Bismillah...
Maaf ya? Kemarin Lumira tidak sempat membuat postingan tentang tadabbur. Entah mengapa kemarin Lumira berasa ingin istirahat sejenak, agar hari ini bisa belajar dengan lebih semangat lagi. Topik tadabbur kali ini memang agak beda sih, tetapi sebenarnya melanjutkan materi dan surat dari tadabbur sebelumnya. Karena sebagian tafsir tentang Surat Al Alaq itu biasanya menjelaskan dari ayat 1 hingga 5. Ini menjadi salah satu alasan bahwa sebenarnya materinya masih tersambung satu sama lain (munasabah), oleh sebab itu, Lumira akan melanjutkannya.
Tadabbur Quran Al-Alaq 2
Kalian merasa penasaran gak sih, mengapa kok seruan belajar didahulukan sebelum proses penciptaan manusia? Seolah ini tuh menjadi sebuah reminder, bahwa kita di dunia ini memang diciptakan untuk belajar, dan yang paling utama adalah belajar tentang asal-usul kita sebagai manusia.
Masalahnya, sebagian dari kita kadang mengesampingkan asal-usul pembuatan versi spiritualnya, dan menitikberatkan pada proses ilmiahnya. Maksudnya, entah berapa banyak dari kita yang masih ragu tentang bahan material dalam tubuh kita yang terbuat dari tanah dan air, hanya karena sulit dijelaskan secara sains. Terutama keberadaan ruh yang memang menjadi rahasia Allah SWT. Hanya sebagian hamba saja, yang diberikan pengetahuan sedikit tentang ruh, terutama hanya di KehendakiNya.
Seruan Belajar dan Fakta Penciptaan Manusia dalam Perspektif Ilmiah
Proses penciptaan manusia itu ternyata sudah disampaikan Rasul melalui wahyu 1400 tahun lalu. Hanya saja, sebelum adanya ilmu pengetahuan yang mampu membuktikan apa yang dimaksudkan Rasul, banyak orang yang tidak percaya. Bahkan, kala itu Rasul disebut sebagai orang gila karena ayat-ayat yang diwahyukan padanya, belum bisa dibuktikan oleh umat masa itu.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (QS. Al-‘Alaq: 1–2)
Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat dengan teknologi yang semakin canggih baru bisa memberikan sebagian bukti bahwa apa yang diucapkan Rasul kala itu adalah benar. Kita membutuhkan lebih dari 1000 tahun untuk bisa memahami apa yang disampaikan olehnya. Itu pun tidak semua hal bisa dikaji secara ilmiah, karena Allah SWT tetap merahasiakan perkara-perkara tertentu. Misalnya tentang Ruh ataupun Negeri Akhirat.
Mengingat Tulang Sulbi: Awal Kehidupan dari Perspektif Monolog dan Hadis
Saat mentadabburi ayat ini, saya jadi teringat tentang topik yang pernah saya bahas dalam Monolog Series tentang Tulang Sulbi sebagai cikal bakal kehidupan manusia. Dalam kajian tersebut, disebutkan bahwa di bagian tulang sulbi terdapat sebuah jaringan mikroskopis yang tidak akan hancur, bahkan jika tubuh dibakar sekalipun.
Tulang ini dikenal sebagai ‘ajbu dzanab, bagian paling dasar dari tulang ekor, yang menurut hadis shahih akan menjadi asal tumbuhnya kembali manusia saat dibangkitkan dari kubur. Penjelasan ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa “setiap bagian tubuh anak Adam akan hancur kecuali ‘ajbu dzanab, dari sanalah dia diciptakan dan dari sanalah dia akan dibangkitkan kembali.”
Ketika saya riset tentang materi ini, saya menemukan bahwa di akhirat kelak, manusia akan tumbuh kembali dari tulang sulbi tersebut layaknya tumbuhan yang tumbuh dari tanah, sebagaimana Allah SWT menumbuhkan tanaman.
Hal ini menambah dimensi reflektif terhadap ayat “Dia menciptakan manusia dari segumpal darah”, bahwa kehidupan manusia adalah proses berulang dari ciptaan Allah yang tak kasat mata menjadi makhluk hidup yang sempurna, dan kembali dibangkitkan dari bagian terkecil tubuhnya. Penjelasan lebih lengkap tentang tulang sulbi dapat dibaca melalui sumber ini.
Iqra’: Awal Revolusi Ilmu Pengetahuan dan Spiritualitas
Surat Al-‘Alaq merupakan wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW di Gua Hira. Ayat pertamanya adalah perintah untuk membaca: Iqra’, bukan sekadar membaca teks, tetapi juga menggali, memahami, dan merenungi semesta dan penciptaan sebagai tanda-tanda kebesaran Allah.
Ayat kedua langsung menyusul dengan penjelasan penciptaan manusia dari ‘alaq (segumpal darah). Kombinasi kedua ayat ini menggambarkan hubungan erat antara wahyu, ilmu pengetahuan, dan pencarian kebenaran. Dengan demikian, pencarian ilmu bukan hanya instruksi spiritual, tapi juga tanggung jawab eksistensial manusia sebagai makhluk ciptaan.
Secara bahasa, ‘alaq memiliki arti lintah, sesuatu yang melekat, atau segumpal darah. Menariknya, kemajuan ilmu embriologi modern membuktikan bahwa pada hari ke-15 hingga ke-23 kehamilan, embrio manusia memang berbentuk seperti lintah, menempel di dinding rahim, dan memiliki struktur darah yang mulai terbentuk namun belum bersirkulasi.
Temuan ini diperkuat oleh pengamatan mikroskopis serta hasil pencitraan ultrasound resolusi tinggi. Profesor Keith Moore, embriolog terkemuka, bahkan menyatakan bahwa deskripsi Al-Qur’an ini sangat akurat bila dibandingkan dengan istilah ilmiah masa kini. Seolah menunjukkan bahwa Al-Qur’an menyimpan pengetahuan yang melampaui zamannya.
Sains Modern dan Kesesuaian dengan Wahyu
Lebih dari itu, penelitian terbaru dari Belanda (2025) berhasil menciptakan atlas spasio-temporal 4D untuk memetakan perkembangan otak embrio manusia sejak trimester pertama. Peta ini menggambarkan bagaimana sistem saraf pusat mulai terbentuk secara kompleks pada minggu ke-8 hingga ke-12 kehamilan.
Hal ini memperkaya pemahaman kita tentang proses penciptaan manusia yang disebutkan secara bertahap dalam banyak ayat, seperti QS. Al-Mu’minun: 12–14. Dari nutfah (air mani) ke ‘alaqah, lalu menjadi mudhghah (segumpal daging), tulang, kemudian dibungkus daging, dan akhirnya ditiupkan ruh. Semua ini memperlihatkan urutan logis dan biologis yang sesuai dengan penemuan embriologi modern.
Lebih menarik lagi, secara linguistik, kata khalaq (menciptakan) yang digunakan dalam ayat pertama dan kedua memiliki dimensi ganda. Pertama, penciptaan dalam arti fisik—seperti manusia dari darah, tanah, atau sperma. Kedua, penciptaan dalam aspek non-materi seperti ilmu, akhlak, dan ruh.
Maka, ketika Allah memulai wahyu dengan kata Iqra’ dan langsung mengaitkannya dengan penciptaan manusia, seolah menyiratkan bahwa membaca dan belajar adalah bagian dari proses penciptaan terus-menerus dalam dimensi intelektual dan spiritual manusia.
Tadabbur terhadap dua ayat ini juga mengungkapkan bahwa ilmu bukan hanya sarana kemajuan, tetapi juga jalan mengenal Sang Pencipta. Pengetahuan yang benar akan selalu membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam terhadap kebesaran dan keagungan Allah. Sains dan wahyu tidak perlu dipertentangkan, justru saling melengkapi. Maka, membaca (ayat kauniyah) dan memahami (ayat qauliyah) adalah dua sisi dari koin yang sama: jalan menuju kebenaran sejati.
Dalam konteks modern, ayat ini menjadi seruan abadi untuk terus belajar dan meneliti. Dalam dunia yang dipenuhi informasi dan teknologi canggih, arahkanlah ilmu untuk menambah iman dan bukan sekadar eksploitasi. Saya ingat nasihat Ustadz Adi Hidayat, bahwa ilmu yang berkah dan bermanfaat serta orang-orang yang dianggap cerdas dalam perspektif Islam adalah mereka yang ahli dalam bidangnya dan menjadikan ilmunya itu untuk semakin dekat pada Allah SWT.
Karena hakikat dari belajar sejati adalah menyadari betapa terbatasnya kita, dan betapa Maha Sempurnanya Allah yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah dan membekalinya dengan potensi tak terbatas untuk mengenal-Nya. Dan semakin sering kita belajar, kita akan semakin sadar bahwasanya banyak hal yang belum kita pahami dan pelajari.
Betapa kita hanyalah setetes air dalam samudra yang luas.
Referensi:
- Tafsir Juz ‘Amma – Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
- Keith L. Moore, The Developing Human, 8th Ed.
- Jurnal Ultrasound in Obstetrics & Gynecology (Rotterdam Embryo Brain Atlas, 2025)
- QS. Al-Mu’minun: 12–14; QS. An-Nisa: 82; QS. Al-Isra’: 85
0 Komentar
Hi Gaes.. Jika kalian tak menemukan kolom komentar, mohon untuk mencari artikel yang ingin dikomentari melalui Home , atau pilih label, kemudian klik " Link Komentar " , yang berwarna salmon (peach pastel). Akan muncul kolom komentar baru. Mohon maaf ketidaknyamanannya.. 🙏