TADABBUR QURAN: YUNUS 65

TADABBUR QURAN: YUNUS 65

Hai pencari cahaya! ✨🌝 Bismillah...

Masih melanjutkan topik tentang kesehatan mental, penyakit yang terkadang datang dan pergi sesuka hati.Bila sebelumnya, saya mentadaburi QS. At Taubah ayat 72 dan Al Hijr 97 - 99, kali ini ada juga tambahan yang memberikan solusi praktis. Lumira sangat bersyukur bisa menemukan kajian dan makna ayat ini, karena bisa menjadi obat yang sangat indah. 
 

TADABBUR QURAN: YUNUS 65

Belakangan ini, Lumira sering ngobrol sama diri sendiri tentang kenapa hati ini bisa terasa gelisah, penuh gejolak, padahal kita tahu bahwa kita sedang mencoba untuk taat kepada Allah. Menurut Syeikh Said Ramadhan Al Buthi, hal itu terjadi karena adanya pergesekan dalam kalbu kita—antara maksiat dan cahaya iman. Gesekan inilah yang membuat kita merasa galau, resah, atau bahkan tersesat arah.

Sebenarnya ini menjadi sebuah indikasi, bahwa ada yang tidak selaras antara perilaku, cara pikir dan juga fitrah dari jiwa kita, sehingga menimbulkan pertentangan dalam diri yang berakibat dengan galau atau overthinking

Namun, dalam gelisah itu, saya belajar satu hal penting: Allah tidak membiarkan kita sendirian. Dia memberikan kita waktu—sebelum ajal datang—untuk belajar menjadi jiwa yang tenang, jiwa yang bisa kembali kepada-Nya dalam keadaan ridha dan diridhai.

Menjadi Orang Baik

Dalam perjalanan ini, saya juga teringat nasihat dari Gus Baha. Beliau mengatakan bahwa orang baik itu bukan hanya baik saat senang, tapi juga saat sedang kecewa. Ia tetap bisa memberi manfaat, tetap mampu menahan amarah, dan yang lebih mulia lagi—bisa memaafkan. Menurut saya, itu adalah bentuk kemuliaan yang hanya bisa dicapai oleh hati yang dilatih dengan keikhlasan dan kesabaran.

Tapi bagaimana bila lingkungan kita penuh dengan orang-orang yang justru melukai, atau yang kita anggap “toksik”? Ustadz Irfan Rizki pernah menyampaikan bahwa kita sebenarnya bisa mengelola interaksi itu. Kita berhak menetapkan batas, boundaries, supaya tidak terus-terusan terluka. Bahkan Al-Qur’an sendiri memerintahkan kita:

“Dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil.(QS. Al-A’raf: 199)

Artinya, tidak semua pertengkaran harus kita balas. Tidak semua hinaan perlu dijawab. Maka belajar mengendalikan reaksi dengan respons sewajarnya itu sangat penting. Dan Lumira juga baru menyadari bahwa, diam juga merupakan respons yang baik, namun di dalam diam itu, kita juga perlu memadamkan bara api dalam diri, sehingga tidak melukai orang lain dengan cara yang sama. Dengan begitu, kontribusi kita kepada orang lain itu tetap hal yang baik. 

"Do'akan orang yang menyakitimu. Itu cara terbaik menjaga hatimu agar tetap bersih dan tenang."Gus Baha

Lumira kutip dari instagram Ballerakyatofficial, bahwa dalam Islam, mendoakan orang yang menyakiti kita bukanlah bentuk kelemahan, tetapi cara mulia untuk menjaga hati tetap bersih. Ketika kita memilih untuk mendoakan daripada membalas, kita sedang menjalani proses tazkiyatun nafs—pembersihan jiwa dari racun kebencian, dendam, dan amarah. 

Ini bukan berarti kita membenarkan perlakuan mereka, tapi kita menolak untuk membiarkan luka itu mengubah kita menjadi pribadi yang keras. Justru dari situ, kita belajar memelihara ketenangan hati yang hakiki, karena dalam hati yang lapang, Allah berikan ketenteraman.

Lebih dari itu, mendoakan adalah cara mengubah luka menjadi ladang pahala. Rasulullah SAW bersabda bahwa kekuatan sejati ada pada mereka yang mampu menahan amarah. Dalam laku spiritual ini, kita sedang menunjukkan bahwa kita percaya pada keadilan Allah, bukan keinginan diri untuk membalas. 

Kita sedang melepaskan beban dari hati, dan mengembalikan kontrol kepada Yang Maha Adil. Seperti yang sering dikatakan Gus Baha, “Damai itu bukan soal kondisi di luar, tapi bagaimana kita merespons di dalam.” Maka, dengan doa, luka tidak hanya sembuh—ia pun berubah menjadi cahaya.

Dihina Tidak Membuat Kita Menjadi Rendah

TADABBUR QURAN: YUNUS 65 Part 1

Dari semua ini, Lumira semakin yakin bahwa kita tidak perlu merasa kecil ketika dihina karena ketaatan kita. Kalau dipikir-pikir, konteks ini memang bagian yang sangat paradoks. 

Sebenarnya, orang yang sedang menghina kita itu, adalah orang yang sedang membuka karakternya sendiri di hadapan publik. Mungkin dari lisannya memang dia mentargetkan seseorang, tetapi sesungguhnya dia sedang memperlihatkan kualitas "hinaan" itu terhadap perilakunya sendiri. Itulah mengapa kita tidak perlu bersedih hati. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْۘ اِنَّ الْعِزَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًاۗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Janganlah engkau (Nabi Muhammad) sedih oleh perkataan mereka. Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya milik Allah. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Yūnus [10]:65

Dalam tafsir ayat 65 Surah Yunus, Allah menegaskan bahwa jangan bersedih atas ucapan orang-orang yang mendustakanmu. Ucapan mereka tidak merendahkanmu, dan tidak pula mengangkat derajat mereka. Sebab sesungguhnya kemuliaan dan kekuatan itu hanya milik Allah, dan diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.

Yang mampu menentukan apakah kita mulia atau hina, hanyalah Allah saja. Jadi, mari kita belajar untuk tetap menjadi orang baik tak peduli apakah orang akan menghina kita atau tidak, yang penting di hadapan Allah SWT kita tetap berusaha menjadi hamba yang beriman dan bertakwa. Amin.

Allah juga menyampaikan bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dia tahu setiap ucapan musuh-musuh kita. Dia tahu luka-luka yang tidak kita ucapkan, dan prasangka yang ingin menjatuhkan kita. Tapi cukup bagi kita ilmu, perhatian, dan perlindungan dari Allah. Karena barangsiapa bertakwa kepada-Nya, maka Allah akan mencukupkannya.

Rantai Keimanan

Rantai Keimanan

Saya percaya, menjadi jiwa yang tenang bukan berarti hidup tanpa ujian, tapi belajar mempercayakan luka dan letih kita kepada Allah, tanpa perlu membuktikan apa pun kepada manusia. Karena yang menilai kita bukan mereka. Tapi Dia, yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui segalanya.

QS. Yunus 65 menjadi penenang saat Lumira sedang dilanda gelisah. Entah karena cemoohan orang lain atau karena perilaku Lumira yang tanpa sadar bertentangan dengan fitrah. Lumira ingat Kajian Ustadz Adi Hidayat dan Mufti Menk yang selalu mengatakan, entah berapa kali pun manusia bermaksiat, selama ia kembali pada Rabbnya, memohon ampunan, perlindungan dan pertolonganNya, maka ia akan selalu diberi kesempatan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. 

Jadi, jangan pernah menyerah untuk terus berusaha menjadi hamba yang baik setiap hari. Sebab sebelum kematian menjemput, kesempatan kita untuk belajar, memperbaiki diri, dan beribadah kepada Allah SWT masih terbuka lebar. Memang tidak mudah, tapi setiap langkah kecil menuju kebaikan adalah bagian dari perjalanan panjang menuju ridha-Nya.

Bayangkan saja seperti rantai keimanan—setiap mata rantai saling terhubung dan memperkuat satu sama lain. Keimanan mendorong kita untuk bertakwa, takwa membuat kita menjauhi maksiat, dan ketika maksiat dijauhkan, hati menjadi lebih ringan, lebih bersih, lebih tenang

Sebaliknya, maksiat itu ibarat karat yang merusak satu mata rantai, sehingga rantai iman kita menjadi rapuh dan suram. Padahal, Allah telah berfirman bahwa orang-orang yang beriman dan bertakwa tidak akan bersedih dan tidak pula merasa takut, meski ujian terus datang menghampiri. Maka, kunci untuk menjaga rantai keimanan itu tetap utuh adalah dengan meninggalkan maksiat, sebab di sanalah awal dari ketenangan jiwa bermula.

Hamba Yang Lemah

Seperti yang pernah disampaikan oleh Dr. Omar Soelaiman dalam kajiannya tentang Sholatketika kita bersujud kepada Allah, sesungguhnya kita sedang meletakkan seluruh ego, kekuatan, dan kemampuan kita di hadapan Sang Pencipta. Kita datang kepada-Nya sebagai hamba yang lemah, yang tidak bisa melakukan apa pun tanpa pertolongan-Nya. Sujud bukan hanya sekadar gerakan fisik, tapi juga pengakuan hati bahwa kita sangat bergantung kepada Allah dalam setiap aspek kehidupan.

Dalam kelemahan kita sebagai manusia, tidak jarang kita terjatuh dalam dosa—baik yang disengaja maupun tidak. Namun, justru dari kesadaran bahwa kita sering khilaf dan terbatas itulah, muncul kebutuhan mendalam untuk selalu mendapatkan bimbingan dan rahmat dari Allah SWT. 

Kita berdoa, memohon ampun, dan berharap agar Allah menjaga hati dan langkah kita dari maksiat, serta membimbing kita menuju kebaikan. Sebab, sekuat apapun tekad kita untuk menjadi pribadi yang saleh, tanpa pertolongan Allah, kita tak akan mampu.

Karena itulah, keberkahan menjadi karunia paling bernilai. Meski hidup kita tampak sederhana, tidak bergelimang harta atau kekuasaan, jika Allah limpahkan keberkahan padanya, maka kebahagiaan pun mengalir dalam keseharian kita. 

Kebahagiaan sejati bukan terletak pada kelimpahan materi, tetapi pada rasa cukup, tenang, dan kemudahan yang Allah hadirkan dalam hidup orang-orang yang mengingat-Nya. Hamba yang lemah, yang sadar akan kelemahannya, justru akan menjadi hamba yang paling kuat ketika hatinya selalu bersandar pada Allah.

Bagaimana? Apakah hatimu sudah menjadi kuat sekarang? Bila masih terasa kurang, yuk sama-sama berlomba mendekat kepada Allah dengan segala modal yang telah diberikan kepada kita. Entah itu waktu, tenaga, materi, jasa dan lain sebagainya. Dengan bekal itu, mari kita berlomba menjadi baik dari diri kita sebelumnya. 

Salam, 

Lumira, teman seperjuanganmu yang sedang berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.

Posting Komentar

0 Komentar