Bismillah....
Masih tentang pena dan keajaibannya, kali ini Lumira ingin menambahkan ayat dalam surat yang berbeda, yakni Al Qalam. Surat ini pernah saya masukkan ke dalam beberapa artikel di blog ini tentang mengapa menulis itu penting. Nah. semakin saya belajar tadabbur, semakin saya bersyukur diberi kesempatan Allah SWT untuk menjadi seorang penulis. Oleh sebab itu, saya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk menjadi hamba yang bersyukur dan berserah pada Rabbnya. Alhamdulillah.
TADABBUR QURAN: AL QALAM 1
Saat mendengarkan kajian Dr. Omar Soelaiman tentang hikmah "pena", ada satu pernyataan yang menarik buat saya. Kala itu, beliau memulai penjelasan dengan pertanyaan, "Allah SWT tidak pernah bersumpah menggunakan "pedang" dalam Al Quran, tetapi Dia justru bersumpah menggunakan "Pena." Saat itulah saya mulai mencari tahu tentang apa kelebihan "pena" sehingga begitu berharga, bukan hanya dalam sisi spiritual tetapi juga mencakup aspek umum lainnya.
1. Makna Dasar dan Tafsir Ulama
Allah SWT memulai Surah Al-Qalam dengan huruf “Nun” yang oleh sebagian mufasir dianggap sebagai tantangan linguistik kepada kaum musyrik Quraisy yang membanggakan kefasihan mereka. Kemudian, Allah bersumpah dengan pena (al-qalam) dan segala yang dituliskan, sebagai bentuk pengagungan terhadap aktivitas menulis yang merupakan salah satu sarana utama dalam perolehan, penjagaan, dan penyebaran ilmu.
ن ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ"Nun. Demi pena dan apa yang mereka tulis."
Menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pena yang disebut dalam ayat ini bisa merujuk pada pena manusia yang digunakan untuk menulis ilmu dan pena malaikat yang mencatat amal-amal makhluk. Tafsir Hidayatul Insan menambahkan bahwa pena juga merujuk pada qalam di Lauh Mahfuzh yang mencatat takdir seluruh makhluk sampai hari kiamat.
Sementara Tafsir As-Sa'di menyatakan bahwa Allah bersumpah dengan pena untuk menafikan tuduhan gila terhadap Nabi Muhammad SAW, karena beliau dikaruniai akal sempurna, perkataan yang fasih, dan hikmah yang luhur.
2. Mengapa Allah Bersumpah dengan Pena?
Sumpah Allah dengan pena (الْقَلَمِ) dalam Surah Al-Qalam ayat 1 bukan tanpa alasan. Dalam Al-Qur’an, Allah hanya bersumpah dengan hal-hal yang agung dan memiliki nilai penting dalam kehidupan dan keberlangsungan umat manusia.
Ketika Allah berfirman "وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ" (“demi pena dan apa yang mereka tulis”), itu adalah bentuk pengagungan terhadap aktivitas tulis-menulis sebagai sumber ilmu, penyebaran kebenaran, sarana membangun peradaban dan bahkan takdir seluruh makhluk di Lauh Mahfuzh. Sumpah ini adalah bentuk pengagungan terhadap ilmu dan media penyebarannya—tulisan.
Menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili, qalam adalah alat utama dalam menyimpan dan menyebarkan ilmu, baik ilmu agama maupun dunia. Bahkan malaikat menggunakan qalam untuk mencatat amal manusia, dan qalam juga digunakan dalam Lauh Mahfuzh untuk mencatat takdir segala sesuatu.
Ulama seperti Syaikh Abdurrahman as-Sa'di juga menegaskan bahwa sumpah ini menunjukkan bahwa apa pun yang ditulis pena adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan menjadi landasan untuk menegaskan kesucian akal dan akhlak Nabi Muhammad SAW dari tuduhan kaum kafir Quraisy.
Tidak hanya itu, dalam hadis sahih, disebutkan bahwa pena adalah makhluk kedua yang diciptakan Allah SWT setelah Arsy (singgasana-Nya). Dari Abu Hafshah, Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), kemudian Allah berfirman kepadanya: 'Tulislah!' Maka pena itu menulis semua yang akan terjadi hingga Hari Kiamat." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad – dinilai hasan oleh Al-Albani)
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah 'Arsy, kemudian Allah menciptakan al-qalam..." (HR. Al-Hakim dan dinilai shahih oleh Al-Albani)
Hadis-hadis ini memperkuat betapa mulianya kedudukan qalam. Ia adalah alat pencatat takdir, awal dari segala catatan ilmu, dan simbol awal mula keteraturan dan ketetapan Allah terhadap semesta. Maka tidak heran jika dalam Surah Al-‘Alaq, Allah juga menyebut bahwa Dialah yang mengajarkan manusia tentang pengetahuan, karena ilmu dan ketentuan tidak bisa dilepaskan dari aktivitas pencatatan, penyampaian, dan pengajaran.
3. Konteks Sejarah Turunnya Ayat Ini
Pada masa awal kenabian, masyarakat Arab adalah bangsa yang unggul dalam tradisi lisan dan sangat membanggakan kefasihan dalam berbicara, terutama dalam bentuk syair dan retorika. Namun, kemampuan menulis masih sangat terbatas dan belum meluas.
Sebagian besar masyarakat masih buta huruf, dan hanya segelintir orang yang bisa menulis. Maka, ketika Allah bersumpah dengan "qalam", itu adalah pernyataan revolusioner—seolah menegaskan bahwa kekuatan pena dan tulisan akan menjadi tonggak kemajuan umat manusia, bukan sekadar kefasihan berbicara atau adu retorika.
Sumpah ini juga berkaitan erat dengan wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam Surah Al-‘Alaq (ayat 1–5), yang juga menekankan peran pena dalam pengajaran: "Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena..." Ini menunjukkan kesinambungan pesan: bahwa peradaban Islam dibangun bukan hanya dengan pedang atau kekuatan, tapi dengan ilmu dan tulisan. Rasulullah SAW sendiri menghargai orang-orang yang bisa membaca dan menulis—bahkan pada Perang Badar, tawanan Quraisy bisa ditebus dengan mengajari Muslimin membaca dan menulis.
4. Dimensi Spiritualitas dan Peradaban
Dalam Islam, menulis adalah bentuk ibadah, sebab dengannya ilmu Allah dipelihara, ajaran agama dicatat, dan generasi berikutnya mendapatkan bimbingan. Dalam konteks kenabian, wahyu-wahyu Allah pun dikenal dan sampai kepada kita hari ini melalui tulisan. Maka, pena bukan sekadar alat tulis, tapi simbol peradaban, kesadaran, dan keberlanjutan misi ilahi.
Pena menjadi sangat bermakna karena dengannya manusia dapat mencatat kebaikan, menyebarkan petunjuk, serta menjaga ilmu dari kepunahan. Bahkan di masa awal kenabian, Rasulullah SAW menghargai para penulis dan menjadikan aktivitas membaca-tulis sebagai alat pembebasan tawanan perang Badar, menunjukkan nilai strategis dan spiritual dari literasi.
5. Refleksi di Era Digital: Qalam Modern dan Tanggung Jawab Digital
Di era modern, “qalam” tidak lagi hanya berbentuk pena konvensional, tapi juga: keyboard, stylus, layar sentuh, digital note, hingga AI prompt.
Apa yang kita “tuliskan” hari ini melalui teknologi tetap memiliki nilai yang sama dengan qalam di masa lalu, yakni mencatat, menyebarkan, dan memengaruhi. Maka, ayat ini menjadi peringatan moral bahwa setiap kata yang kita ketik memiliki dampak, dan setiap informasi yang kita bagikan bisa menjadi amal jariyah atau sebaliknya.
Dalam dunia yang penuh dengan banjir informasi dan opini, ayat ini mengajak kita untuk menulis dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran spiritual. Tulisan kita adalah cermin isi hati dan kualitas akal. Maka, etika menulis—di media sosial, blog, artikel, jurnal ilmiah, atau bahkan catatan pribadi—harus dilandasi oleh nilai kejujuran, kebaikan, dan kebermanfaatan.
6. Pelajaran Tadabbur dan Nilai Praktis di Era Digital
Qalam adalah amanah. Apa pun yang kita tulis—baik dengan pena, keyboard, atau jari di layar ponsel—adalah bagian dari pertanggungjawaban kita di hadapan Allah. Dalam Islam, tidak ada kata yang sia-sia; semuanya dicatat oleh malaikat.
- Ilmu adalah warisan peradaban. Menulis bukan sekadar ekspresi pribadi, tapi bentuk partisipasi dalam membangun atau meruntuhkan nilai dalam masyarakat. Maka, menulis adalah bagian dari dakwah dan ibadah, bukan hanya produksi konten.
- Era digital memperluas cakupan qalam. Di media sosial, blog, forum, atau ruang publik digital lainnya, kita sedang “menuliskan sesuatu yang bisa dibaca manusia dan dicatat oleh malaikat.” Maka, kita perlu menyadari bahwa jejak digital kita bukan hanya tersimpan di server, tapi juga di Lauh Mahfuzh.
- Tanggung jawab moral di ruang publik. Banyak orang hari ini menulis di media sosial hanya untuk mencari view, like, atau engagement, tanpa memikirkan dampaknya. Padahal, setiap opini, kritik, bahkan candaan yang kita lempar ke publik bisa menjadi fitnah, sumber kerusakan, atau menyulut kebencian. Surah Al-Qalam ayat 1 mengajak kita untuk berhenti sejenak dan bertanya: “Apakah yang kutulis ini mendekatkan pada kebaikan, atau sebaliknya?”
- Kehormatan seorang Muslim terletak pada akal dan lisannya, dan pena (atau tulisannya) adalah penguat keduanya. Maka, sebagaimana lisan harus dijaga, tulisan—apalagi yang tersebar ke publik juga harus dijaga dengan niat yang bersih dan prinsip yang lurus.
Jadi inrisari dari bahasan kita kali ini adalah:
- Pena adalah makhluk awal yang Allah ciptakan setelah 'Arsy.
- Dengan pena, Allah tetapkan takdir makhluk di Lauh Mahfuzh.
- Sumpah dengan pena menunjukkan betapa berharganya ilmu dan pencatatannya.
- Pena adalah lambang keteraturan, ilmu, dan kebijaksanaan, bukan hanya alat tulis biasa.
- Qalam adalah peradaban, dan Allah ingin umat Islam menjadi umat yang berperadaban tinggi melalui ilmu dan tulisan.
Di era modern saat ini, fungsi pena telah meluas menjadi keyboard, layar digital, dan bahkan algoritma. Namun, makna sumpah Allah tetap relevan: apa yang kita tulis adalah bagian dari tanggung jawab spiritual dan sosial. Setiap “qalam digital” yang kita gunakan adalah kesempatan untuk mencatat kebaikan atau malah menciptakan fitnah. Maka, mari kita tulis dengan niat yang lurus, akhlak yang bersih, dan tujuan yang mulia.
Referensi:
- Tafsir Al-Wajiz – Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili
- Tafsir Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur’an – Ust. Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I
- Tafsir As-Sa’di – Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
- Tafsir Ibnu Katsir, Darus Salam, Riyadh
- Sejarah Peradaban Islam – KH. Saifuddin Zuhri
- Al-Qur’an Digital dan Etika Muslim Bermedia Sosial – Refleksi Kontemporer
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏