalan Lurus = Jalan Seimbang

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يٰٓاَبَتِ اِنِّيْ قَدْ جَاۤءَنِيْ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِيْٓ اَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا 

Wahai Bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu yang tidak datang kepadamu. Ikutilah aku, niscaya aku tunjukkan kepadamu jalan yang lurus.

Maryam [19]:43

Menurut Dr. Omar, "jalan lurus" ini juga bisa bermakna jalan yang seimbang "balance path". Makna ini diambil dari QS. Maryam [19] ayat 43, di mana Nabi Ibrahim mengajak sang Ayah untuk mengikuti jalannya, yakni jalan yang stabil atau tak tergoyahkan. 

Pemahaman dari makna ini adalah rujukan dari terjemahan Quran dalam bahasa Inggris. Sementara dalam terjemahan bahasa Indonesia, Kementrian Agama kita sudah menerjemahkannya dengan makna yang sama dengan siratal mustaqim, yakni jalan yang lurus. 

Hal ini selaras dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam yang mengatur segala sesuatu dengan cara yang seimbang, masuk akan, sempurna dan terpadu (tidak saling tumpang tindih tetapi tersambung dalam arti saling melengkapi). 

Hidayah Adalah Hadiah Paling Berharga

Petunjuk atau lebih sering kita kenal dengan hidayah, merupakan hadiah dari Allah SWT yang paling berharga dan paling bernilai. Saking berharganya, Allah mengingatkan kita untuk tidak menukar hidayah atau petunjuk dengan kesesatan. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ اشْتَرَوُا الضَّلٰلَةَ بِالْهُدٰىۖ فَمَا رَبِحَتْ تِّجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوْا مُهْتَدِيْنَ

Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk. Maka, tidaklah beruntung perniagaannya dan mereka bukanlah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.

Al-Baqarah  [2]:16

Salah satu transaksi yang dibahas pertama kali dalam Al Quran justru perniagaan antara petunjuk dan kesesatan. Orang-orang munafik adalah mereka yang memilih jalan kesesatan dan hawa nafsu, serta menolak petunjuk kebenaran yang telah tersedia bagi mereka. Dalam ayat ini, Allah menggambarkan perbuatan mereka dengan istilah “membeli,” yakni menukarkan hidayah dengan kesesatan

Akibat dari pilihan ini, mereka kehilangan potensi untuk menerima kebenaran—modal dasar yang seharusnya bisa membawa mereka menuju kesempurnaan. Karena telah menukar modal tersebut, mereka pun tidak mendapatkan keuntungan apa pun dan akhirnya tersesat tanpa petunjuk.

Sungguh rugi bila kita termasuk orang-orang yang telah diberi petunjuk Allah SWT tetapi mengabaikannya dan membelinya dengan kesesatan. Ini sama saja seperti kita sedang log in dalam dunia yang penuh kehinaan. 

Oleh karena itu, marilah kita tidak hanya membacakan doa Al-Fatihah, tetapi juga berupaya mengamalkan petunjuk yang telah Allah SWT berikan. Jika kita merasa kesulitan memahami petunjuk-Nya yang tersirat dalam bentuk nonverbal, maka belajarlah dari Al-Qur’an—sebagaimana ditegaskan dalam Al-Baqarah ayat 2—karena di sanalah firman Allah tertulis sebagai pedoman hidup.

Ternyata, untuk memahami makna ayat ke-6 dari surat Al-Fatihah saja, pembahasannya bisa sepanjang ini, ya? Bahkan masih bisa dikembangkan lebih jauh. Tapi, untuk sementara, Lumira cukupkan dulu sampai di sini. InsyaAllah, akan Lumira lanjutkan di lain waktu.

Posting Komentar

0 Komentar