بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Catatan 13 September 2025.
Hari ini saya ingin membuat tulisan yang berbeda dari tadabbur. Kali ini catatan yang saya gunakan adalah memanfaatkan journaling untuk self assesment. Tulisan ini terinsprirasi dari sebuah thread yang menanyakan, "apakah menulis diary dan journaling itu, hal yang sama?"
SELF-ASSESMENT DENGAN JOURNALING: CARA SEDERHANA UNTUK MENGENAL DAN MENILAI DIRI
Sebelum saya membahas tentang self-assesment, terlebih dahulu saya ingin memberikan sedikit opini tentang journaling dan diary. Banyak orang sering menyamakan journaling dengan menulis diary, padahal keduanya punya perbedaan yang cukup mendasar. Diary biasanya berisi catatan harian tentang apa yang terjadi dalam hidup kita—semacam kronik peristiwa dan perasaan yang dialami.
Sementara itu, journaling lebih terarah: ia bukan hanya merekam kejadian, tetapi juga mengajak kita merefleksikan makna di baliknya. Dengan journaling, kita bisa bertanya pada diri sendiri “mengapa ini penting bagiku?” atau “apa yang bisa kupelajari dari pengalaman ini?”.
Dasar Ilmiah Self-Assessment – Pengertian, Manfaat, dan Kendalanya
Self-assessment dalam psikologi dipahami sebagai proses introspektif untuk mengevaluasi kualitas, kemampuan, kekuatan, dan kelemahan diri. Ia tidak sekadar membandingkan diri dengan orang lain, melainkan mengajak kita melihat perjalanan kita sendiri, membandingkan siapa diri kita hari ini dengan versi kita di masa lalu. Pendekatan ini menekankan kesadaran akan standar pribadi dan kemampuan untuk berefleksi dengan jujur terhadap proses yang dijalani (EBSCO; Berkeley Wellbeing).Manfaatnya sangat luas. Self-assessment membantu kita mengenali area yang perlu diperbaiki, meningkatkan kesadaran diri, memperkuat motivasi, sekaligus merancang tujuan yang lebih realistis. Di dunia pendidikan, pendekatan ini terbukti membuat proses belajar lebih efektif, karena siswa tidak hanya menerima penilaian dari guru, tetapi juga aktif mengatur dan menilai langkah mereka sendiri (Frontiers in Education). Dengan cara ini, assessment bukan lagi sesuatu yang “dilakukan pada diri kita”, melainkan proses yang kita lakukan sendiri demi tumbuh lebih baik.
Tentu ada tantangan. Bias sering kali muncul—ada orang yang menilai dirinya terlalu tinggi, ada juga yang terlalu merendahkan diri. Kecenderungan hanya melihat data yang mendukung apa yang disukai (“confirmation bias”) juga bisa mengaburkan refleksi. Kurangnya standar acuan dan minimnya umpan balik eksternal membuat self-assessment rentan menjadi tidak akurat. Karena itu, dibutuhkan latihan refleksi yang jujur dan konsisten agar proses ini benar-benar bermanfaat (PMC; BMC Medical Education).
Bukti Penelitian tentang Journaling sebagai Alat Refleksi dan Pengembangan Diri
Selain kesehatan mental, journaling juga terbukti meningkatkan kemampuan berpikir reflektif. Dalam dunia pendidikan, menulis jurnal refleksi membantu siswa memahami proses belajar mereka sendiri, menemukan hambatan, dan merancang strategi untuk mengatasinya.
Tidak hanya di ruang kelas, journaling juga bermanfaat dalam dunia kerja, terutama bagi tenaga kesehatan yang sering mengalami kelelahan. Program reflective journaling intervention terbukti mampu meningkatkan kesadaran diri sekaligus mengurangi gejala burnout (UNMC Digital Commons). Namun penelitian menekankan pentingnya journaling yang terstruktur: menggunakan pertanyaan pemicu, panduan refleksi, dan evaluasi ulang secara berkala. Tanpa itu, journaling mudah berubah menjadi rutinitas kosong tanpa arah (ResearchGate).
Menggabungkan Self-Assessment dan Journaling agar Efektif
Agar journaling benar-benar berfungsi sebagai alat self-assessment, kita perlu menetapkan kriteria atau standar yang jelas. Misalnya, menilai kejujuran, konsistensi, emosi, atau capaian tertentu dalam hidup. Standar ini menjadi acuan untuk melihat apakah kita berkembang atau masih berada di tempat yang sama. Dengan adanya pijakan ini, catatan kita tidak hanya menjadi tulisan, tetapi juga tolok ukur pertumbuhan (ScienceDirect).Selain standar, keberadaan pertanyaan pemicu atau journal prompts sangat penting. Pertanyaan sederhana seperti “apa pelajaran yang kupetik minggu ini?”, “emosi apa yang mendominasi hariku?”, atau “bagaimana aku menghadapi tantangan terbesar?” bisa membuka ruang refleksi yang lebih dalam. Penelitian membuktikan bahwa journaling dengan panduan refleksi jauh lebih efektif meningkatkan self-awareness dibanding journaling bebas tanpa arah.
Proses ini akan semakin bermakna bila diikuti dengan evaluasi berulang. Dengan menengok kembali catatan lama, kita bisa menemukan pola, mengenali progres, bahkan menyadari titik balik yang tidak kita lihat sebelumnya. Dari sana, kita bisa menyusun tujuan baru yang lebih sesuai dengan diri kita hari ini. Penelitian menunjukkan kombinasi journaling, goal setting, dan evaluasi reflektif dapat meningkatkan rasa kontrol diri serta keyakinan bahwa perubahan positif itu mungkin dicapai (Springer).
Refleksi Diri
Dalam Filosofi ewafebri, saya percaya bahwa setiap manusia adalah jejaring makna yang terus tumbuh. Seperti “Divine Web” dalam tadabbur Qur’an yang saya pelajari, catatan-catatan reflektif saya juga membentuk jaring-jaring makna yang saling terhubung.
Journaling menjadi benang yang merajut pengalaman, kesalahan, syukur, dan pelajaran, hingga membentuk pola yang utuh. Dari situlah self-awareness hadir, bukan dengan instan, melainkan perlahan—seperti cahaya yang merayap masuk ke dalam ruangan yang sebelumnya gelap.
Yang paling saya syukuri adalah bagaimana proses ini mengajarkan kerendahan hati. Terkadang journaling memperlihatkan bahwa saya jauh dari kata sempurna, tapi di saat yang sama ia juga menegaskan bahwa ada ruang luas untuk berkembang.
Dengan menulis, saya tidak hanya berusaha memahami diri, tapi juga melatih empati, menerima keterbatasan, dan belajar menghargai perjalanan. Dan pada akhirnya, self-assessment, filosofi ewafebri, dan journaling bertemu pada satu titik: menjadi jalan untuk semakin sadar akan diri sendiri, dan melalui kesadaran itu, saya bisa melangkah lebih bijak di dunia yang terus bergerak.
Seperti yang Allah firmankan dalam QS. Al-Hasyr ayat 18: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.”
Ayat ini mengingatkan saya bahwa menulis dan merefleksikan diri bukan sekadar aktivitas pribadi, melainkan latihan spiritual untuk menyiapkan hari depan. Maka journaling bagi saya tidak berhenti pada kertas, tapi menjadi bekal untuk menata jiwa, agar langkah-langkah kecil hari ini bernilai di hadapan-Nya.
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏