”Journaling dan diary itu sama atau beda sih?"
Pertanyaan ini sering muncul ketika kita pertama kali ingin mencobanya, iiya kan? Dulu pun saya juga berpikir sama. Hingga suatu hari, saya menyadari bahwa meski keduanya memiliki outpun tulisan (dan image), tetapi ada sedikit perbedaan dalam penerapannya. Dan hal inilah yang membuat saya ingin meriset, apa saja sih perbedaannya?
JOURNALING VS DIARY: BEDA ATAU SAMA?
Ada satu hal yang baru saya sadari setelah bertahun-tahun menulis: setiap kali saya mulai mencatat sesuatu, saya sebenarnya sedang berusaha memahami diri sendiri. Kadang saya menulis untuk menuangkan kejadian sehari-hari yang ingin saya ingat. Kadang saya menulis karena sedang mencoba memahami emosi atau pola hidup yang lagi saya jalani. Dari proses itulah saya pelan-pelan paham bahwa diary dan journaling itu sebenarnya punya fungsi yang berbeda.
Kesadaran itu muncul seiring waktu, setelah saya melewati banyak fase menulis dan perubahan cara berpikir. Makin sering saya menulis, makin jelas bedanya. Diary lebih sering jadi tempat saya menyimpan cerita dan detail hari-hari saya. Sementara journaling membantu saya melihat gambaran besar, merenung, dan memahami apa yang sebenarnya saya rasakan atau butuhkan. Di artikel ini, saya ingin berbagi perjalanan kecil saya bersama dua kebiasaan menulis ini, dan bagaimana akhirnya journaling menjadi alat yang paling membantu saya dalam menjalani hidup sehari-hari.
Menulis Bukan Sekadar Mencatat Memori
Saya pertama kali mengenal diary ketika masih sekolah. Buku kecil bergembok itu menjadi tempat saya bercerita tentang siapa yang membuat saya kesal, tugas apa yang belum selesai, atau momen lucu yang saya alami hari itu. Semua tertulis begitu polos dan spontan, seolah saya sedang curhat pada teman yang selalu siap mendengarkan. Saat itu saya merasa diary adalah definisi paling sederhana dari “menulis untuk diri sendiri”.
Tapi ketika dewasa, saya menemukan hal yang berbeda. Ada hari-hari ketika saya menulis bukan untuk menceritakan kejadian, tapi untuk memahami perasaan. Saya mulai bertanya: “Kenapa aku merasa begini? Apa pemicunya? Apa yang sebenarnya aku butuhkan?” Saat itulah saya sadar, tulisan saya tidak lagi hanya merekam, tapi mengolah. Dan proses pengolahan itulah yang mengarah pada journaling.
Perlahan, journaling menjadi ruang aman tempat saya mengenali diri, bukan lagi sekadar mengingat hari apa saya marah atau senang, tetapi mengapa saya merasakannya. Dari sinilah perjalanan baru saya dimulai.
Tulisan Mewakili Emosi
Diary selalu berjalan rapi: Senin, Selasa, Rabu. Ada urutannya, ada kontinuitasnya. Namun ketika saya mulai journaling, saya sadar bahwa hati tidak bekerja sesuai dengan kalender. Ada hari ketika saya menulis tentang masa kecil, hari lain tentang kecemasan masa depan, dan tiba-tiba lusa saya menulis tentang momen kecil yang membuat saya tersenyum hari itu.
Saya tidak lagi merasa bersalah ketika melewatkan tanggal, karena journaling bukan tentang rutinitas harian, tapi tentang keterhubungan dengan diri. Tulisannya mengikuti arus batin saya, bukan tanggal di sudut halaman. Dan jujur, rasanya lebih bebas, lebih jujur, lebih mencerminkan diri saya yang sebenarnya.
Saya mulai memahami bahwa journaling adalah bentuk hadir secara penuh. Bukan sekadar “hari ini aku melakukan A, B, C”, tapi “hari ini aku belajar sesuatu tentang diriku”. Dan sejak itu, saya tidak pernah lagi merasa tertekan untuk menulis setiap hari. Saya menulis ketika saya butuh, ketika saya ingin, ketika saya siap mendengarkan isi hati sendiri.
Menulis Adalah Proses Bertumbuh
Diary membantu saya mengingat. Tapi journaling membantu saya berubah. Itulah titik pembeda paling besar yang saya rasakan selama ini. Dengan journaling, saya belajar mengenali pola-pola yang berulang dalam hidup—emosi yang sering muncul, ketakutan yang saya sembunyikan, mimpi yang masih berani saya simpan, bahkan kepercayaan yang perlu saya perbarui.
Ada banyak momen ketika journaling membawa saya pada kesadaran yang tidak pernah saya duga. Misalnya, menyadari bahwa lelah saya bukan karena aktivitasnya, tetapi karena standar saya sendiri yang terlalu keras. Atau menemukan bahwa rasa iri yang muncul ternyata bukan tentang orang lain, tetapi tentang bagian diri yang ingin berkembang.
Nah kalau dibikin list, ada sekitar 10 perbedaan Journaling Vs Diary yang saya catat:
- Diary fokus mencatat kejadian; journaling fokus memahami diri.
- Diary biasanya kronologis; journaling tematik atau berbasis tujuan.
- Diary berisi cerita harian; journaling berisi refleksi, insight, dan evaluasi.
- Diary dipakai untuk mengenang; journaling dipakai untuk tumbuh dan berubah.
- Diary menuliskan “apa yang terjadi”; journaling menuliskan “apa maknanya”.
- Diary lebih spontan; journaling lebih terstruktur (kadang pakai prompt).
- Diary mengejar dokumentasi; journaling mengejar kesadaran diri.
- Diary cenderung emosional; journaling mengajak berpikir lebih jernih.
- Diary menampung cerita; journaling menampung analisis dan rencana.
- Diary menyimpan memori; journaling menciptakan perubahan pribadi.
Journaling menjadi kompas. Ia bukan hanya mencatat apa yang terjadi, tetapi mengarahkan ke mana saya perlu melangkah. Ia tidak memperlihatkan masa lalu saja, tetapi masa depan juga. Itulah mengapa sampai sekarang saya terus kembali padanya.
Ketika Blog Menjadi Rumah Digital untuk Identity Journaling
Salah satu perubahan besar dalam hidup saya tahun ini adalah ketika saya mulai meredesain blog ewafebri.com. Awalnya blog ini hanya saya niatkan sebagai tempat berbagi informasi tentang seni, alat lukis, dan referensi kreatif. Tapi semakin mendalam proses menulis saya, semakin saya sadar: blog ini juga bisa menjadi ruang digital journaling—tempat saya merangkum perspektif, filosofi, refleksi hidup, dan perjalanan kreatif saya.
Kini blog ini bukan cuma media berbagi pengetahuan, tapi juga sebuah “ruang batin digital” tempat saya menyimpan proses-proses pemikiran dan pembelajaran yang sedang saya jalani. Saya ingin pembaca bukan hanya mendapatkan informasi, tetapi juga merasakan perjalanan berpikir yang saya alami. Sebuah kombinasi antara pengetahuan dan introspeksi.
Dan dengan dukungan tema journaling di blog ini—mulai dari psikologi warna, filosofi seni, tadabbur ayat, hingga refleksi personal—saya merasa journaling tidak hanya hidup dalam buku, tetapi juga di ruang digital yang lebih luas, lebih terbuka, dan lebih bermakna.
Pada akhirnya saya belajar bahwa diary dan journaling tidak perlu dipertentangkan. Keduanya punya hatinya sendiri dan kegunaannya sendiri. Diary menjaga kenangan. Journaling menjaga kesadaran. Diary membantu kita melihat apa yang pernah terjadi. Journaling membantu kita memahami siapa diri kita hari ini.
Dan keduanya menjadi bagian penting perjalanan saya sebagai penulis, kreator, dan manusia yang sedang belajar menjadi versi terbaik dirinya.
Kalau kamu sedang mencari cara untuk lebih terkoneksi dengan diri, mungkin journaling bisa menjadi pintu yang lembut tapi jujur untuk memulainya. Dan bila kamu ingin menyimpan kenangan kecil hidup, diary tetap menjadi teman yang setia.
Keduanya sama-sama indah. Yang penting: kamu menulis untuk kembali pulang pada dirimu sendiri.









0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏