Bismillah...
Di tengah riuhnya zaman digital, narasi menjadi alat paling ampuh untuk mempengaruhi persepsi. Ia bisa menggerakkan empati, menciptakan harapan, bahkan membakar amarah. Namun, di tangan yang salah, narasi juga bisa menjadi bumerang: menyesatkan, memecah belah, bahkan menghancurkan nama baik seseorang dalam hitungan detik. Dalam konteks inilah, ayat-ayat Al-Qur'an tentang ilmu, pena, dan tanggung jawab akal menjadi sangat relevan untuk direnungkan ulang.
TADABBUR QURAN: AL ISRA 36
Dalam Surah Al-‘Alaq ayat 1-5, Allah membuka wahyu pertama kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan perintah:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan… yang mengajarkan manusia dengan pena, mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Ayat ini bukan hanya menandai permulaan kenabian, tetapi juga menetapkan fondasi epistemik dalam Islam: bahwa ilmu adalah cahaya, dan pena adalah instrumen sakral yang menghubungkan manusia dengan ilmu. Pena di sini bukan sekadar alat tulis, tapi simbol dari aktualisasi pengetahuan, yang harus diletakkan dalam kesadaran spiritual: membaca dan menulis dengan menyebut nama Tuhanmu—bukan demi popularitas, provokasi, atau sensasi.
Kemudian datang Surah Al-Qalam ayat 1,
“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tulis.”
Allah bersumpah atas nama pena dan tulisan, menunjukkan betapa berharganya aktivitas mencatat, menyampaikan, dan membentuk pengetahuan melalui bahasa. Sumpah ini memberi makna bahwa tulisan memiliki konsekuensi. Narasi, cerita, bahkan status yang diketik di layar ponsel—semuanya masuk dalam wilayah tanggung jawab. Maka, ketika pena dipakai untuk menebar dusta, prasangka, atau kebohongan viral yang tak diverifikasi, bukan hanya kredibilitas pribadi yang rusak, tapi juga nilai suci pena yang dicederai.
Ayat ini berpaut erat dengan Surah Al-Isra ayat 36,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
Inilah ayat yang paling lantang memperingatkan budaya impulsif yang kini merajalela di media sosial. Di era di mana jempol lebih cepat dari akal, dan emosi lebih dulu dari verifikasi, banyak orang tergoda untuk menyebarkan informasi tanpa tahu asal-usulnya. Sekadar ikut-ikutan repost, memberi komentar pedas, atau menghakimi seseorang berdasarkan potongan video tanpa konteks.
Berapa banyak berita viral yang ternyata hanyalah fiksi, fitnah, atau distorsi narasi demi views dan likes? Padahal Allah telah mengingatkan, bahwa pendengaran, penglihatan, dan hati kita tidak bebas nilai. Semuanya akan ditanya. Dan setiap tulisan, komentar, dan narasi yang kita sebarkan akan punya dampak—baik atau buruk—yang bisa kembali menghantam diri sendiri.
Ilmu: Bukan Sekadar Hak, Tapi Kewajiban
Islam tidak hanya mendorong umatnya untuk menyampaikan kebenaran, tetapi juga mencari kebenaran terlebih dahulu. Menurut Imam Al-Ghazali, ilmu adalah dasar bagi amal yang sah dan benar. Maka menyebarkan informasi tanpa mengecek validitasnya—dengan dalih "niatnya baik"—tetap bisa berbuah dosa. Dalam era digital, ini berarti wajib memverifikasi sebelum share.
Narasi apa pun, sesederhana opini atau curhat pribadi, harus dilandasi oleh tanggung jawab terhadap dampaknya. Sebab banyak berita viral yang akhirnya terbukti fiktif, fitnah, atau manipulatif. Maka penting untuk sadar: apa yang kita tulis dan sebarkan adalah cerminan dari kualitas ilmu kita dan tanggung jawab kita.
Menulis Itu Ibadah, Tapi Bisa Jadi Dosa
Islam tidak melarang bercerita atau menulis opini, bahkan sangat menghargai seni bertutur. Tapi dalam kerangka tanggung jawab moral, narasi bukan ruang bebas nilai. Ia adalah medium yang bisa menghidupkan ilmu dan menyambung hidayah, atau sebaliknya, menciptakan kegaduhan tanpa arah.
Maka menulis status, menyebar berita, atau membuat konten bukan lagi soal ekspresi, tapi ibadah (jika benar) atau dosa (jika asal-asalan). Dalam tafsir-tafsir klasik, disebutkan bahwa pena adalah makhluk kedua yang diciptakan Allah setelah Arsy. Ia ditugaskan menulis takdir. Maka betapa tinggi nilai sebuah tulisan, dan betapa berat hisabnya bila digunakan sembarangan.
Mari Menjadi Penjaga Narasi yang Bertanggung Jawab
Gabungan pesan dari Surah Al-‘Alaq, Al-Qalam, dan Al-Isra membentuk satu kerangka utuh:
Ilmu adalah cahaya → Pena adalah alat penyampai → Hati, akal, dan tulisanmu akan dihisab.
Di zaman ketika informasi menyebar dalam hitungan detik, kebijaksanaan menjadi lebih penting daripada kecepatan. Sebelum mengetik atau menyebar sesuatu, tanyakan pada diri: Apakah aku benar-benar tahu?
Karena dalam Islam, bukan banyaknya yang kamu tahu yang menyelamatkanmu—tapi sejauh mana kamu bertanggung jawab atas apa yang kamu tahu.
Daftar Referensi
- Al-Qur’an Surah Al-‘Alaq: 1-5
- Al-Qur’an Surah Al-Qalam: 1
- Al-Qur’an Surah Al-Isra: 36
- Tafsir Ibnu Katsir
- Tafsir Al-Wajiz – Wahbah Az-Zuhaili
- Tafsir Hidayatul Insan
- Hadis Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud: tentang penciptaan al-Qalam
- Hadis Riwayat Muslim: tentang prasangka sebagai ucapan yang paling dusta
- Kitab Ihya Ulumuddin – Imam Al-Ghazali
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏