Pasca curhatan Lumira tentang overthinking kemarin, kali ini Lumira ingin belajar dari ayat lainnya, yang sekaligus menjadi obat galau dan overthinking. Pasti kalian pernah merasakan dihina, dikucilkan atau diremehkan oleh orang lain kan? Apalagi mendengar hal yang sering membuat kita menjadi bersedih hati.
TADABBUR QURAN: AL HIJR 97
Kalian pernah nggak merasa harus menghindari suatu pertemuan atau seseorang hanya karena kita merasa lelah mendengar apa yang keluar dari mulutnya. Baru-baru Lumira memilih untuk tidak banyak berinteraksi dengan orang tertentu karena sedih mendengar lisannya. Beberapa orang menganggap apa yang mereka katakan itu hanyalah bercandaan, tanpa pernah berpikir bahwa kalimat itu melukai atau membuat sedih orang lain.
Body Shaming
Masih banyak orang yang menganggap body shaming hanyalah guyonan ringan, sesuatu yang tak perlu terlalu dipermasalahkan. Mungkin, jika yang melontarkannya adalah remaja yang sedang mencari jati diri, kita masih bisa memaklumi.
Tapi bagaimana jika yang berkata demikian adalah orang yang usianya sudah lebih dari empat puluh tahun? Rasanya aneh, bukan? Di usia yang seharusnya matang dalam berpikir dan bertutur kata, justru masih terjebak dalam kebiasaan mengejek fisik orang lain. Namun kenyataannya, orang semacam itu memang ada. Dan Lumira pernah mengalaminya secara langsung.
Pernah suatu kali, Lumira mendapat komentar seperti ini:
"Hidung kamu itu pesek. Dulu waktu Tuhan bagi-bagi hidung, kamu pasti datang paling belakangan, ya?"
Meskipun terdengar seperti lelucon, tahukah kamu betapa dalamnya kata-kata itu bisa melukai? Seolah-olah memiliki hidung pesek adalah kesalahan besar, bahkan aib. Padahal, bukankah bentuk tubuh kita adalah ciptaan Allah? Jika kita mengejeknya, bukankah secara tidak langsung kita sedang mengolok-olok Sang Pencipta?
Awalnya, saya memilih diam setiap kali beliau bercanda seperti itu, apalagi jika ada orang lain di sekitarnya. Saya tak ingin mempermalukannya di depan umum. Saya sempat berharap, mungkin lama-lama beliau akan sadar dan berubah. Tapi ternyata, usia tak selalu sejalan dengan kedewasaan.
Akhirnya, Lumira memberanikan diri menegur dengan lembut—bukan hanya untuk saya sendiri, tapi juga demi orang lain yang mungkin pernah menjadi targetnya. Saya khawatir, jika tak ada yang mengingatkan, beliau akan terus melukai dan pada akhirnya menuai balasan yang tak baik.
Toh, semua perkataan dan perbuatan pasti ada konsekuensinya. Dan jika setelah diingatkan beliau masih belum berubah, itu sudah di luar tanggung jawab saya. Yang penting, saya sudah berusaha menasihati dengan cara yang baik.
Allah Maha Mengetahui, Bertakwalah
Ternyata hal serupa juga pernah dirasakan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Meski konteksnya berbeda. Di tengah perjuangannya menyampaikan wahyu, beliau tak luput dari olok-olok dan ejekan orang-orang musyrik Mekah.
Mereka menganggap enteng risalah kenabian yang dibawa Nabi, bahkan meremehkannya di depan umum. Namun, Allah tidak tinggal diam. Allah menurunkan jaminan dalam QS. Al-Hijr ayat 97, sebagai bentuk perlindungan dan penghiburan bagi Rasul-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَۙSungguh, Kami benar-benar mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit (gundah dan sedih) disebabkan apa yang mereka ucapkan.Al-Ḥijr [15]:97
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah mengetahui betapa sedihnya hati Nabi ﷺ karena perilaku kasar orang-orang kafir. Untuk menguatkan hatinya, Allah memerintahkannya agar memperbanyak tasbih, salat, dan ibadah sebagai penenang jiwa. Ini bukan hanya perintah kepada Nabi semata, tapi juga pelajaran untuk kita semua: bahwa ibadah adalah obat hati, terutama saat kita merasa lelah karena perlakuan orang lain atau tekanan hidup.
Menariknya, orang-orang yang memperolok Nabi—seperti al-Walid bin Mughirah dan al-‘Aṣ bin Wā’il—akhirnya mendapat balasan dari Allah atas sikap mereka. Dikisahkan bahwa Jibril turun dan menyentuh punggung mereka, hingga timbul luka dan bau tak sedap yang membuat mereka dijauhi. Ini menjadi bukti bahwa Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang taat berjalan sendirian, apalagi ketika disakiti karena kebenaran. Maka, bila kita sedang merasa down karena hinaan atau beban hidup, ingatlah bahwa kekuatan bisa datang dari sujud, zikir, dan berserah pada-Nya.
Memadamkan Api
Hidup itu kadang terasa seperti berada di tengah hutan kering—rawan terbakar oleh percikan kecil. Hinaan, fitnah, atau cemoohan dari orang lain bisa menjadi percikan api itu. Dan jika kita tidak hati-hati, ia bisa berubah menjadi kobaran yang membakar bukan hanya diri sendiri, tapi juga orang-orang di sekitar kita.
Dulu, saat Lumira menerima ucapan menyakitkan dari seseorang, rasanya ingin membalas. Ingin melemparkan kembali api itu agar mereka tahu bagaimana panasnya rasa disakiti. Tapi justru di situlah awal dari kerusakan yang lebih besar.
Lumira teringat nasihat Habib Ja’far: saat seseorang melemparkan api kepada kita, sering kali kita malah mengejarnya untuk membalas dengan api yang sama. Padahal, yang lebih utama adalah bagaimana kita bisa meredamnya.
Kita perlu belajar menjadi pribadi yang tidak terbakar oleh amarah, tidak terprovokasi oleh kebencian, dan tidak ikut-ikutan menyulut kebakaran yang sama. Sebab begitu kita membalas dengan cara yang sama, luka di hati tidak sembuh, justru makin dalam. Sebaliknya, ketika kita menahan diri, saat itulah kita sedang menyelamatkan jiwa kita sendiri. Seperti firman Allah dalam Surah Fushshilat [41]:34:
“Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang di antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”
(QS. Fushshilat: 34)
Inilah mengapa Lumira memilih untuk kembali kepada Al-Qur’an. Tadabbur menjadi semacam alat pemadam hati—penyejuk saat dada terasa sesak. Dzikir, shalat, membaca ayat-ayat-Nya, semua itu ibarat air yang meredakan panasnya bara di dalam dada. Kita bisa memilih untuk tidak ikut menyebarkan api.
Kita bisa memilih untuk menyiramnya, memadamkannya, lalu membiarkannya berhenti di kita. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita tahu, kedekatan dengan Allah jauh lebih penting daripada memenangkan kemarahan yang hanya sesaat. Sebab Allah juga telah mengingatkan dalam Surah Ali ‘Imran [3]:134:
“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS. Ali ‘Imran: 134)
Pada akhirnya, hidup memang tak lepas dari luka-luka kecil yang ditorehkan oleh lisan dan sikap orang lain. Tapi kita selalu punya pilihan: membalas dengan bara yang sama atau memadamkannya dengan cahaya dari dalam jiwa. Lumira memilih yang kedua—bukan karena tidak bisa melawan, tapi karena ingin tetap waras dan tenang.
Tadabbur, zikir, dan ibadah adalah cara Lumira menjaga agar hatinya tetap jernih, bahkan ketika dunia terasa keruh. Semoga kita pun bisa belajar memadamkan api sebelum ia meluas dan membakar segalanya. Sebab bersama Allah, kita tak pernah benar-benar sendiri.
Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat bahwa dalam menghadapi kerasnya dunia, ada kelembutan iman yang bisa menenangkan. Teruslah mencari cahaya, meski hari sedang gelap. 🌙✨
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏