بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Kadang kita lupa bahwa manusia itu bukan cuma kumpulan organ yang bekerja otomatis setiap hari. Di balik napas yang naik-turun, ada jiwa yang pelan-pelan menyimpan kecemasan, harapan, dan letihnya hidup.
Kadang kita lupa bahwa manusia itu bukan cuma kumpulan organ yang bekerja otomatis setiap hari. Di balik napas yang naik-turun, ada jiwa yang pelan-pelan menyimpan kecemasan, harapan, dan letihnya hidup.
Dan semakin banyak sering membaca karya para pemikir klasik, termasuk Ibnu Sina, saya makin sadar bahwa kesehatan mental bukan sekadar “nggak stres”, tapi tentang bagaimana kita memahami diri sendiri secara utuh. Ada tubuh yang harus dirawat, tapi ada juga ruang batin yang harus diberi arah, diberi makna, dan diberi jeda. Lantas , bagaimana caranya?
IBNU SINA: TERAPI HOLISTIK
Dan di titik inilah pemikiran Ibnu Sina terasa relevan banget buat kita hari ini. Di tengah dunia yang serba cepat, serba “scroll”, serba informasi, beliau mengingatkan bahwa jiwa yang sehat bukan muncul dari pelarian, tapi dari pengenalan diri yang mendalam.Bahwa terapi bukan selalu soal obat dan konseling, tapi juga keberanian untuk jujur pada diri, mengelola pikiran, dan menyelaraskan tubuh, akal, dan ruh. Ada sesuatu yang menenangkan saat membaca pemikirannya—seolah beliau bilang, “Tenang, semuanya bisa dipelajari. Bahkan jiwa kita pun punya cara untuk sembuh jika kita mau mendengarkannya.”
Dalam struktur jiwa, Ibnu Sina membagi menjadi tiga tingkatan: jiwa nabati (tumbuhan), jiwa hewani (binatang), dan jiwa rasional (manusia). Tiap tingkatan jiwa memiliki “daya” (quwwā) yang berbeda-beda: misalnya, jiwa nabati punya daya makan, tumbuh, dan reproduksi; jiwa hewani punya daya gerak dan persepsi; sedangkan jiwa rasional punya akal praktis dan teoritis. Dengan pemikiran ini, Ibnu Sina menegaskan bahwa manusia bukan hanya makhluk biologis, tetapi makhluk rohani dengan potensi intelektual dan etis.
Konsep jiwa inilah yang menjadi dasar terapi jiwa holistik bagi Ibnu Sina: karena keseimbangan jiwa dan tubuh penting, penyembuhan tidak cukup dari sisi fisik saja. Ketika jiwa terganggu, misalnya melalui emosi negatif, gangguan kognitif, atau konflik moral, maka tubuh pun rentan terhadap “penyakit psikosomatik.”
1. Fondasi Filsafat Jiwa Ibnu Sina: Menyatukan Tubuh dan Roh
Ibnu Sina (Avicenna) membangun pandangan holistic tentang jiwa (al-nafs) yang sangat berpengaruh dalam pemikiran kesehatan rohani dan mental. Menurutnya, manusia terdiri dari dua unsur utama: tubuh (jasad) dan jiwa, yang meskipun berbeda substansi, saling bergantung erat. Jiwa adalah sumber kehidupan; tanpa jiwa, tubuh tidak dapat hidup, dan tanpa tubuh, jiwa tidak tampak dalam manifestasi eksistensial.Dalam struktur jiwa, Ibnu Sina membagi menjadi tiga tingkatan: jiwa nabati (tumbuhan), jiwa hewani (binatang), dan jiwa rasional (manusia). Tiap tingkatan jiwa memiliki “daya” (quwwā) yang berbeda-beda: misalnya, jiwa nabati punya daya makan, tumbuh, dan reproduksi; jiwa hewani punya daya gerak dan persepsi; sedangkan jiwa rasional punya akal praktis dan teoritis. Dengan pemikiran ini, Ibnu Sina menegaskan bahwa manusia bukan hanya makhluk biologis, tetapi makhluk rohani dengan potensi intelektual dan etis.
Konsep jiwa inilah yang menjadi dasar terapi jiwa holistik bagi Ibnu Sina: karena keseimbangan jiwa dan tubuh penting, penyembuhan tidak cukup dari sisi fisik saja. Ketika jiwa terganggu, misalnya melalui emosi negatif, gangguan kognitif, atau konflik moral, maka tubuh pun rentan terhadap “penyakit psikosomatik.”
Sebaliknya, merawat aspek rohani dan akal akan membantu mengembalikan harmoni dalam diri manusia. Pendekatan ini kemudian dianalisis ulang dalam studi psikologi Islam modern sebagai terapi psikosomatis, yang menyelaraskan dimensi fisik dan mental untuk mencapai kesejahteraan.
Di sisi lain, daya praktis jiwa (moral atau etika) memainkan peran terapeutik. Ibnu Sina percaya bahwa perilaku yang baik, pengendalian hawa nafsu, dan akhlak yang luhur sangat berpengaruh pada kesehatan jiwa. Dengan melatih diri untuk bertindak jujur, sabar, dan adil, seseorang menyelaraskan nafs-nya dan mencapai ketenangan batin. Pendekatan semacam ini mirip dengan terapi moral atau terapi karakter di zaman modern, di mana pengembangan nilai-nilai etis dianggap bagian dari kesehatan psikologis.
Lebih dari itu, filsafat Ibnu Sina menekankan transformasi diri (self-transformation) sebagai bagian dari terapi. Dalam kajian kontemporer tentang pemikiran jiwa, para peneliti menunjukkan bahwa refleksi dan pengetahuan filosofis dapat membantu seseorang beralih dari kondisi batin yang kacau ke keadaan yang lebih mapan dan bermakna. Sadra Journal Proses ini tidak hanya menyembuhkan jiwa yang luka, tetapi mengarah pada kesempurnaan spiritual — semacam “penyucian jiwa” (tazkiyah) yang membuat individu lebih resilient dan bijaksana.
Lebih jauh, pemikiran Ibnu Sina juga disandingkan dengan tradisi filsafat Barat seperti Stoikisme dalam beberapa riset modern. Artikel “Psychosomatic Therapy and the Pursuit of Happiness” menggabungkan pandangan Ibnu Sina dan ajaran Stoikisme untuk menunjukkan bagaimana pengendalian diri, pengembangan kebajikan, dan refleksi batin bisa menjadi terapi bagi penderitaan mental dan memperoleh kebahagiaan sejati, Pendekatan semacam ini menciptakan jembatan antara warisan filsafat Islam klasik dan terapi psikologis modern.
Tokoh-tokoh pengembangan psikologi Islam kontemporer juga memajukan konsep terapi holistik ala Ibnu Sina. Misalnya, dalam kajian kesehatan mental generasi Z, dipaparkan bahwa metode pengobatan berdasarkan filsafat Ibn Sina — yang menyertakan aspek fisik, emosional, dan spiritual — bisa relevan untuk mengatasi kegelisahan dan kecemasan di era modern. Pendekatan ini memberi alternatif terapi yang tidak hanya bergantung pada intervensi medis semata, tetapi juga memperkuat makna hidup dan pengembangan diri.
Terapi jiwa holistik menurut Ibnu Sina adalah integrasi mendalam antara filsafat jiwa, etika, dan kedokteran. Dengan melihat manusia sebagai kombinasi tubuh dan jiwa, ia menawarkan pendekatan penyembuhan yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mental dan spiritual. Daya teoritis dan praktis jiwa menjadi alat transformasi diri, sementara refleksi filosofis menjadi sarana untuk menata pergolakan batin.
Dalam konteks modern, ajaran Ibnu Sina tetap relevan dan bermutu sebagai dasar terapi psikosomatis dan pengembangan kesehatan mental yang berbudaya. Kolaborasi antara pemikiran klasik dan psikologi kontemporer membuka jalan bagi terapi yang lebih holistik, bermakna, dan berkelanjutan.
2. Daya Jiwa dan Transformasi Diri: Terapi melalui Penalaran dan Etika
Salah satu kunci dari terapi jiwa holistik menurut Ibnu Sina adalah pengaktifan daya teoritis jiwa — yaitu kemampuan berpikir abstrak dan memahami realitas di luar dunia fisik. Daya teoritis memungkinkan manusia merenung, mengevaluasi pengalaman, dan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Melalui kegiatan intelektual yang diarahkan, seseorang bisa “menjernihkan” pikiran dari prasangka, pikiran keliru, atau konflik batin, yang merupakan sumber sakit mental.Di sisi lain, daya praktis jiwa (moral atau etika) memainkan peran terapeutik. Ibnu Sina percaya bahwa perilaku yang baik, pengendalian hawa nafsu, dan akhlak yang luhur sangat berpengaruh pada kesehatan jiwa. Dengan melatih diri untuk bertindak jujur, sabar, dan adil, seseorang menyelaraskan nafs-nya dan mencapai ketenangan batin. Pendekatan semacam ini mirip dengan terapi moral atau terapi karakter di zaman modern, di mana pengembangan nilai-nilai etis dianggap bagian dari kesehatan psikologis.
Lebih dari itu, filsafat Ibnu Sina menekankan transformasi diri (self-transformation) sebagai bagian dari terapi. Dalam kajian kontemporer tentang pemikiran jiwa, para peneliti menunjukkan bahwa refleksi dan pengetahuan filosofis dapat membantu seseorang beralih dari kondisi batin yang kacau ke keadaan yang lebih mapan dan bermakna. Sadra Journal Proses ini tidak hanya menyembuhkan jiwa yang luka, tetapi mengarah pada kesempurnaan spiritual — semacam “penyucian jiwa” (tazkiyah) yang membuat individu lebih resilient dan bijaksana.
3. Relevansi Modern: Terapi Psikosomatis dan Kesehatan Mental Kontemporer
Konsep terapi holistik Ibnu Sina sangat relevan dengan terapi psikosomatis modern, yaitu pendekatan yang mengakui interaksi erat antara tubuh dan jiwa. Dalam penelitian kontemporer, para akademisi Islam telah mengeksplorasi bagaimana konsep al-nafs Ibnu Sina bisa diterapkan sebagai landasan teori untuk terapi psikosomatis. Misalnya, stres emosional atau kegelisahan jiwa tidak selalu dapat diobati dengan obat fisik saja — diperlukan proses kesadaran dan pemurnian jiwa agar penyembuhan menjadi menyeluruh.Lebih jauh, pemikiran Ibnu Sina juga disandingkan dengan tradisi filsafat Barat seperti Stoikisme dalam beberapa riset modern. Artikel “Psychosomatic Therapy and the Pursuit of Happiness” menggabungkan pandangan Ibnu Sina dan ajaran Stoikisme untuk menunjukkan bagaimana pengendalian diri, pengembangan kebajikan, dan refleksi batin bisa menjadi terapi bagi penderitaan mental dan memperoleh kebahagiaan sejati, Pendekatan semacam ini menciptakan jembatan antara warisan filsafat Islam klasik dan terapi psikologis modern.
Tokoh-tokoh pengembangan psikologi Islam kontemporer juga memajukan konsep terapi holistik ala Ibnu Sina. Misalnya, dalam kajian kesehatan mental generasi Z, dipaparkan bahwa metode pengobatan berdasarkan filsafat Ibn Sina — yang menyertakan aspek fisik, emosional, dan spiritual — bisa relevan untuk mengatasi kegelisahan dan kecemasan di era modern. Pendekatan ini memberi alternatif terapi yang tidak hanya bergantung pada intervensi medis semata, tetapi juga memperkuat makna hidup dan pengembangan diri.
Terapi jiwa holistik menurut Ibnu Sina adalah integrasi mendalam antara filsafat jiwa, etika, dan kedokteran. Dengan melihat manusia sebagai kombinasi tubuh dan jiwa, ia menawarkan pendekatan penyembuhan yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mental dan spiritual. Daya teoritis dan praktis jiwa menjadi alat transformasi diri, sementara refleksi filosofis menjadi sarana untuk menata pergolakan batin.
Dalam konteks modern, ajaran Ibnu Sina tetap relevan dan bermutu sebagai dasar terapi psikosomatis dan pengembangan kesehatan mental yang berbudaya. Kolaborasi antara pemikiran klasik dan psikologi kontemporer membuka jalan bagi terapi yang lebih holistik, bermakna, dan berkelanjutan.
Bagaimana menurutmu?
Sumber Referensi:
Sumber Referensi:
- Jarman Arroisi dkk., Terapi Psikosomatis Ibnu Sina jurnalfuda.iainkediri.ac.id
- M. Fakhri Abdul Majid, Daya-Daya Jiwa Manusia (Ibnu Sina) UIN Jakarta Journal
- Saleh Saleh & Humaidi, Transformasi Diri dalam Filsafat Jiwa Ibnu Sīnā Sadra Journal
- Salma A. Chania dkk., Psychosomatic Therapy … (Ibnu Sina & Stoikisme) UIN SGD Journal
- Alyaa‘Ulmuna dkk., Pendidikan Jiwa Generasi Z & Solusi Ibnu Sina atas Anxiety Aripafi Journal
- Kalimah: Jurnal Studi Agama, Konsep Nafs menurut Ibnu Sina University of Darussalam Gontor Journal









0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏