TADABBUR QURAN: AL MAIDAH 87

TADABBUR QURAN: AL MAIDAH 87

Hai pencari cahaya! ✨🌝 

 بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Catatan 20 Agustus 2025.

Pernahkah kamu merasa rezeki yang datang begitu cepat juga hilang dengan cara yang tak kalah cepat? Itulah yang dulu sering saya alami, hingga saya benar-benar sadar bahwa mengelola rezeki bukan sekadar soal angka di rekening, melainkan tentang amanah dan cara kita memaknai nikmat Allah.


Hari ini saya masih ingin melanjutkan tadabbur tentang rezeki, sebagaimana sebelumnya di Al-Baqarah ayat 172, namun kali ini lebih spesifik pada bagaimana kita seharusnya mengelola rezeki finansial dengan bijak sesuai perintah Allah SWT. Jika kamu pernah membaca pengalaman saya di masa lalu di blog ini, mungkin kamu akan lebih paham mengapa “perkara rezeki” adalah sesuatu yang begitu penting bagi saya.


TADABBUR QURAN: AL MAIDAH 87

Dulu, saya adalah orang yang sering terjebak dalam sikap boros. Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat, hanya karena ingin merasakan kepuasan sesaat. Bahkan, sering kali barang yang sudah saya beli justru tidak dimanfaatkan dengan baik, menumpuk begitu saja, dan akhirnya menjadi sia-sia. Saat itu saya tidak benar-benar memahami arti dari rasa syukur. Hingga suatu hari, Allah mengajarkan saya nilai syukur dalam bentuk yang berbeda—dengan menghadapkan saya pada kondisi kekurangan.

Dalam keadaan kekurangan itu, saya belajar untuk lebih bijak. Bukan lagi membelanjakan uang untuk apa yang saya inginkan, melainkan untuk apa yang benar-benar saya butuhkan. Doa menjadi pegangan sebelum membeli sesuatu, agar terhindar dari godaan membeli barang hanya untuk memuaskan nafsu semata. 

Ternyata, nafsu sering kali bekerja secara halus, bahkan tanpa kita sadari, mendorong kita bertindak impulsif hingga akhirnya menyesal. Dari pengalaman ini, saya mulai memahami makna ayat Allah dalam QS. Al-Maidah: 87 yang mengingatkan agar tidak melampaui batas, meskipun terhadap hal-hal yang halal.

Larangan Mengharamkan yang Dihalalkan Allah

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحَرِّمُوْا طَيِّبٰتِ مَآ اَحَلَّ اللّٰهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ 

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan sesuatu yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Al-Mā'idah [5]:87

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ayat ini dijelaskan berkaitan dengan sekelompok sahabat Nabi ﷺ, di antaranya Utsman bin Mazh‘un dan beberapa lainnya, yang ingin mengharamkan atas diri mereka hal-hal yang halal seperti daging, pakaian yang bagus, bahkan ada yang ingin meninggalkan tidur malam demi beribadah terus-menerus. Allah lalu menegur mereka melalui ayat ini, agar tidak melampaui batas dengan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan. Hal ini menunjukkan bahwa sikap beragama bukanlah dengan menolak kenikmatan yang baik, tetapi dengan mensyukurinya.

Dalam Tafsir Ath-Thabari, dijelaskan pula bahwa larangan ini bukan hanya kepada para sahabat saat itu, melainkan menjadi peringatan bagi seluruh umat Islam agar tidak mengikuti hawa nafsu dengan menetapkan hukum sendiri. Mengharamkan sesuatu yang halal sama halnya dengan melampaui batas wewenang Allah, karena hanya Allah yang berhak menentukan apa yang halal dan haram. Maka ayat ini menjadi batas yang jelas: manusia hanya menjalani aturan, bukan membuat aturan baru dalam agama.

Tafsir Ringkas Kemenag menambahkan, bahwa ayat ini menekankan keseimbangan. Umat Islam diperintahkan untuk memanfaatkan rezeki yang baik dengan penuh rasa syukur, tanpa berlebihan, namun juga tidak dengan sikap ekstrim menghindari kenikmatan yang halal. Sikap tengah inilah yang menjadi ciri ajaran Islam, yaitu agama yang tidak condong pada keserakahan, tetapi juga tidak jatuh pada sikap rahbaniyyah (menyiksa diri).
 

Bahaya Berlebih-lebihan dalam Hal yang Halal

Tafsir Al-Muyassar menjelaskan bahwa berlebih-lebihan (israf) dalam sesuatu yang halal juga termasuk perbuatan tercela. Meskipun makanan, pakaian, dan harta halal, jika dikonsumsi dengan berlebihan dapat membawa pada kerusakan, baik jasmani maupun rohani. Islam datang bukan untuk membatasi kenikmatan, melainkan untuk mengatur agar tidak jatuh pada keborosan.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ sendiri makan, minum, dan berpakaian dengan cara yang sederhana, meskipun beliau mampu untuk lebih dari itu. Beliau mencontohkan sikap tidak berlebih-lebihan, karena kelapangan rezeki bukan alasan untuk melampaui batas. Bahkan dalam hadis, beliau mengingatkan bahwa seburuk-buruknya tempat adalah perut yang dipenuhi berlebihan. Hal ini sejalan dengan ayat ini yang melarang israf dalam perkara halal.

Sementara itu, menurut Tafsir Ath-Thabari, larangan berlebihan bukan hanya dalam bentuk kuantitas, tetapi juga dalam niat dan sikap. Misalnya, membelanjakan harta untuk pamer, atau membeli sesuatu yang tidak diperlukan hanya karena mengikuti hawa nafsu. Inilah bentuk israf yang lebih halus, tetapi tetap membinasakan. Dari sini kita bisa memahami bahwa syukur kepada Allah tidak hanya dengan menerima nikmat, tetapi juga dengan cara menggunakan nikmat itu secara bijak.
 

Syukur dan Keseimbangan

Menurut Tafsir Ringkas Kemenag, ayat ini menegaskan agar umat Islam memakan yang halal, menjauhi yang haram, serta tidak berlebih-lebihan. Keseimbangan inilah yang menjadi tanda kesyukuran. Syukur bukan hanya ucapan, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata seperti mengelola harta dengan adil, tidak boros, dan tidak kikir. Dengan demikian, setiap rupiah yang dikeluarkan dapat bernilai ibadah.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan bahwa ayat ini menutup dengan peringatan keras: sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Kata “melampaui batas” mencakup dua hal: pertama, melampaui batas dengan mengharamkan yang halal; kedua, melampaui batas dengan berlebihan dalam memanfaatkan yang halal. Keduanya adalah bentuk tidak mensyukuri nikmat Allah.

Tafsir Al-Muyassar menambahkan, bahwa jalan tengah adalah tanda petunjuk. Orang yang mampu menahan diri dari sikap ekstrim dan menjaga keseimbangan berarti telah menempuh jalan lurus yang diridhai Allah. Dengan keseimbangan ini, manusia dapat menikmati nikmat dunia dengan penuh keberkahan, sekaligus menjaga hatinya agar tidak tertipu oleh gemerlapnya. Maka, syukur dan keseimbangan adalah kunci utama dalam mengelola rezeki.

Refleksi Diri

Ketika saya mengaji bersama Mufti Menk, ada satu kalimat beliau yang begitu membekas dalam hati saya: rezeki bukanlah soal angka yang tercatat di saldo, tetapi tentang bagaimana kita memanfaatkannya. Beliau menekankan bahwa harta yang benar-benar bernilai di sisi Allah bukanlah jumlah yang kita simpan, melainkan bagian yang kita gunakan untuk kebaikan. 

Jadi, meskipun seseorang memiliki saldo 500 juta rupiah, jika hanya 3 juta yang digunakan di jalan Allah, maka yang tercatat sebagai amal hanyalah 3 juta itu. Sisanya hanyalah angka yang akan habis dimakan waktu, inflasi, atau berpindah tangan ketika kita sudah tiada.

Pesan ini membuat saya merenung dalam-dalam. Ternyata, ukuran kekayaan sejati bukanlah seberapa banyak yang kita miliki, melainkan seberapa banyak yang kita syukuri dan manfaatkan untuk tujuan yang diridai Allah. 

Harta yang kita simpan tidak akan pernah benar-benar menjadi milik kita jika tidak dibelanjakan di jalan yang benar. Justru dengan berbagi, berinfaq, dan menggunakan rezeki untuk memberi manfaat kepada orang lain, di situlah letak kekayaan yang sesungguhnya. Karena pada akhirnya, rezeki bukan soal tumpukan angka, melainkan bekal yang akan kita bawa pulang menghadap Allah SWT.

QS. Al-Maidah: 87 mengajarkan bahwa keseimbangan adalah kunci dalam menjalani kehidupan. Allah tidak menghendaki hamba-Nya celaka karena mengharamkan yang halal atau karena hidup berlebihan. Sebaliknya, Allah menuntun kita untuk mengambil jalan tengah sebagai wujud kasih sayang-Nya. Hidup seimbang membuat jasmani, rohani, dan sosial kita lebih sehat, tenang, serta penuh keberkahan.

Keseimbangan ini juga merupakan bentuk nyata dari rasa syukur. Syukur bukan sekadar ucapan, melainkan sikap hidup: menggunakan rezeki sesuai kebutuhan, menjaga tubuh dengan makan secukupnya, serta mengatur waktu dengan bijak. Dengan demikian, nikmat Allah tidak terbuang sia-sia, melainkan benar-benar mendatangkan manfaat.

Dari keseimbangan itulah kita terhindar dari penyesalan. Tidak ada harta menumpuk tanpa guna, tidak ada energi yang terkuras untuk hawa nafsu, dan tidak ada waktu yang tersia-siakan. Justru hidup menjadi lebih sederhana, terarah, dan bermakna. Ayat ini menuntun kita untuk mendekat kepada Allah dengan menjaga nikmat-Nya sebaik-baiknya, agar hidup kita dipenuhi keberkahan dan rasa syukur yang mendalam.

Posting Komentar

0 Komentar