Hai, para pencari cahaya! ✨🌙
Tepat di malam takbir yang penuh syahdu ini, saya ingin mengajak teman-teman tadabbur sejenak pada salah satu ayat yang sangat istimewa dari Al-Qur’an, yaitu QS Al-Baqarah ayat 45. Ayat ini membahas dua hal yang sering kita dengar, tapi jarang benar-benar kita renungi: Sholat dan Sabar. Dua “keterampilan hidup” penting yang seharusnya kita latih setiap hari sebagai seorang muslim.
Mungkin ada yang bertanya, “Kenapa bahas sholat lagi? Bukankah di eBook Suluh Jiwa sudah dibahas juga?” Iya, memang. Tapi nyatanya, semakin saya menyelami makna sholat, semakin terasa bahwa rahasia di baliknya sungguh luar biasa.
Sholat bukan sekadar serangkaian gerakan fisik yang kita ulang lima kali sehari. Sholat adalah percakapan suci, pertemuan istimewa antara seorang hamba dan Tuhannya—Raja dari segala raja di alam semesta.
Tadabbur Quran: Al-Baqarah 45
Beberapa waktu lalu, saya menonton series menarik dari channel Yaqeen Institute tentang Idul Adha. Uniknya, topik yang diangkat bukan seputar haji, tapi justru tentang Sholat—yang disebut sebagai tiang agama.
Dari situ saya merenung, ini terasa seperti lanjutan alami dari tadabbur kita sebelumnya tentang Al-Isra’. Bukankah Sholat adalah satu-satunya perintah Allah yang disampaikan langsung kepada Rasulullah SAW saat peristiwa Isra’ Mi’raj? Begitu agungnya momen itu, hingga sholat pun diturunkan tanpa perantara wahyu biasa.
Dan kini, momen bulan Dzulhijah yang penuh berkah ini terasa begitu tepat untuk memperdalam pemahaman kita—bukan hanya soal kuantitas ibadah, tapi soal kualitas pertemuan kita dengan Allah SWT.
Sholat: Simbol Kerendahan Hati dan Ketundukan Total
Allah berfirman:"Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Sesungguhnya sholat itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk."(QS. Al-Baqarah: 45)
Saya pernah berada di fase di mana sholat hanyalah rutinitas. Yang penting nggak bolong, doa-doanya hafal, gerakannya benar. Tapi semakin saya pahami, sholat bukanlah sekadar kewajiban. Sholat adalah ruang paling jujur antara saya dan Allah. Di sana, saya tidak sedang menuntut hak karena merasa sudah melakukan kewajiban. Saya tidak sedang menyodorkan catatan amal untuk mendapatkan imbalan.
Sebaliknya, saya hadir di hadapan-Nya sebagai makhluk yang rapuh. Bukan siapa-siapa. Apapun yang saya terima dalam hidup ini, bukan semata-mata karena ibadah saya, tetapi murni karena Ar-Rahman dan Ar-Rahim-Nya. Kasih dan sayang Allah-lah yang menjadi alasan di balik setiap nikmat yang saya rasa.
Sholat Sebagai Pendidik Ego
Sholat mengajarkan saya untuk meruntuhkan ego. Bahwa seberapa pun hebatnya kemampuan saya, seberapa pun tinggi ilmu dan skill yang saya miliki, tetap saja saya tidak punya daya tanpa izin dan pertolongan-Nya.
Di sinilah, sholat mengingatkan kita bahwa percaya diri itu penting—tapi harus sesuai porsinya. Ketika rasa percaya diri menjadi terlalu besar, sering kali itu berubah menjadi kesombongan yang perlahan-lahan menyingkirkan peran Allah dalam hidup kita.
Jadi, melalui tadabbur QS Al-Baqarah 45 ini, saya belajar bahwa sholat adalah momen untuk menjadi jujur. Bahwa saya ini lemah. Bahwa saya tidak bisa apa-apa sendirian. Dan bahwa satu-satunya tempat untuk bersandar dan berserah adalah Allah. Hasbunallah wa nikmal wakil.
Sholat Melatih Disiplin dan Sabar
Sholat sebenarnya bukan hanya sekadar ibadah harian, tapi juga sarana untuk melatih disiplin dan kesabaran. Beberapa waktu lalu, saya membaca sebuah utas dari seseorang yang merasa bahwa sholatnya lebih lambat dibanding orang lain. Saya pun pernah mengalami hal serupa.
Dalam hati saya sering bertanya-tanya, “Apakah saya salah? Apakah gerakan saya terlalu lambat karena kurang lancar?” Namun setelah menyimak kajian video dari Yaqueen, saya tersadar bahwa dalam sholat, kita justru tidak dianjurkan tergesa-gesa.
Rasulullah SAW sendiri melarang sholat yang terburu-buru, terlebih jika gerakan dan doa belum diselesaikan dengan sempurna. Ini bukan sekadar soal teknis, tapi tentang sikap hati dalam menghadap Allah—apakah kita benar-benar hadir secara utuh, atau hanya sekadar menjalankan kewajiban tanpa rasa?
Saya menyadari bahwa salah satu bagian sholat yang sering saya lakukan terlalu cepat adalah saat i’tidal — perpindahan dari rukuk ke sujud. Tanpa sadar, tubuh saya sudah bergerak menuju posisi berikutnya, padahal doa belum benar-benar selesai saya ucapkan.
Saat menjadi makmum, mungkin ini tidak terlalu terasa karena mengikuti imam. Tapi saat sholat sendirian, justru sangat kentara bahwa tidak ada tumakninah. Hal ini seolah sepele, namun sebenarnya adalah kebiasaan yang keliru dan dilarang oleh Nabi.
Pemahaman ini semakin lengkap saat saya mendengarkan kajian dari Ustadz Adi Hidayat bahwasannya Allah itu memuji seorang hamba yang mau menerima masalahnya, mampu memetakannya sehingga bisa memikirkan solusi yang tepat berdasarkan PetunjukNya, dibandingkan mereka yang sering berkeluh kesah dan tidak mendapatkan apa-apa dari caranya itu.
Itulah mengapa sholat dan sabar itu berdampingan. Karena kita diajarkan untuk sabar dalam menerima takdir terlebih dahulu, merenungkannya, kemudian berdoa dalam sholat agar bisa mendapatkan solusi yang bijaksana dan sesuai dengan PetunjukNya.
Dari sini saya belajar, bahwa sholat mengajarkan kita untuk menahan diri, memperlambat langkah, dan hadir sepenuhnya. Di setiap gerakan dan bacaan, kita sedang melatih diri untuk tidak tergesa-gesa dalam hidup—dan itu adalah bentuk sabar yang nyata.
Semoga tadabbur ini menjadi pengingat lembut untuk kita semua. Bahwa dalam setiap takbir yang kita ucapkan, ada pengakuan bahwa hanya Allah-lah yang Maha Besar. Dalam setiap sujud yang kita lakukan, ada kepasrahan yang tulus dari hati yang tahu diri. Dalam setiap gerakan merupakan gestur kita berhadapan dengan Allah SWT. Kita memang tidak bisa MelihatNya, tapi Allah SWT Mengetahui apa yang kita kerjakan. Jadi mari kita belajar untuk memperbaiki sikap diri agar kita tidak hanya beradab di hadapan manusia, tetapi juga menjaga adab di hadapan Allah SWT.
Jika kamu merasa tulisan ini menyentuh, yuk sama-sama perbaiki niat dan rasa dalam setiap sholat kita. Bukan hanya fokus pada sah dan tidaknya saja, tetapi kita benar-benar hadir sebagai seorang hamba di hadapan RabbNya. Menjadi hamba yang tunduk, rendah hati dan berserah.
Dan jangan lupa, sabar dan sholat—dua senjata ampuh dalam menghadapi hidup.
Salam cahaya dari Lumira,
Dengan cinta dan harap untuk hati yang terus bertumbuh. 🌙✨
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏